Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMIS siang dua pekan lalu, panggilan telepon itu dijawab Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Fasli Jalal, di ruang kerjanya. Di ujung telepon, Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi meminta Fasli menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Saya diminta membawa daftar riwayat hidup,” katanya. Senin siang pekan lalu, setelah melapor kepada bosnya, Muhammad Nuh, Fasli meluncur ke Istana Kepresidenan. Di Wisma Negara, lulusan Universitas Cornell, Ithaca, New York, Amerika Serikat, ini mendapat arahan dari Presiden bahwa ia akan diangkat menjadi Wakil Menteri Pendidikan Nasional.
Rabu pekan lalu, Fasli diambil sumpahnya di Istana Negara. Selain melantik Fasli, Presiden Yudhoyono melantik Deputi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Pendanaan Pembangunan Lukita Dinarsyah Tuwo dan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, sebagai wakil menteri di lembaganya masing-masing. Pelantikan para wakil menteri itu bersamaan dengan pelantikan Dipo Alam, Deputi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, sebagai Menteri-Sekretaris Kabinet—posisi yang lowong sejak Sudi Silalahi pindah posisi ke Sekretariat Negara.
Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menyambut baik pengangkatan Fasli sebagai wakilnya. ”Akan sangat membantu melaksanakan tugas,” kata bekas Menteri Komunikasi dan Informatika ini. Fasli memang bukan orang baru di Departemen Pendidikan. Dia sudah bergabung sejak satu dekade silam, sebagai staf ahli Menteri Yahya Muhaimin di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, lalu memimpin sejumlah direktorat jenderal. Ketika riuh-rendah penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu II, Fasli merupakan salah satu nama yang dijagokan untuk menggantikan pendahulunya, Bambang Sudibyo.
Seperti halnya Nuh, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro gembira dengan penunjukan Sjafrie. ”Saya kira pantas ada wakil menteri, karena tugas dan anggaran kami banyak,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2004-2009 ini. Ia mengatakan Sjafrie akan mengurusi masalah yang berkaitan dengan tentara dan polisi, termasuk hubungan luar negeri manakala menteri berhalangan. Bekas Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menganggap Sjafrie sosok yang tepat karena menguasai teknik militer.
Setelah Presiden mengumumkan anggota kabinetnya pada Oktober lalu, Nuh dan Purnomo termasuk yang paling disorot karena dianggap kurang berpengalaman di pos yang akan mereka tempati. Pengamat politik Arbi Sanit menilai pengalaman Nuh—meski pernah menjadi rektor—belum cukup. ”Dia dipilih karena dekat dengan SBY, tak ada keunggulannya,” kata Arbi. Pengamat militer di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jaleswari Pramodhawardhani menilai Purnomo cenderung teknokrat dan kurang tahu soal militer. ”Dia memang pernah menjadi Wakil Ketua Lemhannas pada 1998, tapi keadaan sekarang berbeda,” katanya.
Nah, penunjukan wakil untuk kedua menteri itu menimbulkan dugaan bahwa Presiden ingin memberikan pelapis bagi anggota kabinet yang dianggap kurang mumpuni. Tapi Presiden punya jawaban lain. Yudhoyono menyatakan pengangkatan wakil menteri di sejumlah pos departemen itu berdasarkan pertimbangan beban kerja yang berat dan prioritas yang hendak dicapai kabinet sekarang. Menurut Yudhoyono, Wakil Menteri Pertahanan diharapkan membantu membuat kebijakan serta strategi pertahanan dan modernisasi alat utama sistem persenjataan. Sedangkan Wakil Menteri Pendidikan diharapkan membantu reformasi pendidikan.
Pembentukan jabatan wakil menteri merupakan wewenang presiden yang diatur Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pada pasal 10 disebutkan, ”Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu”. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan pengangkatan wakil menteri dapat mengatasi birokrasi yang bengkak di sejumlah departemen. ”Ada departemen yang memiliki eselon satu lebih dari sepuluh orang,” kata Ketua Panitia Khusus Undang-Undang Kementerian itu.
Pelantikan tiga wakil menteri pekan lalu merupakan gelombang ketiga. Wakil menteri yang pertama kali dilantik adalah Triyono Wibowo, yang diangkat menjadi Wakil Menteri Luar Negeri pada 11 September 2008. Berbeda dengan dua pelantikan selanjutnya, Triyono—yang ketika itu menjabat Duta Besar untuk Republik Austria merangkap Republik Slovenia dan Perwakilan PBB berkedudukan di Wina—dilantik oleh Menteri Hassan Wirajuda di kantor departemen itu, di Pejambon, Jakarta Pusat.
Pada gelombang kedua, 11 November 2009, wakil menteri yang dilantik adalah Bayu Krisnamurti (Wakil Menteri Pertanian), Bambang Susantono (Wakil Menteri Perhubungan), Mahendra Siregar (Wakil Menteri Perdagangan), Alex Retraubun (Wakil Menteri Perindustrian), dan Hermanto Dardak (Wakil Menteri Pekerjaan Umum). Ketika itu Presiden juga melantik Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan. Dengan demikian, saat ini Kabinet Indonesia Bersatu jilid II memiliki sembilan wakil menteri.
Sedianya, jumlah wakil menteri menjadi sebelas jika Presiden jadi melantik Fahmi Idris sebagai Wakil Menteri Kesehatan dan Anggito Abimanyu sebagai Wakil Menteri Keuangan. Ketua Ikatan Dokter Indonesia 2006-2009 dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan itu batal dilantik karena masalah administratif. Menurut Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi, persyaratan yang belum dipenuhi adalah menempati jabatan struktural eselon I-A. ”Bila itu belum dipenuhi, kami tak bisa memaksakan. Kami tak ingin menabrak aturan,” katanya. Sudi pun tak memberikan kepastian kapan keduanya dilantik.
Meski cuma kesalahan administratif, pengamat politik Eep Saefulloh Fatah mengatakan kealpaan itu merupakan kesalahan yang sangat serius dan fatal. ”Untuk proses pengambilan kebijakan yang sangat penting, Istana tidak teliti,” katanya. Sehari sebelum pelantikan, juru bicara kepresidenan Julian Aldrin Pasha telah menyampaikan kepada wartawan ihwal rencana pelantikan. Meski tak menyebut nama, Julian mengiyakan ketika Tempo menyebut Fahmi Idris dan Anggito Abimanyu termasuk yang akan dilantik. Menurut Julian, para calon wakil menteri sudah meneken kontrak kinerja dan pakta integritas.
Soal pengangkatan wakil menteri, Eep menilai langkah Presiden menunjukkan tiadanya komitmen pada reformasi birokrasi. ”Inilah kabinet yang paling tambun di era reformasi, bahkan lebih tambun dibanding seluruh kabinet Orde Baru,” katanya. Pembentukan wakil menteri ini berbeda dengan ketika Soeharto mengangkat menteri muda. Menteri muda merupakan posisi yang dibentuk untuk persiapan departemen baru. Contohnya Cosmas Batubara yang diangkat menjadi Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat untuk kemudian menjadi menteri mandiri pada periode berikutnya.
Menurut Eep, memang ada beberapa pos yang perlu diisi wakil menteri, yaitu Departemen Pertahanan dan Departemen Keuangan. Banyaknya pos wakil menteri ini menunjukkan tidak ada kriteria yang jelas pemilihan wakil menteri itu. Ia mengatakan, jika kondisi ini menjadi kebiasaan, kelak tidak ada alasan untuk tidak mengangkat wakil menteri di setiap departemen. ”Ini kekeliruan politik yang sangat fatal; menunjukkan imajinasi Presiden yang buruk. Kreativitas Presiden layak dipertanyakan,” ujarnya.
Eep mengatakan Presiden dihadapkan pada berbagai pilihan, antara lain memilih orang yang kompeten tapi nonpartai, memilih orang partai yang memang kompeten, dan pilihan pada politik akomodasi. ”Tapi Presiden tidak bisa menentukan di antara tiga pilihan itu,” katanya. Walhasil, kabinet jadi tambun.
Pakar tata negara Irman Putra Sidin mengatakan kabinet yang tambun bertentangan dengan semangat desentralisasi. ”Pejabat yang kurang kerjaan di Jakarta akan mencari kesibukan, salah satunya mengerjakan bagian yang seharusnya menjadi porsi pemerintah daerah,” katanya.
Adek Media, Gunanto, Cornila Desyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo