Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Sewa Helikopter</font><br />Rental Heli Jalur Sakti

Helikopter tentara disewakan untuk urusan bisnis. Tarifnya dihitung tiap dua jam.

28 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMAT siang, Mayor Fery. Saya perlu heli untuk melihat kebun sawit. Bisa membantu?” Di ujung telepon, perwira menengah Angkatan Laut itu tangkas menyahut. Ia bertanya lokasi kebun yang akan disurvei. Tempo menjawab, sekitar Palembang hingga perbatasan Lampung. Ia kembali bertanya, perlu mendarat atau tidak. Tempo menjawab tidak.

Sejenak kemudian sang Mayor yang bertugas di sebuah kota di Sumatera itu berkata, ”Jadi, kira-kira perlu dua-tiga jam, ya? Baik, Pak, saya akan koordinasi dengan pangkalan di Medan dan Tanjung Pinang. Segera saya kabari tarifnya.”

Beberapa jam setelah pembicaraan, Mayor Fery mengirim pesan melalui telepon seluler: ”2.500 dolar per jam untuk Heli BO 105.” Ini heli kecil yang hanya muat untuk empat orang: pilot, kopilot, dan dua penumpang. Mau lebih murah? Sang Mayor menawari Nomad atau Cassa, pesawat angkut kecil yang juga milik Angkatan Laut.

Sungguh gampang menyewa capung besi punya tentara. Bahkan setelah jatuhnya helikopter Twin Pack milik Angkatan Udara di Pelalawan, Riau, 8 Januari lalu. Ketika jatuh, heli itu mengangkut lima pebisnis, di antaranya Robert Viswanathan Chandran, bos Chemoil Corporation, perusahaan minyak yang berbasis di Singapura. Robert, menurut sumber yang menolak disebutkan namanya, adalah orang terkaya nomor 14 di Singapura dengan kekayaan US$ 490 juta atau sekitar Rp 4 triliun. Ketika menyewa pesawat TNI ia berniat mensurvei perkebunan sawit. Mereka menyewa heli buatan Sikorsky, Amerika Serikat, 1958, itu dengan tarif Rp 18 juta per jam dan terbang dari Pangkalan Udara Pekanbaru, Riau.

Marsekal Pertama Daryatmo, juru bicara Markas Besar Angkatan Udara, membantah heli itu jatuh saat disewa perusahaan swasta. ”Dari laporan Tim Penyelidik Kecelakaan Pesawat Terbang, tidak ada bukti adanya transaksi sewa-menyewa heli,” ujarnya. ”Kami percaya dengan laporan tim itu.”

Tiga hari setelah kecelakaan, Kolonel (Penerbang) Gandara Olivenca, Komandan Pangkalan Udara Pekanbaru, dicopot dari jabatannya. Menurut Daryatmo, Gandara bersalah karena mengizinkan orang asing masuk pangkalan udara. Jadi, katanya, ”Bukan karena menyewakan heli.” Ia memastikan Angkatan Udara tak pernah menyewakan pesawat.

Namun, seorang pengusaha pernah punya pengalaman menyewa heli Angkatan Udara. September 2007, ia akan melakukan survei ke Tembilahan, Riau. Tak mungkin melalui jalan darat yang butuh berjam-jam dari Pekanbaru, ia pun menyewa heli tentara. Tarifnya Rp 16 juta per jam dengan hitungan dua jaman. ”Jadi, kalau kita pakai tiga jam, harus bayar empat jam,” tuturnya.

Proses transaksi pun sederhana. Setelah berkomunikasi lewat telepon, penyewa dan kontak mereka di pihak tentara janji bertemu. Pada pertemuan itu, setengah uang sewa dibayarkan tunai. ”Setengahnya ditransfer melalui rekening beberapa hari sebelum jadwal terbang,” kata Tato, sebut saja begitu, sang pengusaha yang pernah dua kali menyewa helikopter BO 105 Angkatan Laut untuk survei udara.

Setelah pembayaran lunas, kontak di pihak tentara akan menentukan jam penerbangan. ”Waktu itu saya terbang dari Pangkalan Udara Palembang untuk melakukan survei di Teluk Pulai, Sumatera Selatan,” kata Tato. Teluk Pulai merupakan kawasan perkebunan akasia, bahan baku kertas, milik perusahaan besar di Jakarta.

Dengan tarif US$ 2.500, sewa untuk heli BO105 Angkatan Laut relatif lebih mahal daripada tarif sewa di perusahaan swasta. Di Dasatya Avia, perusahaan penyewaan heli yang biasa melayani pengeboran minyak lepas pantai, tarif sewa heli Superpuma US$ 2.450 per jam. ”Kapasitas heli ini 18 penumpang,” kata Are Prasetya, presiden direktur perusahaan itu.

Meski lebih mahal, menurut sumber Tempo, para pebisnis memilih heli militer karena ”semua urusan jadi mudah”. ”Dengan heli tentara, mereka tidak ada yang ganggu,” kata pensiunan Angkatan Udara itu.

Dari uang penyewaan, sumber itu menjelaskan, bagian terbesar biasanya diterima komandan pangkalan. Berikutnya dibagikan kepada kepala dinas operasi. Hanya sebagian kecil yang ”diteteskan” ke penerbang. ”Para pilot senang diperintah komandannya, karena itu artinya menambah jam terbang mereka,” tuturnya. ”Mereka paling dikasih US$ 100.”

Tak ada potongan ”uang sewa” untuk biaya operasi. Soalnya, semua ditanggung satuan masing-masing. Meski begitu, bukan berarti pesawat bisa tersedia sewaktu-waktu. Para ”broker” di angkatan harus menyesuaikan jadwal penerbangan dengan ketersediaan heli atau pesawat di pangkalan terdekat.

”Persediaan” heli dan pesawat angkut tentara cukup banyak. Angkatan Udara punya, antara lain, Twin Pack, Puma, Bell, juga Fokker dan Hercules yang tersebar di beberapa pangkalan. Twin Pack yang jatuh di Pelalawan, misalnya, berpangkalan di Bogor. Menurut Markas Besar Angkatan Udara, heli itu disiagakan di Pekanbaru untuk keperluan Search and Rescue (SAR).

Twin Pack menjadi favorit untuk mereka yang akan melakukan survei udara, terutama untuk rombongan sepuluhan orang. Itu karena dua pintu di sisinya terbuka, yang memudahkan penumpangnya mengamati lokasi di bawahnya.

Angkatan Laut punya, antara lain, delapan BO 105, empat Bell, 14 Nomad, dan 16 Cassa. BO 105, menurut Laksamana Pertama Iskandar Sitompul, juru bicara Markas Besar Angkatan Laut, merupakan bagian dari Skuadron 400 yang berpangkalan di Surabaya.

Baik Marsekal Pertama Daryatmo maupun Laksamana Pertama Iskandar Sitompul memastikan pesawat-pesawat itu tidak pernah disewakan. ”Pesawat-pesawat itu hanya bisa terbang atas persetujuan Panglima Komando Armada,” Iskandar menjelaskan.

Daryatmo menyatakan, aspek operasional semua peralatan sistem utama Angkatan Udara seperti pesawat dan heli dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. ”Jadi, nggak mungkin kami menyewakan kepada swasta,” ujarnya.

Budi Setyarso, Jupernalis Samosir (Pekanbaru)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus