Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALAMAN yang lama dinanti itu akhirnya terjadi juga: antara Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Tepatnya Selasa, 1 Juni lalu, pada peringatan lahirnya Pancasila, di Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Senayan, Jakarta.
Dengan mengenakan kemeja batik dominan warna merah, Yudhoyono menghampiri Mega, yang mengenakan kebaya putih dengan aksen merah dan rok merah. Keduanya berjabat tangan. Tepuk tangan berderai-derai.
Inilah untuk pertama kali keduanya bersalaman, setelah sekitar enam tahun, menjelang Yudhoyono mencalonkan diri dalam pemilihan presiden 2004. Bahkan pada saat pengambilan sumpah Taufiq Kiemas sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mega tak hadir. Presiden Republik Indonesia kelima itu juga tak pernah menghadiri undangan ke Istana Negara, termasuk pada peringatan Hari Kemerdekaan.
”Inilah spirit Pancasila 1 Juni,” kata Taufiq Kiemas, menjelaskan salaman itu. Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Tjahjo Kumolo menambahkan, Megawati hadir karena inti acara ini sejalan dengan PDI Perjuangan. ”Prinsipnya, Bu Mega ingin mengajak semua orang meluruskan jejak sejarah bangsa ini.”
Meski demikian, Taufiq tetap mengaku kaget akan kehadiran Mega, yang tadinya dijadwalkan memimpin upacara peringatan hari lahir Pancasila di Lenteng Agung. Taufiq, katanya, baru tahu Mega akan betul-betul datang hanya sekitar setengah jam sebelumnya.
Tak kalah penasarannya, pada Selasa pagi itu, adalah kantor presiden. Menurut juru bicara kepresidenan, Julian A. Pasha, Presiden sudah tahu kemungkinan Megawati akan datang. ”Tapi, terus terang, kami belum berani memastikan,” ujar Julian.
Menurut Tjahjo Kumolo, Megawati sebetulnya telah memutuskan hadir sekitar empat hari sebelumnya. Ketika berada di kantor PDI Perjuangan, Mega bertanya kepada Tjahjo soal undangan tersebut. ”Saat itu beliau mengatakan, ’Oke, saya hadir,’” Tjahjo bercerita.
Sebagai ”sahibul hajat”, tak salah Taufiq Kiemas menganggap acaranya sukses. Apalagi, di antara hadirin tampak beberapa mantan wakil presiden: Try Sutrisno, Hamzah Haz, dan M. Jusuf Kalla.
Taufiq dan partainya berusaha keras agar kursi undangan tak kosong. Partainya sampai menginstruksikan, semua anggota Fraksi PDI Perjuangan wajib hadir. Anggota Panitia Kerja Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PDI Perjuangan, Zainun Ahmadi, menyatakan tiga anggota Panja dari partainya batal berangkat ke Arab Saudi demi acara tersebut. ”Bahkan yang sudah berada di luar negeri pun harus pulang,” kata Tjahjo.
Meski keduanya telah berjabat tangan, tak otomatis peristiwa itu bisa dipandang sebagai awal rekonsiliasi. Tidak juga isyarat mendekatnya PDI Perjuangan ke pemerintah. ”Tidak ada kaitannya,” kata Tjahjo Kumolo. ”Oposisi is oposisi.”
Istana juga bereaksi biasa-biasa saja. ”Tidak perlu diinterpretasikan,” kata Julian Pasha. Tapi, memang tak ada salahnya berharap. ”Kita harapkan menjadi langkah baru di dalam kesepahaman di antara para pemimpin bangsa,” Julian menambahkan.
Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo