Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>Gelar Pahlawan</B></font><BR />Tersebab Kuburan Masih Basah

Gus Dur dan Soeharto tak jadi pahlawan nasional. Kendala psikologis dan sosiologis.

22 November 2010 | 00.00 WIB

<font face=arial size=1 color=brown><B>Gelar Pahlawan</B></font><BR />Tersebab Kuburan Masih Basah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TAK ada kado gelar pahlawan nasional bagi dua mantan Presiden Republik Indonesia pada peringatan Hari Pahlawan tahun ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunda pemberian gelar itu untuk Abdurrahman Wahid dan Soeharto. Mereka masuk sepuluh nama yang sampai ke tangan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dewan yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto ini pemberi pertimbangan akhir kepada Presiden.

Yudhoyono mengumumkan pemberian gelar bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, Rabu dua pekan lalu. Dari sepuluh nama, hanya dua yang terpilih, yaitu Johannes Leimena dan Johannes Abraham Dimara. Leimena, dokter kelahiran Ambon, 6 Maret 1905, dinilai berjasa meningkatkan kesehatan rakyat, dan diangkat jadi Menteri Muda Kesehatan pada Maret 1946. Ia jadi menteri dalam berbagai kabinet.

Dimara, yang lahir di Papua, 16 April 1916, pada masa pendudukan Jepang bergabung dengan Heiho (prajurit pembantu) dan Kenpeitai (polisi militer). Dimara adalah pengibar Merah-Putih dan melucuti pasukan Belanda di Namlea, Buru, April 1946. Dia juga terlibat pembebasan Irian Barat.

Bersama Gus Dur, yang diusulkan Provinsi Jawa Timur, dan Soeharto (Jawa Tengah), gelar pahlawan juga tak diterima mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (Jawa Barat), Habib Sayid al-Jufrie (Sulawesi Tengah), Andi Depu (Sulawesi Barat), Andi Makkasau (Sulawesi Selatan), Pakubuwono X (Jawa Tengah), dan Sanusi (Jawa Barat). ”Pak Harto punya jasa, dan Gus Dur juga,” kata Haryono Suyono, Wakil Ketua Dewan Gelar, Kamis pekan lalu. ”Ini soal waktu saja.”

Djoko Suyanto mengatakan dua mantan presiden itu memenuhi semua prosedur dan syarat untuk mendapat gelar pahlawan nasional. Hanya, Presiden Yudhoyono tak ingin gelar yang mestinya merupakan penghormatan justru membuat masalah bagi keluarga mereka yang masih hidup. ”Kendala psikologis dan sosiologis menjadi bahan pertimbangan,” katanya, tanpa menjelaskan kendala tersebut.

Namun sumber Tempo mengatakan Gus Dur tak terpilih karena terganjal di Dewan Gelar. Sejumlah anggota Dewan Gelar adalah orang dekat dan menteri era Presiden Soeharto. Selain Haryono, ada bekas Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara T.B. Silalahi dan mantan Menteri Agama Quraish Shihab. Anggota lain adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, bekas Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, dan guru besar arkeologi Universitas Indonesia, Edi Sedyawati.

Mereka yang pernah jadi orang dekat Soeharto tak mungkin meloloskan Gus Dur dan menggagalkan Soeharto. Jika meloloskan keduanya, kontroversi tak kunjung selesai. Sebaliknya, jika hanya Soeharto yang diberi gelar, reaksi masyarakat pasti tambah hebat. ”Gus Dur jadi korban,” kata sumber itu. ”Dia tersandera usul gelar pahlawan untuk Soeharto.”

Haryono membantah cerita itu. Dia menyatakan molornya pembahasan di Dewan Gelar lebih karena persoalan teknis. Rapat kadang harus dihentikan karena Menteri Djoko mendadak dipanggil Presiden. Jimly menyatakan tak terpilihnya Gus Dur dan Soeharto itu karena keduanya belum terlalu lama wafat. Ia membandingkan mereka dengan Leimena, yang menerima gelar pahlawan setelah 33 tahun mangkat. ”Kuburan mereka masih basah. Biarlah kelak anak-cucu yang mempahlawankan mereka,” ujar Jimly.

Haryono mengatakan keluarga dan orang yang pernah dekat dengan Soeharto tak pernah merengek minta gelar pahlawan. Salahuddin Wahid, adik Gus Dur, pun menyatakan legawa. Dia paham, para pengusul Gus Dur pasti kecewa akan keputusan itu. ”Tapi masyarakat tahu Gus Dur tetap pahlawan,” katanya.

Sunudyantoro, Eko Ari Wibowo (Jakarta), Muhammad Taufik (Jombang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus