Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1>Tokoh Agama</font><br />Turun Gunung Membangunkan Istana

Sembilan tokoh agama menyerukan gerakan moral. Dituding berpolitik praktis.

24 Januari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMPU sorot televisi tiba-tiba padam. Kamerawan dan wartawan digiring ke luar ruangan Wisma Negara, Istana Negara. Adegan ini terjadi lima menit setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pengantar dalam dialog dengan pemuka agama, Senin malam pekan lalu.

Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, yang mendapat kesempatan berbicara, langsung menyentil penggiringan wartawan ke luar ruangan. ”Kami merasakan ketidakadilan,” katanya. Ketua Presidium Inter-Religious Council ini juga memprotes Istana karena mengundang tokoh yang tidak diusulkan, yakni Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siradj dan Ketua Umum Perwakilan Umat Buddha Indonesia Hartati Murdaya.

Setelah Din berbicara, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Monsignor Martinus Dogma Situmorang menyampaikan tujuh butir pernyataan sikap yang isinya mengkritik Yudhoyono.

Ungkapan ”presiden berbohong” pertama kali terlontar di kantor Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jakarta, Senin dua pekan lalu. Sembilan tokoh duduk satu meja menyampaikan pernyataan sikap. Mereka adalah Syafii Maarif, Salahuddin Wahid, Pendeta Andreas Yewangoe, Monsignor Situmorang, Din, Biksu Sri Pannyavaro, Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis-Suseno, dan Djohan Effendi.

Mereka mendesak pemerintah membereskan sejumlah persoalan, antara lain korupsi, kemiskinan dan pemerataan ekonomi, ketidakadilan hukum, pelanggaran hak asasi manusia, serta tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Juga kekerasan atas nama satu kelompok terhadap yang lain.

Hari itu pernyataan Presiden menjadi berita hangat di sejumlah stasiun televisi. Esoknya, dua koran nasional mengangkat tema itu menjadi editorial. Istana resah. Rapat kabinet terbatas yang membahas editorial ”presiden berbohong” digelar di Istana Negara.

Yudhoyono lalu mengutus Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa menghubungi sembilan tokoh itu. ”Saya diminta mengetahui apa yang terjadi, karena Presiden sangat terkejut,” katanya kepada Tempo.

Gayung bersambut. Din Syamsuddin berinisiatif mengirim pesan pendek kepada Yudhoyono soal dialog tersebut. Namun, menurut dia, pesan itu dikirim setelah ada informasi dari Badan Pekerja Lintas Agama soal permintaan Daniel tentang pertemuan tersebut.

Dimulai pukul delapan malam, dialog tokoh agama dengan Yudhoyono berlangsung hingga Selasa dinihari. Kacang, ubi, dan singkong rebus disajikan menjelang makan malam. Namun semuanya tak mampu mencairkan suasana kaku antara para tamu dan tuan rumah.

Jeirry Sumampow, Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, mengatakan Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi sempat tersinggung soal penggunaan kata bohong. ”Dia agak emosional, meski kemudian buru-buru meminta maaf.”

l l l

PERTEMUAN di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, pada November lalu semula hanya untuk hajatan haul almarhum Abdurrahman Wahid dan peringatan Hari Pahlawan. Namun Monsignor Situmorang dan Pendeta Andreas malah sibuk berdiskusi dengan tuan rumah, Salahuddin Wahid. ”Kami bicara bagaimana baiknya mencari solusi,” kata Monsignor Situmorang.

Pertemuan itu juga menyepakati menghidupkan kembali Forum Lintas Agama yang dirintis Nurcholish Madjid. Semua pemimpin agama yang prihatin akan masalah seperti kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, dan penegakan hukum dihimpun di forum ini.

Forum ini berkumpul lagi menjelang Hari Hak Asasi Manusia, pada 9 Desember. Kali ini, Franz Magnis-Suseno dan Moeslim Abdurrahman ikut menyimak paparan Teten Masduki dari Transparansi Internasional Indonesia tentang parahnya korupsi di Indonesia. Sri Palupi dari Institute of Ecosoc Rights juga memaparkan data kemiskinan yang makin menjadi dengan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar.

Masukan dua tokoh muda menjadi amunisi forum tersebut bersikap. ”Waktunya turun gunung karena komunikasi kayaknya sudah macet,” kata Fajar Riza Ul Haq, Direktur Eksekutif Maarif Institute. Syafii Maarif dipilih memimpin gerakan ini.

Badan Pekerja Lintas Agama dibentuk, untuk mencari dukungan fakta dan data lebih akurat di lapangan. Maka 65 lembaga swadaya masyarakat, seperti Wahana Lingkungan Hidup, Jaringan Advokasi Tambang, dan Migrant Care, intelektual, serta perorangan bergabung dalam Badan Pekerja.

Pertemuan selanjutnya digelar di kantor Muhammadiyah, Jakarta. Maarif Institute ditunjuk sebagai tuan rumah. Inilah acara pernyataan sikap tentang 18 masalah yang dikatakan sebagai kebohongan pemerintah. Dari kasus Bank Century, pemberantasan korupsi, pemerataan ekonomi, sampai urusan pembelian sapi korban Merapi yang tak nyata di masyarakat Yogyakarta.

Namun malang bagi Din. Ia dikecam sebagai provokator. Spanduk-spanduk besar yang berisi hujatan kepadanya terpampang di sejumlah jalan protokol. Bahkan Aliansi Rakyat untuk SBY menggelar demonstrasi di kantor Muhammadiyah.

Meski spanduk diturunkan dan pertemuan dengan Yudhoyono sudah terjadi, para tokoh agama itu berkukuh meneruskan gerakan ini. ”Presiden juga setuju tetap berdialog,” ujar Pendeta Andreas. Daniel membenarkan kesepakatan itu. Ia hanya mengharapkan pertemuan lanjutan bisa lebih mendalam.

Din menilai masih ada yang kurang dalam pertemuan pemuka agama dengan Yudhoyono. ”Belum substansial, masih artifisial,” katanya. Apalagi dia menangkap kesan Yudhoyono menganggap mereka telah masuk ranah politik. Din menyatakan langsung menjawab, ”Korupsi dan kemiskinan itu masalah agama, karena menyangkut umat.”

Tudingan adanya kepentingan politik dalam gerakan tokoh agama memang paling diarahkan ke Din dan Syafii. Din pernah diajukan Partai Matahari Bangsa sebagai calon presiden pada Pemilu 2009. Syafii menjadi anggota Dewan Pembina Baitul Muslimin, sayap Islam di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Syafii menanggapi enteng soal itu. ”Arena yang mestinya ngurus politik tak mengurus negara,” ujarnya. Bagi dia, gerakan ini ada manfaatnya. ”Kalau tak ada ini, Istana diam saja.”

Yophiandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus