Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Jepang yang tengah berubah

Sejumlah perwira muda gagal mengadakan kudeta pada 18 mei 1936. beberapa pejabat tinggi terbunuh. itu lanjutan dari keresahan golongan militer dan kaum patriot radikal. jepang memang tengah berusaha.

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABE Sada mencekik mati lelaki itu, pacarnya, di tempat tidur, sekitar pukul 02.00 pagi. Hari itu 18 Mei 1936. Di luar kamar, Jepang resah oleh pergolakan politik. Di dalam kamar, Abe Sada gundah oleh perasaannya sendiri, di dekat Ishida Kichizo. Bukan main. Detik-detik berikutnya -- setelah ia menjerat erat leher Ishida dengan tali kimononya yang merah-Abe Sada pun melakukan hal yang kemudian jadi sejarah kengerian. Ia mengambil sebotol bir. Ia meminumnya di tempat tidur. Lalu dengan lidahnya ia basahi lidah kekasihnya yang baru saja jadi mayat itu, Lalu diambilnya pisau pemotong daging yang ia simpan di balik pigura, dan dipotongnya genitalia Ishida, dengan agak susah payah. Darah menyembur. Kisah Abe Sada hampir sebuah fantasi, dan mungkin karena itulah ia mengilhami penyair Sekine Hiroshi dan sutradara Oshima Nagisha. Sekine menerbitkan kumpulan puisinya, Abe Sada, di tahun 1971. Oshima membuat sebuah film yang tak boleh ditonton di Jepang, I'Empire du Sens, 1976. Kita memang mungkin mual melihat film itu: nyaris sebuah blue film yang bertele-tele. Tapi sajak Sakine lebih efektif: lugas, tanpa bunga, ia merekam hampir persis kata-kata pengakuan Abe Sada sendiri. Mungkin karena itulah kita bisa tergetar, meski bukan oleh rasa haru: jarijariku basah oleh darah dan di lengan serta leher kimonoku kutulis "Sada dan Kichi, cuma berdua" dengan darah itu. Lalu Sada pun berkemas, mencium jasad Kichi, dan pergi. Ia berpikir untuk bunuh diri, tapi kemudian menunda niatnya. Lalu ia tertangkap. Ia dipenjarakan sampai Perang Dunia ke-2 selesai dan Jepang kalah. Tentara Amerika masuk. Abe Sada, anehnya, dibebaskan bersama para tahanan politik. Ia hanya dikurung delapan tahun. Seolah tak bersalah. Ataukah ia memang tak bersalah ia gandrung untuk selalu bersama lelaki yang dicekiknya. Seperti dilukiskan dalam film Oshima, Sada dan Kichi bermain cinta hampir nonstop. Kangen dan kegemasan, cinta dan penghancuran, gairah dan kekejaman, bergalau. Kekerasan dan kebinasaan seakan cuma akibat lumrah dari situasi itu. HARI itu 18 Mei 1936. Tanggal 26 Februari sebelumnya sejumlah perwira muda mencoba satu kudeta. Gagal memang, tapi beberapa pejabat tinggi terbunuh. Tak ayal, mereka adalah lanjutan dari keresahan golongan militer dan kaum "patriot radikal". Mereka cemas melihat hasil pemilihari 1936 yang cukup bebas itu --upi yang ternyata memberi tempat luas bagi golongan sosialis. Mereka tak sabar akan proses demokrasi. Mereka juga muak dan curiga kepada golongan bisnis. Jepang memang tengah berubah, dan orang mencari lagi akarnya. Hanya empat tahun sebelum Insiden 26 Februari sekelompok tani muda, dipimpin oleh seorang pendeta Budha, bersumpah untuk membinasakan "klik yang berkuasa." Seorang bekas menteri pun ditewaskan. Juga direktur utama Mitsui. Sejumlah taruna akademi militer kemudian meneruskan aksi ini. Tak kurang dari Perdana Menteri Inukai sendiri yang kemudian terbunuh. Kaum Fascis kian hari kian galak. Ketika Sbakai Taishuto, partai buruh dan Minseito, partai yang setuju pemerintahan parlementer, dapat kursi banyak dalam pemilihan 1936, ketakutan pun merayap. Antara tahun 1938 dan 1940 pelan-pelan usaha "fascisme dari bawah" pun digantikan dengan "fascisme dari atas"--dan menang. Mobilisasi nasional pun didekritkan. Partai politik dibubarkan. Dan tak lama kemudian, Jepang terjun dalam Perang Dunia ke-2 yang ganas. "Kesimpulan dari Insiden 26 Februari," kata Sada dalam sajak Sekine Hiroshi, "adalah perang. Tapi insidenku, yang terjadi di tahun yang sama, uk pernah disimpulkan." Salahkah Sada? September 1923, di Tokyo ribuan orang ditahan. Terutama kaum sosialis. Seorang kapten polisi mencekik mati seorang pemimpin buruh, bersama istri dan kemanakannya yang baru 7 tahun. Ia dihukum 10 tahun, tapi koran-koran "patriotik" menyebutnya: pahlawan nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus