Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETUKAN palu hakim semakin mengecilkan peluang Agusrin Maryono Najamuddin menduduki kursi Gubernur Bengkulu. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin pekan lalu, hakim menolak keberatan Ketua Partai Demokrat Bengkulu itu atas dakwaan jaksa penuntut umum. "Majelis memutuskan melanjutkan perkara ini," kata hakim Sjarifuddin, membacakan putusan.
Pengusaha dan politikus itu menang dalam pemilihan Gubernur Bengkulu pada Juli tahun lalu. Berpasangan dengan Junaidi Hamzah, ia diajukan oleh Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. Ketika menjadi kandidat, Agusrin telah ditetapkan menjadi tersangka perkara penyelewengan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan, serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebesar Rp 21,3 miliar. Dilantik pada November 2010, pada Januari lalu ia dinonaktifkan ketika perkaranya mulai disidangkan.
Agusrin hanya satu dari ratusan kepala daerah yang terjerat perkara korupsi. Hingga Desember tahun lalu, Indonesia Corruption Watch mencatat 147 kepala daerah tersangkut perkara korupsi. Sebagian besar telah menjalani masa hukuman, yang lain perkaranya sedang diadili. Ada pula yang masih berstatus saksi.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi malah melansir angka lebih besar: 158 kepala daerah terjerat perkara hukum. Angka ini hampir seperempat dari jumlah kepala daerah di Indonesia, yakni 33 gubernur serta 540 kabupaten dan kota. "Ini memprihatinkan," kata Gamawan. Para tersangka tersebar dari wilayah barat hingga ujung timur Indonesia. Umumnya mereka terjerat perkara korupsi dana anggaran pendapatan dan belanja daerah, dana alokasi, serta penggelembungan nilai proyek. Pesakitan ada di Provinsi Aceh hingga Papua (lihat: "Korupsi Seleraku...").
Menurut Gamawan, biaya tinggi pemilihan kepala daerah merupakan penyebab maraknya korupsi. Ketika mengikuti pemilihan, banyak calon disokong pengusaha yang ingin mendapat akses kemudahan bisnis. Duit dari pengusaha, kata dia, dipakai buat membeli "tiket" atau "perahu" partai pengusungnya. Mesin politik partai efektif mengerahkan massa yang mesti dibayar sang kandidat. "Bayangkan, berapa kali dia mesti keluar uang," kata mantan Gubernur Sumatera Barat ini.
Ganjar Pranowo, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mengatakan membayar "balas budi" pendukung juga bisa menjadi penyebab penyelewengan kepala daerah. Ia mengatakan pernah menerima keluhan seorang wali kota di Jawa Barat. Sang wali kota bercerita pernah diminta mengirim satu kontainer sarung oleh seseorang yang mendukung pencalonannya. "Padahal take home pay dia, termasuk tunjangan, cuma Rp 15 juta. Yang seperti ini gimana menanganinya?" kata Ganjar.
Utang budi sering menjerat calon bupati, calon wali kota, bahkan calon gubernur. Mereka tak berpikir ketika mengikat komitmen, yang dihitung sebagai utang. Padahal kemampuan pribadi para kandidat tak mencukupi. "Kalau begini, kan cangkir dengan tutupnya enggak ketemu," Ganjar bertamsil.
Biaya politik lebih besar, tentu saja, dikeluarkan ketika hari pemilihan. Kandidat tergoda menebar duit agar bisa meraup suara. Ganjar mengatakan ia memperoleh informasi ketika melakukan kunjungan kerja ke daerah Banten. Rakyat yang dikunjungi mengatakan senang dengan pemilihan kepala daerah. Sebab, ketika itu para pemilih akan mendapat "rezeki lima tahunan". "Rakyat sudah paham, mereka cuma dibutuhkan pada saat pemilu," ujar Ganjar.
Gamawan menganggap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum mengatur batasan ongkos politik pemilihan kepala daerah. Untuk itu, kata dia, pemerintah akan merevisi aturan tersebut. Ia mencontohkan, pemerintah mengusulkan agar pemilihan gubernur kembali dilakukan dewan perwakilan rakyat daerah. Lainnya, kampanye terbuka dengan pengerahan massa serta pemasangan baliho dan spanduk akan dibatasi. Kampanye sebaiknya juga lewat media massa, misalnya dengan debat. Ia yakin perubahan aturan itu akan memotong biaya politik pemilihan kepala daerah. "Ancer-ancernya bisa dipotong sampai 50 persen," tuturnya.
Usul pemerintah agar pemilihan gubernur dilakukan dewan perwakilan rakyat daerah segera ditentang. Apalagi pemerintah beralasan bahwa gubernur merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. "Ini kan legitimasi bahwa pemerintah pusat selama ini tangannya putus ke daerah," kata Ganjar.
Politikus Partai Golkar, Chairuman Harahap, menilai sistem pemilihan saat ini tidak jelek. "Pelaksanaannya yang tidak benar," katanya. Karena itu, menurut dia, mengubah sistem tak menjamin perubahan lebih baik.
Adapun Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat Amir Syamsuddin mengatakan setuju revisi aturan pemilihan kepala daerah. "Paling menguras duit itu kampanye terbuka," ujarnya. Dengan perubahan aturan, bisa dicegah utang budi kepala daerah.
Yophiandi
Korupsi Seleraku
Sebanyak 147 kepala daerah tersangkut perkara korupsi sejak 2004. Sebagian perkara sudah divonis dan para bupati atau wali kota menjalani hukuman. Meminjam jingle iklan satu produk mi instan: "Dari Sabang sampai Merauke, korupsi seleraku.." Ini di antaranya:
1. ACEH
Armen Desky
Jabatan: Bupati Aceh Tenggara
Pengusung: Partai Golkar
Perkara: Korupsi APBD Aceh Tenggara 2005-2006.
Kerugian negara: Rp 26,9 miliar
Status: Ditangani KPK. Pada 9 Desember 2009 divonis 4 tahun, denda Rp 200 juta, mengganti kerugian negara Rp 2,1 miliar.
2. RIAU
Tengku Azmun Jafar
Jabatan: Bupati Pelalawan
Pengusung: Partai Bulan Bintang
Perkara: Suap imbalan atas izin pemanfaatan kayu
Kerugian negara: Rp 1,28 triliun
Status: Ditangani KPK. Pada 3 Agustus 2009, divonis 11 tahun dan denda Rp 500 juta serta membayar uang pengganti negara Rp 12,367 miliar.
Saleh Djasit
Jabatan: Gubernur Riau
Pengusung: Partai Golkar
Perkara: Korupsi proyek pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran ketika menjabat Gubernur Riau
Kerugian negara: Rp 4,5 miliar
Status: Ditangani KPK
3. BENGKULU
Agusrin Najamuddin
Jabatan: Gubernur Bengkulu
Pengusung: Partai Demokrat
Kasus: Korupsi penyaluran dan penggunaan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan/bea perolehan hak atas tanah dan bangunan Provinsi Bengkulu
Kerugian Negara: Rp 21,3 miliar
Status: Ditangani Kejaksaan Tinggi Bengkulu
4. SUMATERA SELATAN
Syahrial Oesman
Jabatan: Gubernur Sumatera Selatan
Pengusung: Golkar
Perkara: Dugaan suap proyek alih fungsi hutan lindung menjadi Pelabuhan Tanjung Api-api di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan
Status: Ditangani KPK
5. JAWA TENGAH
Fahriyanto
Jabatan: Wali Kota Magelang
Pengusung: PDIP
Kasus: Dugaan penyimpangan pengadaan tanah Stadion Madya di Kampung Sanden, Kelurahan Kramat Selatan, Magelang Utara
Kerugian negara: Rp 11 miliar
Status: Ditangani Kejaksaan Tinggi
6. SULAWESI UTARA
Vonnie Aneke Panambunan
Jabatan: Bupati Minahasa Utara
Pengusung: Partai Demokrat
Perkara: Korupsi pembangunan Bandar Udara Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara
Kerugian negara: Rp 4 miliar
Status: Ditangani KPK
Elly Engelbert Lasut
Jabatan: Bupati Talaud
Pengusung: Partai Kebangkitan Bangsa
Perkara: Dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif Kabupaten Talaud pada 2006-2008.
Kerugian negara: Rp 7,7 miliar
Status: Ditangani kejaksaan, divonis 7 tahun dan membayar kerugian negara Rp 5,5 miliar.
7. MALUKU
Teddy Tengko
Jabatan: Bupati Aru
Pengusung: Partai Demokrat dan Partai Golkar
Perkara: Korupsi dana APBD Kabupaten Kepulauan Aru 2005-2007.
Kerugian negara: Rp 30 miliar
Status: Ditangani kejaksaan.
8. PAPUA
Yusak Yaluwo
Jabatan: Bupati Boven Digoel
Pengusung: Partai Demokrat
Perkara: Dugaan korupsi keuangan daerah dan dana otonomi khusus Kabupaten Boven Digoel sejak 2005 sampai 2007
Kerugian negara: Rp 49 miliar
Status: Ditangani KPK
Jules F. Warikar
Jabatan: Bupati Supiori, Papua
Pengusung: Koalisi PDIP, PPDI, PDS, Partai Patriot Pancasila, dan Partai Pelopor
Perkara: Korupsi dana APBD kabupaten tahun 2006-2008 untuk proyek pembangunan rumah dinas dan pasar di Supiori
Status: Ditangani KPK
Sumber: Indonesia Corruption Watch/PDAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo