Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=#FF9900>Kerusuhan Medco-Pertamina</font><br />Senja Berdarah di Laut Tiaka

Polisi dinilai lalai menangani aksi massa di ladang minyak milik Medco-Pertamina. Ada pelanggaran hak asasi manusia.

12 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK banyak kegiatan di anjungan Tiaka, Morowali, Sulawesi Tengah, Sabtu pagi pekan ketiga Agustus lalu. Di ladang minyak milik joint operating body PT Medco E&P Tomori Sulawesi dan PT Pertamina (Persero) teronggok satu unit ekskavator besar tepat di depan penampungan minyak berbentuk silinder raksasa.

Anjungan ini tersambung dengan Desa Kolo Bawah oleh perairan Tiaka. Perairan yang juga bernama Teluk Tomini itu merupakan perairan yang jernih. Ikan dan karang terlihat jelas dari perahu. Di perairan itulah dulu warga Desa Kolo Bawah, yang kebanyakan berasal dari suku Bajo, yang bermata pencarian nelayan, mencari ikan.

Pagi itu, sejumlah teknisi dan beberapa petugas keamanan di ladang minyak tersebut tetap menjalankan tugas seperti biasa. Mereka tidak menyangka, dari seberang, satu perahu berisi 30 warga desa mendekati pulau dengan satu misi: menagih janji Medco.

”Sejak 2007, perusahaan ini menjanjikan pemberdayaan masyarakat,” kata Taslim, 28 tahun, salah satu warga yang ikut dalam perahu itu, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Mengusung poster Front Aliansi Pemuda Mahasiswa dan Pelajar Peduli Rakyat Bungku Utara dan Mamosalato, warga melakukan orasi di pintu masuk ladang Tiaka. Mereka menyuarakan tuntutan soal rekrutmen tenaga kerja lokal dan pembangunan infrastruktur serta agar diberi dana pengembangan lingkungan dan dana pendidikan.

Kekecewaan memuncak di kalangan pengunjuk rasa. Perjalanan mereka selama satu jam sia-sia karena tak satu pun petinggi perusahaan menampakkan batang hidung. Kecewa, warga pun pulang sambil merusak pos keamanan, menganiaya Amri dan Wahab, keduanya karyawan Medco, serta mengambil satu unit speedboat.

Keesokan harinya, sekelompok warga kembali menggelar pertemuan menyiapkan aksi berikutnya. Senin, 22 Agustus, pukul 11.00 Wita, sekitar 100 orang dengan menggunakan enam perahu kembali ke Tiaka. Seperti aksi sebelumnya, aksi Senin itu dipimpin koor­dinator lapangan, Andri Sondeng. ”Oleh korlap, kami diminta langsung merusak saja,” kata Taslim.

Sesampai di Tiaka, warga langsung menghancurkan kaca, kertas, helm, dan bantal. ”Apa yang didapat, itu yang dirusak,” kata Taslim, yang kini berada di ruang tahanan Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. Asap pun mengepul tinggi saat bantal yang dibakar mengenai solar di area tambang minyak itu.

Melihat asap membubung tinggi, warga pun panik dan kembali ke dermaga untuk naik perahu. Taslim juga ikut kembali. Bersama mereka, tiga polisi, satu anggota TNI, dan dua petugas keamanan Medco ikut menumpang di perahu bermuatan 3 ton itu.

Di tengah perjalanan, keenam penumpang itu berniat pindah dari perahu warga. Mereka berteriak memanggil orang yang berada di speedboat milik Medco yang ada di depan. Tak mendapat respons, salah satu polisi di perahu warga itu pun menembak ke atas untuk menarik perhatian.

Tak diduga, tembakan ke atas itu ditanggapi dengan rentetan tembakan dari speedboat tersebut ke arah perahu warga yang lain. Rupanya Andri, sang koordinator lapangan, ada di perahu itu. Tertembak di bagian dada, dia dipindahkan ke perahu lain dan dibawa ke Desa Kolo Bawah.

Mesin perahu yang ditumpangi Taslim mendadak mati karena kehabisan bahan bakar. Warga yang ada di perahu itu meminta bantuan bahan bakar ke desa. Tak mendapatkan bahan bakar, penumpang perahu itu meminta polisi yang ikut menumpang menelepon ke Tiaka agar mengirimkan bahan bakar. ”Tapi syaratnya, bahan bakar tidak diantar oleh aparat,” kata Taslim.

Tak lama kemudian, sebuah speedboat dari arah Tiaka datang membawa bahan bakar. ”Bersama 12 anggota Brimob,” kata Taslim. Keenam orang yang menumpang perahu warga tersebut pun pindah ke speedboat itu. Saat hendak pergi, salah seorang polisi yang sebelumnya menumpang menunjuk ke arah Yurifin di perahu Taslim. ”Mereka meminta senjatanya,” kata Taslim, yang sehari-hari menjual es untuk ­pengawetan ikan.

Setelah terjadi tembakan di atas perahu yang mengenai Andri, Yurifin—mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo—meminta polisi, anggota TNI, dan petugas keamanan Medco itu menyerahkan senjata. ”Kami khawatir mereka menembak. Jadi kami amankan senjatanya,” kata Taslim. Dua senjata laras panjang M-16 dan sebuah pistol revolver pun dipegang Yurifin dan Zainudin, yang satu perahu dengan Taslim.

Diminta memberikan kembali senjata, Yurifin pun berteriak kepada polisi di speedboat yang hanya berjarak lima meter dari perahu mereka itu. ”Yurifin bilang waktu itu, nanti ambil saja di Polsek (Mamosalato),” kata Taslim.

Namun polisi di speedboat membalas dengan berteriak meminta warga di perahu mengangkat tangan dan meletakkan senjata. ”Setelah itu, kami langsung diberondong dengan serentetan tembakan. Suaranya kayak suara hujan,” kata Taslim.

Seisi perahu pun serentak tiarap. Saat itu waktu menunjukkan pukul 16.30 Wita. ”Langit agak mendung saat itu,” kata Taslim. Namun tujuh orang tertembak saat itu. Marten Datu Adam meninggal di tempat. Sedangkan Yurifin meninggal dalam perjalanan ke Rumah Sakit Luwuk. ”Saya memangku Yurifin. Sebelum meninggal, dia sempat tersenyum dua kali,” katanya. Taslim dan empat kawannya juga terluka parah.

Setelah penembakan, semua warga dibawa ke Tiaka, dan diantar hingga Desa Rata. Kelima warga yang tertembak dibawa ke Rumah Sakit Luwuk. Taslim pun dirawat di sana dan kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Bhayangkara. Sembilan hari dirawat di sana, Taslim dimasukkan ke ruang tahanan di Markas Polda Sulawesi Tengah. Bersama 22 warga lain, ia menjadi tersangka.

Manajer Lapangan Medco Sugeng Sutiyoso menyebutkan penembakan yang terjadi di atas perahu itu disebabkan oleh pendemo yang menyandera anggota TNI, polisi, dan karyawan Medco. ”Mereka kehabisan BBM sehingga pendemo meminta sandera dibarter dengan BBM,” kata Sugeng. Menurut dia, polisi mesti melepaskan timah panas untuk melumpuhkan pendemo yang menyandera.

Dua hari setelah peristiwa berdarah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia langsung ke lapangan. Tim investigasi, yang terdiri atas empat perwakilan Komisi di Palu, dipimpin oleh Dedi Askari. Komisioner Komisi Ridha Saleh pun terbang ke sana.

Hasil temuan sementara, menurut Ridha, berbeda dengan informasi yang disampaikan pejabat Medco. ”Telah terjadi aksi penembakan terhadap warga,” katanya. ”Aksi itu masuk kategori pelanggaran hak asasi.”

Ridha menyayangkan polisi yang membiarkan kerusuhan terjadi di Tiaka. ”Sikap polisi menunjukkan mereka berpihak kepada Medco,” katanya.

Kepala Polda Sulawesi Tengah Brigjen Dewa Parsana membantah aparatnya berpihak. Menurut dia, polisi telah melakukan langkah persuasif dan mengimbau massa agar tidak melakukan tindakan anarkistis. ”Sudah ada tembakan peringatan,” katanya. ”Namun massa tetap membabi buta melempar bom molotov ke arah rig dan petugas.”

Meski demikian, Dewa mengatakan pihaknya tetap mengusut dugaan penyimpangan prosedur penanganan aksi massa. Saat ini Kepala Kepolisian Resor Morowali Ajun Komisaris Besar Suhirman dan 19 anggota Brimob telah ditetapkan sebagai terperiksa.

Fanny Febiana (Jakarta), Darlis (Morowali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus