ABE Sada mencekik mati lelaki itu, pacarnya, di tempat tidur,
sekitar pukul 02.00 pagi. Hari itu 18 Mei 1936. Di luar kamar,
Jepang resah oleh pergolakan politik. Di dalam kamar, Abe Sada
gundah oleh perasaannya sendiri, di dekat Ishida Kichizo.
Bukan main. Detik-detik berikutnya -- setelah ia menjerat erat
leher Ishida dengan tali kimononya yang merah-Abe Sada pun
melakukan hal yang kemudian jadi sejarah kengerian.
Ia mengambil sebotol bir. Ia meminumnya di tempat tidur. Lalu
dengan lidahnya ia basahi lidah kekasihnya yang baru saja jadi
mayat itu, Lalu diambilnya pisau pemotong daging yang ia simpan
di balik pigura, dan dipotongnya genitalia Ishida, dengan agak
susah payah. Darah menyembur.
Kisah Abe Sada hampir sebuah fantasi, dan mungkin karena itulah
ia mengilhami penyair Sekine Hiroshi dan sutradara Oshima
Nagisha. Sekine menerbitkan kumpulan puisinya, Abe Sada, di
tahun 1971. Oshima membuat sebuah film yang tak boleh ditonton
di Jepang, I'Empire du Sens, 1976.
Kita memang mungkin mual melihat film itu: nyaris sebuah blue
film yang bertele-tele. Tapi sajak Sakine lebih efektif: lugas,
tanpa bunga, ia merekam hampir persis kata-kata pengakuan Abe
Sada sendiri. Mungkin karena itulah kita bisa tergetar, meski
bukan oleh rasa haru: jarijariku basah oleh darah dan di lengan
serta leher kimonoku kutulis "Sada dan Kichi, cuma berdua"
dengan darah itu.
Lalu Sada pun berkemas, mencium jasad Kichi, dan pergi. Ia
berpikir untuk bunuh diri, tapi kemudian menunda niatnya. Lalu
ia tertangkap.
Ia dipenjarakan sampai Perang Dunia ke-2 selesai dan Jepang
kalah. Tentara Amerika masuk. Abe Sada, anehnya, dibebaskan
bersama para tahanan politik. Ia hanya dikurung delapan tahun.
Seolah tak bersalah.
Ataukah ia memang tak bersalah ia gandrung untuk selalu bersama
lelaki yang dicekiknya. Seperti dilukiskan dalam film Oshima,
Sada dan Kichi bermain cinta hampir nonstop. Kangen dan
kegemasan, cinta dan penghancuran, gairah dan kekejaman,
bergalau. Kekerasan dan kebinasaan seakan cuma akibat lumrah
dari situasi itu.
HARI itu 18 Mei 1936. Tanggal 26 Februari sebelumnya sejumlah
perwira muda mencoba satu kudeta. Gagal memang, tapi beberapa
pejabat tinggi terbunuh.
Tak ayal, mereka adalah lanjutan dari keresahan golongan militer
dan kaum "patriot radikal". Mereka cemas melihat hasil
pemilihari 1936 yang cukup bebas itu --upi yang ternyata memberi
tempat luas bagi golongan sosialis. Mereka tak sabar akan proses
demokrasi. Mereka juga muak dan curiga kepada golongan bisnis.
Jepang memang tengah berubah, dan orang mencari lagi akarnya.
Hanya empat tahun sebelum Insiden 26 Februari sekelompok tani
muda, dipimpin oleh seorang pendeta Budha, bersumpah untuk
membinasakan "klik yang berkuasa." Seorang bekas menteri pun
ditewaskan. Juga direktur utama Mitsui. Sejumlah taruna akademi
militer kemudian meneruskan aksi ini. Tak kurang dari Perdana
Menteri Inukai sendiri yang kemudian terbunuh.
Kaum Fascis kian hari kian galak. Ketika Sbakai Taishuto, partai
buruh dan Minseito, partai yang setuju pemerintahan parlementer,
dapat kursi banyak dalam pemilihan 1936, ketakutan pun merayap.
Antara tahun 1938 dan 1940 pelan-pelan usaha "fascisme dari
bawah" pun digantikan dengan "fascisme dari atas"--dan menang.
Mobilisasi nasional pun didekritkan. Partai politik dibubarkan.
Dan tak lama kemudian, Jepang terjun dalam Perang Dunia ke-2
yang ganas.
"Kesimpulan dari Insiden 26 Februari," kata Sada dalam sajak
Sekine Hiroshi, "adalah perang. Tapi insidenku, yang terjadi di
tahun yang sama, uk pernah disimpulkan."
Salahkah Sada? September 1923, di Tokyo ribuan orang ditahan.
Terutama kaum sosialis. Seorang kapten polisi mencekik mati
seorang pemimpin buruh, bersama istri dan kemanakannya yang baru
7 tahun. Ia dihukum 10 tahun, tapi koran-koran "patriotik"
menyebutnya: pahlawan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini