Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggeser sebuah ganjalan

Indonesia menurunkan tuntutannya, hanya minta daftar 60 pengungsi dari vanimo. tampaknya repatriasi belum bisa segera dimulai. (nas)

16 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROSPEK pemulangan kembali para pengungsi Irian Jaya yang melarikan diri ke PNG tampaknya Iebih cerah. Itu karena ganjalan yang selama ini mempersulit pelaksanaan repatriasi, yakni tuntutan Indonesia pada PNG agar menyerahkan daftar seluruh pengungsi, rupanya telah dicabut. Dalam suatu pertemuan pers mingguan di Departemen Luar Negeri, Sabtu pekan lalu, Menlu Mochtar Kusumaatmadja mengungkapkan, "Sekarang kita setuju meminta daftar dari tidak semua pengungsi, tapi hanya 60 orang yang di Vanimo saja. Kita tahu, tidak mungkin bila kita minta daftar dari semua pengungsi," ujarnya. Perubahan sikap ini, katanya, diputuskan "pekan lalu". Kapan hal ini akan disampaikan pada pemerintah PNG? "Secepatnya," kata Mochtar. Belum jelas mengapa Indonesia memperingan tuntutannya. Semula Indonesia memang cuma meminta daftar penghuni barak penampungan pengungsi di Air Hitam, Vanimo, yang jumlahnya sekitar 60 orang. Namun, pada 25 Mei, melalui sebuah nota diplomatik, Indonesia menyatakan: repatriasi para penyeberang perbatasan baru bisa dimulai jika daftar penyeberang perbatasan di Vanimo "dan juga dari kamp-kamp yang lain" diserahkan. Baru setelah daftar diserahkan,pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan untuk memberikan sumbangan guna pembiyaan hidup para penyeberang itu. Permintaan itu diperkuat lagi pada 28 Mei. Hari itu pemerintah Rl menyampaikan pada pemerintah PNG bahwa Gubernur Irian Jaya Issac Hindom baru akan bisa mengunjungi PNG jika "daftar semua penyeberang" telah diserahkan . Munculnya permintaan itu, yang oleh sekretaris jenderal Departcmen Luar Negeri dan Perdagangan PNG Paulias Matane dianggap "hampir mustahil dilakukan".menyebabkan pelaksanaan repatriasi tertunda. Pemerintah PNG, kata Matane, semula memperkirakan pemulangan kembali itu bisa dimulai awal Juni. "Salah seorang diplomat kami di Jakarta, menurut rencana, akan ada di perbatasan sebelah Indonesia untuk menerima kepulangan para penyeberang, guna melihat apakah semua beres," kata Matane dalam suatu percakapan dengan TEMPO di Vanimo tiga pekan lalu (TEMPO 9 Juni 1984). Diplomat ini, kata Matane, harus diperbolehkan pergi ke Irlan Jaya kapan saja, untuk tujuan itu. "Pemerintah Indonesia telah setuju untuk selalu memberikan informasi pada kami mengenai program yang akan dijalankan. Dan kami telah mendapat jaminan, para penyeberang itu akan mendapat perhatian dan tanggung jawab khusus, agar secara ekonomis kehidupan mereka juga terjamin," kata Matane. Jaminan juga diberikan terhadap keselamatan mereka. Ada yang mempersoalkan mengapa pemerintah Indonesia bersikeras meminta daftar 60 orang pengungsi di Vanimo, karena toh agaknya mereka tidak akan kembali ke Indonesia. Pemerintah PNG sendiri sudah mengisyaratkan bahwa kelompok pengungsi di Vanimo akan diberi ijin tinggal . Menurut Menlu Mochtar, permintaan daftar 60 orang itu "masuk akal". "Daftar itu perlu untuk keperluan identifikasi. Kita tidak ingin masuknya orang yang tidak termasuk rombongan pengungsi itu. Kalau mereka kembali, kita harus tahu siapa mereka," katanya. Termasuk dalam 60 orang itu adalah sejumlah bekas dosen dan mahasiswa Universitas Cenderawasih, Jayapura. Mereka ini rupanya dianggap kelompok OPM yang berpendidikan dan "sadar". Buat Mochtar, jika ada pengungsi yang tidak ingin kembali, "Saya kira tidak menjadi masalah". Katanya, "Ini akan menjadi masalah buat PNG karena mereka sebenarnya tidak mau kehadiran orang-orang itu di sana." Diakuinya, memang ada pihak-pihak di PNG yang tidak ingin melihat sebagian penyeberang itu kembali. "Hal ini akan menjadi dilema buat PNG," ujarnya. Yang dimaksud Mochtar tampaknya kemungkinan: kehadiran para bekas aktivis OPM di PNG yang mendapat izin tinggal akan membuat pusmg pemerintah PNG. Bila para aktivis OPM itu telah menjadi warga PNG, adakah jaminan bahwa mereka akan melepaskan segala kegiatan OPM mereka? Bisa jadi, malah mereka akan bisa beroperasi secara "resmi" di bumi PNG. Dan ini tentunya akan membikin gusar Indonesia. Jika tuntutan daftar semua pengungsi tidak lagi mengganjal, apakah proses repatriasi bisa segera dimulai? Belum tentu. Menurut Mochtar, "Kami ingin repatriasi itu terlaksana secepatnya." Tapi masih ada soal yang perlu dijernihkan lebih dulu: penjelasan mengapa para pengungsi itu menyeberang kc PNG. "Untuk itu, Gubernur Hindom akan menanyakan pada mereka," katanya. Belum diketahui kapan Gubernur Hindom akan pergi ke PNG. Pihak PNG sendiri sangat mengharapkan kunjungan itu, agar proses repatriasi segera bisa dimulai. "Yang paling penting buat kami adalah agar Gubernur Hindom datang kesini dan berbicara dengan wantok (sesama warga)-nya," kata Matane. Jumlah pengungsi Ir-Ja di PNG saat ini sekitar 7.000 orang. Biaya hidup mereka selama ini ditanggulangi bersama oleh pemerintah Indonesia, PIG, Komisi Tinggi PBB untuk Masalah Pengungsi (UNHCR), dan Gereja Katolik PNG. April lalu pemerintah Rl menyumbangkan 22.800 kina (sekitar Rp 23 juta). Pemerintah PNG.telah meminta agar Indonesia memberikan sumbangan lagi. "Hal itu akan dibicarakan lagi, karena arus pengungsi terus berlangsung. Bantuan klta luga tldak tanpa batas tentunva," kata Menlu Mochtar, pekan lalu. Dalam pertemuan pers pekan lalu itu, untuk pertama kalinya Mochtar menjelaskan mengapa pemerintah Indonesia selama ini tidak menanggapi pemberitaan mengenai kematian Arnold A.P., yang selama ini ramai diberitakan, khususnya oleh pers Australia. Hampir semua laporan itu menuduh, kematian Arnold, kepala Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih, April lalu, "misterius". Menjawab pertanyaan AAP (Australian Associated Press), Mochtar mengatakan, bungkamnya para pejabat Indonesia selama ini tak berarti pengakuan bahwa kernatian Arnold seperti yang dituduhkan. "Kami bosan untuk terus-terusan membela diri. Menulis mengenai kematian Arnold A.P. tanpa keterangan dan fakta-fakta merupakan suatu cara yang tidak bertanggung jawab untuk merusakkan nama baik Indonesla. Sekalipun kerusakan itu telah terjadi, kami tetap diam, karena tampaknya cara itu merupakan 'gaya' pers Australia untuk menuduh Indonesia," kata Mochtar. Pers Australia, kata Mochtar, sebetulnya bisa mendapat penjelasan dari yang berwajib di Irian Jaya. Fakta sebenarnya pasti akan muncul. "Mudah-mudahan pers Australia bisa memperbaiki diri, walau sebenarnya kerusakan telah telanjur terjadi," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus