Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUWITO kecewa berat. Di dinding ruang tamunya masih tertempel kaligrafi berisi doa haji mabrur. Tapi, apa boleh buat, Juwito dan istrinya, Yayuk Kurnianingsih, batal berangkat tahun ini. Terpaksalah kaligrafi lain, yang ditempel di luar rumah, dicopot dan teronggok di pojok ruang tamu. ”Ndak enak dilihat orang,” katanya, ketika ditemui di kediamannya di Jalan Desa Ajung Kulon, Kecamatan Ajung, Jember, Jawa Timur, pekan lalu.
Menurut rencana, Yayuk berangkat haji pada awal November lalu. Rp 43 juta telah disetorkan. Acara selamatan dan pamitan pun telah digelar. ”Tapi akhirnya cuma jadi haji ‘jambali’, dari Jakarta terus kembali,” Yayuk menirukan olokan tetangganya. Dia dan rombongannya, sebanyak dua bus, memang sudah menjejakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta. Tetapi, karena visa tak keluar, rombongan balik dengan kereta api. Di Bandara Soekarno-Hatta, Yayuk menyaksikan ribuan orang senasib.
Seorang calon haji dari Bagorejo, Kecamatan Gumukmas, Jember, sebut saja Ilyas, bahkan tak berani ke luar rumah selama dua pekan. Ia menjual delapan sapi dan menguras tabungan untuk membayar ongkos haji Rp 65 juta. Kini beragam perbekalan yang hendak dibawa ke Tanah Suci, seperti seragam dan pakaian ihram, tersimpan rapi di rumah orang tuanya. ”Biar tidak menambah beban pikiran,” katanya. Teman serombongannya dari Kecamatan Tanggul bahkan tak pulang ke Jember, tapi ke rumah saudaranya di Madura, karena malu.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Abdul Ghofur Djawahir, mereka yang gagal berangkat itu adalah pendaftar jemaah haji di luar kuota. Tahun ini kuota jemaah haji dari Indonesia 221 ribu, dan 23.500 di antaranya jemaah haji khusus, atau bisa disebut ONH (ongkos naik haji) Plus. ”Mereka menggunakan visa mujamalah, sehingga tidak ada kepastian,” kata Ghofur. Visa khusus ini biasa diberikan Kedutaan Arab Saudi demi menjaga hubungan baik.
Ketidakpastian calon haji nonkuota ini, menurut Ghofur, tidak hanya menyangkut visa, tetapi juga penerbangan hingga pemondokan. Namun, meski tak ada kepastian, ternyata banyak yang terbujuk rayuan. Selain mereka yang gagal berangkat, menurut catatan Kementerian Agama, ada sekitar 3.000 calon haji nonkuota yang bisa menjejakkan kaki di Arab Saudi.
Padahal sampai di sana pun masalah tak langsung beres. ”Kami tiba di Jeddah pukul tiga dinihari, tapi baru keluar pukul dua siang,” kata calon haji asal Madiun, Jawa Timur. Ia diberangkatkan Masy’aril Haram Tours & Travel (Mastour), dan tiba di Jeddah pada Ahad, 7 November. Jemaah haji reguler hanya perlu dua-tiga jam pengurusan administrasi di Bandara King Abdul Aziz.
Menurut Direktur Utama Mastour, Syarqowie Ghozali Amin, banyak dokumen jemaah yang terselip, sehingga pengurusan menjadi lama. Tetapi, ketika di Muzdalifah pun, setelah mengumpulkan batu untuk jumrah, jemaah haji nonkuota harus menunggu cukup lama, sekitar lima jam. Bahkan ada yang baru pagi harinya terangkut. Padahal mereka harus segera ke Mina untuk mengejar perjalanan ke Mekah, demi mengikuti salat Ied atau tawaf ibadah.
Ketika di Arafah, ada jemaah yang ”diusir” dari lahan untuk maktab 17, yang juga menampung jemaah nonkuota ini. Menurut pemimpin maktab 17, Toriq Banjar, ini atas permintaan pemerintah Indonesia melalui Kepala Bidang Haji di Jeddah, Syairozi. ”Mereka tidak resmi dan tidak dikehendaki,” kata Toriq, menirukan alasan yang diberikan kepadanya. Pemerintah rupanya tak sudi jemaah haji yang menjadi tanggung jawabnya menjadi terbengkalai gara-gara jemaah nonkuota.
Menurut Ghofur, jemaah haji nonkuota umumnya diberangkatkan oleh biro perjalanan haji abal-abal alias tak berizin. Perekrutan juga sebagian besar melalui cara dari pintu ke pintu. ”Biasanya, karena yang menawari tokoh masyarakat, orang percaya,” katanya. Yayuk, misalnya, menyatakan ditawari Ustad Mufidi Azis, warga Desa Besuk Kidul, Kecamatan Ajung, yang membawa bendera PT Valia Utama, Tulungagung.
Namun ada pula agen berizin yang memberangkatkan jemaah di luar kuota. ”Keberadaan biro seperti kami cukup membantu masyarakat yang ingin berhaji tapi terkendala sistem pembatasan oleh pemerintah,” kata pemilik Abitour, Habib Ali al-Husnainy. Biro ini seharusnya memberangkatkan lebih dari 300 calon haji. Kementerian Agama mengancam akan menindak tegas biro yang nakal. ”Tak akan diperbarui izinnya,” kata Ghofur.
Ibadah yang satu ini memang melibatkan jumlah uang yang menggiurkan, yang membuat banyak orang ingin terlibat. Apalagi Kedutaan Arab Saudi seolah membuka celah dengan mengeluarkan visa haji di luar kuota.
Duta Besar Arab Saudi di Jakarta, Abdurrahman Mohammad Amen al-Khayyath, mengakui hal tersebut. Tetapi, menurut dia, visa hanya diberikan kepada orang tertentu. ”Misalnya pejabat di kementerian, militer, atau anggota parlemen,” katanya. ”Kami tak mungkin menolak mereka.” Visa inilah yang diperebutkan untuk pemberangkatan haji nonkuota.
Para calon haji pun seolah menutup mata, yang penting berangkat. Mengeluarkan uang dalam jumlah besar bukan masalah, termasuk untuk mendapatkan visa. Mufidi Hafiz, yang seharusnya memberangkatkan Yayuk dan rombongannya, mengungkapkan bahwa jemaah yang dibawanya mengeluarkan uang tambahan Rp 3 juta untuk pengurusan visa. Ia mengatakan ada ”penghubung” di Kedutaan Arab Saudi yang bisa membantu. Upaya penghubung itu ternyata gagal.
Seorang pemimpin biro penyelenggara ibadah haji swasta yang tak bersedia menyebut namanya, yang ditemui Tempo di Arab Saudi, menyatakan biaya visa US$ 1.700 - 2.000. Dia tak mengatakan kepada siapa uang diserahkan. Padahal, menurut Duta Besar Abdurrahman, pembuatan visa haji tidak ditarik biaya sepeser pun. ”Saya jamin, dari pihak kami gratis,” katanya.
Ghofur pun hanya bisa menyarankan para calon haji tak tergiur rayuan ikut haji nonkuota. Jika ada yang merasa dirugikan, agar melapor ke polisi. Tetapi tak banyak yang melakukannya. ”Kami masih menunggu janjinya ditepati,” kata Juwito. Istrinya dijanjikan pengembalian uang dalam dua pekan.
Beberapa biro memang menawarkan pengembalian uang. Tetapi ada pula tawaran lain: berangkat tahun depan dengan masuk daftar kuota. Mufidi Aziz menawarkan dua pilihan itu. Demikian pula Habib Ali al-Husnainy. Hingga awal pekan lalu, tercatat baru sekitar 77 ribu pendaftar untuk haji khusus tahun depan. ”Masih ada banyak kursi,” kata Ghofur.
Purwani Diyah Prabandari (Jakarta), M. Taufiqurohman (Mekah), Mahbub Djunaidi (Jember), Joniansyah (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo