Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETUA Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto tampak bangga siang itu. Berpakaian safari putih-putih, dia berdiri tegak di hadapan ribuan kader partainya yang berkaus putih berlambang Garuda. Matanya sedikit merah, tapi wajahnya bersemangat. Di Sentul Convention Center, Bogor, Jawa Barat, akhir Oktober lalu, Prabowo seolah tak sabar menyambut 2014.
”Hari ini, kekuatan kita bertambah dua kali lipat,” teriaknya, disambut sorak-sorai pendukungnya. Prabowo lalu menyebut, satu demi satu, enam partai kecil yang hari itu resmi bergabung dengan Gerindra. Mereka adalah Partai Sarikat Indonesia, Partai Merdeka, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Kedaulatan, Partai Buruh, dan Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme. Belakangan, menyusul bergabung Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan).
Meski nama partai-partai ini tak terlampau akrab di telinga awam, Prabowo jumawa. ”Tahun 2014, Gerindra akan meraih mandat,” katanya dengan suara bergetar. Massa di bawahnya terus bertepuk tangan. Elite Gerindra—Fadli Zon, Suhardi, Ahmad Muzani, dan Muchdi Purwoprandjono—berbinar menyambutnya di bawah panggung.
Inilah manuver politik perdana Prabowo setelah tersingkir pada pemilihan presiden Juli 2009. Namanya sempat tenggelam setelah Gerindra—partai yang khusus dia dirikan sebagai kendaraan politik menuju Istana—hanya meraih 4,5 persen suara dalam pemilihan umum April 2009.
Sempat santer beredar kabar bahwa Prabowo jatuh sakit dan sudah melupakan ambisi politiknya jadi RI-1. Namun kemunculannya di Sentul tiga pekan lalu menepis rumor itu. ”Anda lihat sendiri, dia sehat,” kata Ketua Fraksi Gerindra di parlemen, Martin Hutabarat, pekan lalu.
Menurut Martin, selain konsolidasi menjelang 2014, merger tujuh partai gurem itu adalah upaya mengantisipasi kenaikan ambang batas suara di parlemen (parliamentary threshold). Kenaikan itu disebut-sebut akan menjadi poin utama revisi Undang-Undang Pemilihan Umum kelak. ”Kami bersatu karena ada tantangan bersama,” katanya.
Proses penyatuan sendiri berlangsung mulus. ”Ketujuh partai ini sudah mendukung Prabowo sejak pemilihan presiden 2009,” kata Martin. Ini dibenarkan Sekretaris Jenderal Partai Merdeka Muslich Zainal Asikin. Sebelum akhirnya dipinang sebagai calon wakil presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Prabowo memang mengandalkan dukungan partai-partai ini untuk menggenapi syarat pencalonan. Sekarang, meski pemilihan sudah lama usai, kedekatan mereka tetap terjaga.
Ide merger sendiri, menurut Muslich, sudah muncul Desember 2009. Partai-partai gurem ini melihat harapan hidup mereka makin tipis. ”Partai Merdeka, misalnya, dalam dua kali pemilu, perolehan suaranya di bawah terus,” katanya. Dengan bergabung pada Gerindra, partai yang didirikan mantan Menteri Koperasi Adi Sasono ini berharap bisa bertahan. ”Kami tidak bubar dan melebur, tapi menjadi organisasi sayap Gerindra,” ujar Muslich.
Merger ini diyakini menguntungkan kedua pihak. Gerindra akan mendapat kader-kader baru yang punya dukungan akar rumput di sejumlah daerah pemilihan. Sebaliknya, partai-partai cilik itu bisa terus hidup. Menjadi bagian Gerindra, partai alit berharap mendapat bantuan ”logistik”. ”Kalau sudah bergabung begini, ya, otomatis kami jadi satu dengan Gerindra,” kata Muslich diplomatis.
Hanya butuh dua kali rapat untuk mematangkan rencana penyatuan ini. Semula, ”poros Ampera”—demikian koalisi tujuh partai ini dinamai—akan dideklarasikan awal Oktober lalu. Jadwal ini lalu dimundurkan agar pas dengan rencana Rapat Pimpinan Nasional Gerindra pada akhir Oktober.
Meski mereka sudah menandatangani piagam penyatuan, merger total masih menunggu 2014. Alasannya, sebagian partai kecil masih punya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di sejumlah provinsi. ”Kalau dipaksakan melebur sekarang, anggota DPRD dari partai kami bisa-bisa kehilangan kursinya karena partai pengusungnya bubar,” kata Muslich.
Sebenarnya ada satu lagi modal Prabowo membidik Istana. Bekas menantu mantan presiden Soeharto ini dikabarkan mengantongi komitmen PDI Perjuangan untuk mengusungnya pada pemilihan presiden mendatang. Ini konon bagian dari negosiasi politik Gerindra-PDIP pada 2009. Kata Martin Hutabarat, ”Saya hanya bisa bilang hubungan Mega-Prabowo sampai sekarang masih amat dekat.”
Wahyu Dhyatmika, Diki Sudrajat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo