Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESTA tak digelar di lantai 18 Menara Sudirman, Jakarta, walau penghuninya baru meraih ”kemenangan”. Di tempat itu, Sutjipto, anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat, membuka kantor notaris.
Bersama staf ahlinya, Bambang Supriyanto, dan tiga anggota staf kantor notarisnya, ia merancang pembatalan Undang-Undang Penetapan Hak Angket DPR, setahun lalu. Ketika itu, Panitia Angket Dewan sedang gencar menyelidiki penyelamatan Bank Century.
Uji materi yang diajukan pada 25 Februari tahun lalu atas nama Bambang dan tiga anggota staf lain akhirnya dikabulkan Mahkamah Konstitusi, Senin pekan lalu. Mahkamah membatalkan Undang-Undang Nomor 6/1954, dasar hukum pembentukan Panitia Angket Century. Undang-undang yang dibuat semasa sistem parlementer dan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 itu dinyatakan tak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menganut sistem presidensial.
Tim Sutjipto menganggap terjadi dualisme dalam pembentukan dan proses kerja Panitia Angket Century. Undang-Undang 1954 menyatakan pemeriksaan panitia angket bersifat tertutup dan rahasia. Tapi Panitia Angket Century menggunakan Undang-Undang Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD untuk membuat rapat panitia angket terbuka. ”Masyarakat bisa menilai sah-tidaknya dasar hukum pembentukan panitia Century,” kata Sutjipto.
Nyatanya, keputusan Mahkamah tak berpengaruh banyak. Ahmad Fadlil Sumadi, hakim Mahkamah, mengatakan pembatalan itu tak serta-merta membatalkan hasil penyelidikan Panitia Angket Century. Hasilnya antara lain menyatakan terjadi penyimpangan dalam pengucuran fasilitas pinjaman jangka pendek senilai Rp 6,76 triliun ke Bank Century.
Menurut Ahmad, hak angket soal Century tetap sah karena juga mengacu pada Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. ”Sistem undang-undang itu telah mengacu pada konstitusi dan sistem pemerintahan presidensial,” katanya. Mahkamah pun tak membatalkan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 27/2009 yang juga diajukan oleh Bambang Supriyanto.
Bambang, yang juga dosen hukum Universitas Atma Jaya, Jakarta, mengakui pembatalan itu tak berpengaruh banyak. ”Paling tidak, ada pembelajaran supaya tak ada lagi dualisme dasar hukum panitia angket,” katanya.
Nada optimistis justru datang dari Ketua Komisi Hukum DPR dari Demokrat, Benny K. Harman. Menurut Benny, pengajuan hak angket ke depan bakal lebih susah. Pasalnya, tak ada lagi rujukan hukum beracara panitia angket. Ia menilai harus ada undang-undang baru yang mengatur tata cara hak angket. ”Pembatalan oleh Mahkamah membuat hak angket jadi lumpuh,” kata Benny.
Pernyataan Benny ini mengarah pada usul hak angket mafia pajak yang pekan ini direncanakan dibahas dalam rapat paripurna DPR. Hak ini sebelumnya juga digagas oleh Sutjipto. Tapi ia mencabut dukungan hak angket setelah Fraksi Demokrat menolak penggunaan hak itu karena berpotensi menyerang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Blunder ini justru terus dilanjutkan legislator fraksi lain. Hingga Jumat pekan lalu, sudah 114 anggota DPR mendukung hak angket.
Toh, sejumlah pengusung hak angket tak terusik dengan manuver sejumlah kader Demokrat. Politikus Golkar, Bambang Soesatyo, mengatakan kekuatan DPR untuk memanggil paksa para pejabat pemerintah memang berkurang dengan pembatalan oleh Mahkamah. Tapi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD masih bisa digunakan untuk melakukan penyelidikan. Undang-undang ini juga membuka mekanisme pengaturan cara kerja melalui peraturan yang dibuat sendiri oleh panitia angket. ”Prinsip hak angket adalah penyelidikan sehingga pejabat yang dipanggil harus datang,” katanya.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo