Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMBIL menghidangkan sepiring siomay dan segelas es kelapa muda, Ahmad Mukhlis, 42 tahun, ringan bercuap-cuap. Hampir semua perkara ia celotehkan: penggusuran pedagang kaki lima di Pasar Bambu Bandar Lampung, harga sembako, hingga soal pemilihan umum nanti.
”Jika ibu mempercayai saya, silakan pilih saya pada 9 April nanti,” katanya, seraya menghadiahkan selembar stiker dengan potret dirinya kepada seorang pelanggan. Perempuan setengah baya itu tersenyum, sambil menyahut sekenanya, ”Ya.”
Calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Partai Amanat Nasional itu memang sedang memanfaatkan masa kampanye. Di bawah pohon rindang di salah satu sisi Jalan Urip Sumoharjo, Kota Bandar Lampung, ia mangkal didampingi gerobak siomaynya yang mulus dari aluminium.
Dua termos es kelapa muda berdiameter tiga puluhan sentimeter terpajang di atas meja di sisi gerobak. Rasa lapar dan cuaca terik membuat dua penganan yang dijualnya sejak sepuluh tahun lalu itu laris manis.
Pada batang pohon yang menaungi dagangannya, terbentang selembar spanduk berukuran satu kali satu meter. Angka lima—nomor urutnya—sudah tercontreng kuning. Satu kalimat di spanduk itu cukup menyimpulkan kekuatan modal sarjana matematika lulusan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandar Lampung itu: ”Walaupun Tanpa Modal”.
Di Surabaya, seorang kandidat lain berkocek tipis juga berkeringat merintis jalan menjadi wakil rakyat. Mohammad Mudakkir Udin, 34 tahun, yang sehari-hari juru foto dan memiliki kios sendiri, pasang aksi mengayuh sepeda ontel keliling kota.
Ia mengenakan busana ala Bung To-mo di zaman revolusi. Di bagian dada kiri kemejanya tersemat emblem merah-putih dengan semboyan, ”Dadi Ora Dadi Sing Penting Lawan Korupsi”. Peci hitam yang dikenakannya juga berbalut kain merah putih.
Selembar poster 40x40 sentimeter dipasang di depan stang sepeda. Di situ juga ada pesan, ”Lawan Korupsi Non Kompromi”. Di baliknya tertulis, ”Harga Diri Bukan Materi”.
Sesampainya di Tugu Bambu Runcing, sekitar satu setengah kilometer dari tempat awalnya bergerak, yakni Kantor Dewan Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera di Jalan Kartini, Mudakkir menghentikan sepedanya.
Sambil menghunus megafon kecil, ia mulai berseru-seru kepada para pelalu lintas. Intinya: ”Lawan Korupsi!” Masyarakat menikmati tontonan itu dari kejauhan. Seorang sopir angkot seperti menyemangati calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya itu dengan memberi salam, ”Merdeka!”
Bagi Mudakkir, lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya berlaga dalam pemilihan umum memang bukan hal baru. Dalam pemilihan sebelumnya, ia juga tampil meski terkesan kurang percaya diri.
Aksi bersepeda ini, menurut Mudakkir, memang baru dilakukannya sekitar dua pekan lalu. Selama bersepeda itu, seorang rekannya mengabadikan dengan jepretan-jepretan.
Foto-foto ini dicetak dalam bentuk stiker yang dibagikannya kepada calon pemilih. Merekalah yang kemudian digarapnya dengan kunjungan dari rumah ke rumah. ”Saya cukup menyebarkan stiker foto bersepeda serta kartu nama saya,” katanya.
Untuk aksi sehari ini, Mudakkir cuma membelanjakan Rp 140 ribu. Ia juga menyiapkan sekitar 50 relawan gratis, yang membantunya melakukan sosialisasi secara door to door.
Para relawan dikirimi pulsa untuk kebutuhan komunikasi. Ia mengaku menghindari pemasangan spanduk karena akan menelan biaya besar. Ketika terjun ke masyarakat, ia sengaja memutar film dengan pemutar VCD untuk menarik perhatian. Filmnya, antara lain, bertemakan cara penanggulangan bahaya narkoba.
Ahmad menempuh cara lain. Ia menempel kandidat tajir dari partainya, Edwar Juanda, yang juga mengincar kursi wakil rakyat di Bandar Lampung. Dari Edwar inilah kebutuhan stiker, kaus, dan spanduk disuplai. ”Saya belum keluar uang sepeser pun,” kata Ahmad.
Sebagai balasan, Ahmad menggandeng Edwar saat mengumpulkan masyarakat di sejumlah pengajian. Tak jarang ia malah bertindak layaknya juru kampanye bagi Edwar. Menurut Edwar, Ahmad layak jadi anggota Dewan karena berani bicara dan cukup mengerti politik.
Di Jakarta, ada dua kandidat berbeda partai untuk kursi Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah pemilihan sama, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri. Egy Massadiah kandidat Partai Golkar, dan Budi Satrio Djiwandono dari Partai Gerakan Indonesia Raya.
Egy, yang berlatar belakang teater, dibuatkan oleh seorang rekannya foto wajahnya menempel di tubuh kekar Superman. Foto yang dipasang sejak tiga pekan lalu di alamat Facebook miliknya itu tak urung memancing pro-kontra.
”Selain ada yang memuji, ada juga yang mengatakan saya sombong karena membusungkan dada,” kata Egy. Budi lain lagi. Ia memajang foto-fotonya di mobil boks keliling sejak Desember lalu. ”Sempat jengah juga waktu pertama kali melihatnya sendiri di Jalan Gatot Subroto,” kata kemenakan Prabowo, tokoh Gerindra itu.
Budi berencana menambah ”iklan”-nya dengan memajang foto-fotonya di jendela belakang 15 unit angkutan kota Kopaja. ”Rencananya, pekan ini mulai jalan,” katanya.
Budi Riza, Nurochman Arrazie, Dini Mawuntyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo