Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Bang Thoyib, Bang Thoyib,
Kenapa tak pulang-pulang
Anakmu, anakmu
Panggil-panggil namamu…”
LAGU dangdut yang dipopulerkan Ade Irma itu ngetop betul di kalangan awak kapal KM Pontianak. Sudah 17 bulan kapal mereka terkatung tak jauh dari Pulau Sentosa, Singapura, bersama KM Makassar. ”Memang kami seperti Bang Thoyib itu,” kata nakhoda KM Pontianak, Erwin Zein, ketika dihubungi, Jumat pekan lalu.
Erwin sudah 18 bulan tak pulang ke tengah keluarganya di Sidoarjo, Jawa Timur. ”Pokoknya, kalau sampai tiga kali Lebaran tak pulang juga, sudah dibubur merah putih, nih,” ia bercanda. Anak buahnya beragam pula masa pisahnya. ”Ada yang 20 bulan belum pulang.” Dalam keadaan normal, rata-rata masa penugasan di kapal setahun.
Bukan hanya tak bisa pulang sesuai jadwal, belakangan gaji pun ikut terkatung. Mereka tak bisa lagi ke darat semaunya. ”Sudah miring-miring kepalanya,” Erwin kembali bercanda. Nakhoda KM Makassar, Syafrudin M.D., tak kalah pusing. ”Saya sudah memulangkan dua anak buah yang stres,” katanya.
Ketika dihubungi pada Rabu pekan lalu, Syafrudin cerah ceria menceritakan rencananya turun ke Marina South Pier, Singapura, keesokan harinya. ”Ini pertama kalinya kami turun lagi sejak Idul Fitri lalu,” katanya. Bersama belasan awak KM Makassar dan KM Pontianak, mereka sudi merogoh kantong sendiri asalkan bisa menginjak daratan barang sekejap.
Sejak Mei tahun lalu, KM Pontianak dan KM Makassar, beserta 29 awaknya, dilarang meninggalkan pelabuhan Singapura oleh pengadilan setempat. Satu kapal lagi, KM Jatiwangi, juga sempat ”disandera”, tapi belakangan diizinkan meninggalkan Singapura.
Ketiga kapal itu ditahan akibat gugatan Australian National Line di pengadilan Singapura. Pemilik kedua kapal, PT Djakarta Lloyd (persero), digugat oleh mantan mitra konsorsiumnya itu gara-gara belum membayar utang yang totalnya US$ 3,3 juta. ”Kami memutuskan kerja sama sepihak pada Februari tahun lalu, karena tidak ada duit,” kata Direktur Utama PT Djakarta Lloyd, Bambang Sudarsono.
Sejak itu, para awak KM Pontianak dan KM Makassar harus menjaga kapal yang berlabuh sekitar enam mil dari Marina South Pier. ”Menurut Singapore Port Authority, kapal tidak boleh ditinggalkan,” kata Bambang. Selain khawatir bisa bergerak, lampu kapal juga harus dinyalakan pada malam hari, menghindari kemungkinan tabrakan.
Pada awalnya, para awak kapal tak begitu menderita. Djakarta Lloyd masih membayar agen di Singapura untuk mengurus semua keperluan awak kapal, mulai dari makanan, air, bahan bakar, termasuk antar-jemput awak untuk turun ke darat, sepekan atau dua pekan sekali.
Tetapi, memasuki tahun ini, pengurusan itu mulai terganggu. Pembayaran gaji mulai terlambat. Tak lama kemudian, semua fasilitas berangsur-angsur redup. Menurut atase perhubungan Kedutaan Besar Indonesia di Singapura, Hari Setyobudi, pengadilan menunjuk sebuah agen untuk mengurus keperluan kapal. ”Tetapi tidak mengurus kru,” katanya. Agen itu hanya menyediakan makanan, air, dan minyak.
Syafrudin mengakui, setiap sekitar dua pekan ada kiriman bahan makanan. Ada beras, ikan, cumi, daging, sayur, dan gula. ”Pokoknya, kami bisa makan enak,” katanya. Yang menjadi masalah, ”Kru tidak punya kebebasan mendarat.” Ketika masih diurus Djakarta Lloyd, agen mengatur perjalanan ke darat ini, termasuk semua dokumen yang diperlukan.
Kini agen yang ditunjuk pengadilan tak mengurus keperluan itu. Kalau awak kapal mau ke Singapura, ”Kami harus menyewa kapal sendiri,” kata Syafrudin. Biaya menyewa kapal S$ 200. Belum lagi masalah dokumen. ”Di sini urusan dokumen itu ketat,” kata Syafrudin. ”Salah huruf satu saja bisa jadi masalah.”
Mereka hanya bisa melewatkan hari-harinya di kapal yang panjangnya sekitar 100 meter dengan lebar 16,5 meter itu. Menurut Syafrudin, para awak berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan rutin seperti membersihkan kapal, memasak, membereskan pipa, dan merawat mesin. Tetapi tetap lebih banyak menganggurnya. ”Kami kebanyakan makan, tidur, makan, tidur.” Untuk sedikit hiburan, para awak bermain futsal. ”Yang menang mendapat hadiah soft drink,” kata Syafrudin.
Belakangan, pembayaran gaji makin lelet. Gaji bulan September, misalnya, belum dibayarkan hingga pertengahan Oktober. ”Rambut sudah pada rontok,” kata Syafrudin. Pada 11 Oktober lalu, ia memulangkan dua anak buahnya karena stres. ”Daripada membahayakan diri sendiri dan teman-teman lain,” katanya.
Keresahan tak hanya terasa di kapal, tapi juga di darat. Di Bekasi, Jawa Barat, Nurkhairunnisa, istri mandor KM Makassar, Mukhlis Aziz, mengatakan dia dan anak-anaknya sudah sangat rindu kepada Mukhlis, yang sudah 14 bulan tak pulang. ”Anak bungsu kami yang berumur sembilan bulan bahkan belum bertemu bapaknya,” kata ibu dua anak itu.
Nurkhairunnisa juga resah karena gaji suaminya tersendat. ”Saya sampai ngutang ke saudara,” katanya. Ia sudah menghubungi kantor Djakarta Lloyd untuk menanyakan gaji suaminya. ”Hanya dijawab belum ada,” katanya.
Menurut Syafrudin, para awak sebetulnya oke-oke saja kalau harus tetap di kapal dalam waktu lama. Apalagi mereka memang merasa harus menjaga kapal yang merupakan aset negara itu. ”Ada Merah Putih di belakang kami,” katanya. Tetapi, hendaknya, lancarlah semua hak awak.
Sebaliknya, Bambang Sudarsono membantah keterlambatan gaji, juga soal kru yang stres. ”Hanya gaji September yang waktu itu belum dibayarkan, tapi sekarang sudah dibayarkan,” katanya. Namun dia membenarkan Djakarta Lloyd menghentikan pengurusan kapal dan awaknya setelah kemenangan banding, Mei lalu. ”Kami sudah menang dua kali, masak kami yang bayar?”
Pada 15 Januari lalu, Djakarta Lloyd menang di pengadilan, dan pada 18 Mei menang lagi di tingkat banding. Tapi Australian National Line belum menghentikan upaya hukumnya.
Menurut Bambang, Djakarta Lloyd memang mengalami kesulitan keuangan. Gara-gara kasus ini, beberapa kapal mereka tak beroperasi. ”Karena takut ditahan lagi,” katanya. Jumat pekan lalu, Djakarta Lloyd bertemu dengan pihak Australian National. ”Saya masih memperjuangkan agar mereka membayar gaji para awak,” kata Bambang.
Untunglah, sehari sebelumnya, para awak kapal bertemu dengan Bambang di Kedutaan Besar Indonesia di Singapura. ”Semua sepakat menjalankan hak dan kewajiban masing-masing,” kata atase perhubungan, Hari Setyobudi. Erwin Zein membenarkan. Gaji Agustus sudah diterima, gaji September dijanjikan pekan ini.
Purwani Diyah Prabandari, Rumbadi Dalle (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo