Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berapa banyak orang seperti Geert Wilders yang diperlukan untuk mengubah Belanda jadi arena perang saudara ”warga asli” lawan ”pendatang”? Tak banyak.
Yang terang, Geert Wilders, 44 tahun, tidak sedang berbicara kepada 1,3 juta warga muslim keturunan imigran di negerinya, manakala filmnya Fitna masuk Internet dan menuai protes hebat, dua pekan lalu. Terus terang, dari kebanyakan pendatang yang berkulit gelap, berambut keriting, dan berasal dari Afrika Utara, yang bergulat dengan masalah identitas dan keterpurukan ekonomi itu, ia tidak bisa berharap banyak. Wilders juga tak tertarik menawarkan solusi yang bersahabat untuk pendatang terpinggirkan itu. Tapi dari segelintir imigran berpandangan radikal, Wilders memperoleh banyak amunisi yang kemudian disulapnya menjadi senjata politik ampuh.
Tewasnya produser film Theo van Gogh empat tahun silam di sebuah jalan di Amsterdam mengantar Wilders masuk ke dunia parlemen Belanda yang sangat berkuasa. Pembunuhan yang menggemparkan Negeri Kincir Angin itu dilakukan seorang pemuda imigran muslim. Korban dihabisi dengan brutal, dan si pembunuh tak pernah menyesali perbuatannya. Masyarakat Belanda yang marah dan hangus hatinya melihat kejadian itu sekonyong-konyong menemukan orang muda yang tepat untuk menghadapi semua ini. Ia Geert Wilders, politikus muda bermulut tajam yang menyerukan penghentian arus imigran ke Belanda selama lima tahun sejak 2004, juga pengetatan pengawasan kantong-kantong minoritas beragama Islam.
Wilders yang beraliran ultranasionalis itu pintar menyuburkan stereotip, menanamkan sentimen anti-imigran dan anti-Islam. Film Fitna bikinannya sarat dengan generalisasi dan pemisahan persoalan dari konteksnya. Ia membubuhkan ilustrasi rekaman pesawat yang menghantam menara kembar WTC di New York pada 11 September 2001, rekaman korban pengeboman di Madrid dan London, untuk menjelaskan Surat Al-Anfal ayat 60. Satu ayat dalam Al-Quran yang berisi perintah untuk menggentarkan hati musuh-musuh Allah yang mengancam dengan memperlihatkan kesiapan dan persenjataan perang yang lengkap (deterrent effect).
Fitna yang berdurasi 17 menit dan diisi lima kali pembacaan ayat Al-Quran itu kemudian ditutup dengan kesimpulan yang merupakan seruan: stop Islamisasi, bela kebebasan kita.
Tentu saja Wilders tidak bicara kepada minoritas muslim, tapi kepada mayoritas kulit putih Belanda yang merasa terancam oleh kaum pendatang. Ia menggunakan kata ”kita” untuk menghimpun warga asli Belanda yang berkulit putih dan tidak beragama Islam, untuk menghadapi musuh bersama: kaum imigran muslim. Di mata Wilders, selalu ada Belanda yang terpecah dan selalu ada konflik yang tak berujung: ”kita” lawan ”mereka”. Ia gemar mengulang penjelasannya yang sederhana tentang sejarah Eropa kontemporer: ”Pada 1945 kita menghabisi fasisme Nazi, pada 1989 kita mengalahkan komunisme, dan sekarang waktunya kita menghadapi ideologi Islam.”
Pada kurun sekarang, pandangan seperti itu apa boleh buat tidak mudah berakhir. Ada seorang Francis Fukuyama—sejarawan, futuris, penulis The End of History—yang dalam sebuah seminar di Brooking Institute meyakini ancaman serius dari elemen masyarakat Eropa yang radikal. Ada seorang Bernard Lewis, sejarawan Inggris di Universitas Princeton, Amerika, yang membayangkan benua Eropa menjadi bagian dari dunia Arab pada penghujung abad ini. Ia melihat ini sebagai konsekuensi pertumbuhan penduduk yang tinggi di kalangan imigran keturunan Arab di Eropa. Dan terakhir, berita statistik dari Vatikan yang dimuat dalam surat kabar Osservatore Romano, yang menyebut bahwa jumlah pemeluk muslim telah melampaui pemeluk Katolik. Jumlah orang Islam mencapai 19,2 persen dari penduduk dunia, sedangkan orang Katolik meliputi 17,4 persen—meski penganut Kristen secara keseluruhan masih mayoritas dengan 33 persen.
Wilders, Ketua Fraksi Partai Kebebasan (PVV) di parlemen, banyak diuntungkan oleh perkembangan ini. Ia piawai mengubah rasa takut menjadi kebencian serta mereduksi demografi Belanda menjadi ”kita” dan ”mereka”. Soal kampanye Wilders akan laku atau malah menyerang balik kredibilitasnya, itu tergantung logika dan akal sehat warga Belanda. Itu juga akan ditentukan oleh daya tahan masyarakat Belanda—termasuk masyarakat muslimnya—sebagai satu kesatuan dalam menghadapi gempuran retorika Geert Wilders yang memecah belah.
Orang seperti Wilders akan terus hadir. Tapi, dari pengalaman kita selama ini, ada satu resep yang mungkin bisa ditawarkan: resistensi sebagai bangsa dan sensitivitas terhadap aspirasi religius orang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo