Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Siapa yang Punya Peci,

Monumen Hargorejo di Wonogiri akan diubah setelah diresmikan. karena algojo PKI digambarkan berpeci. Bupati Wonogiri Oemarsono & Ketua DPRD M. Wijaya sepakat kemungkinan penyempurnaan tak tertutup.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

 Siapa yang Punya  Peci,
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MONUMEN Hargorejo itu tegak berdiri di kaki bukit yang terjal. Ada patung lelaki berambut gondrong memakai peci, berpakaian necis, selembar kain melilit lehernya. Tangan kanannya menggenggam arit, siap menebas leher korban yang dijepit dengan lengan tangan kirinya. Wajah patung itu digambarkan bengis, menguatkan profil algojo PKI yang ingin digambarkan lewat monumen itu. Di belakangnya ada patung tentara yang sedang membidikkan senapannya ke algojo gondrong tadi. Di dasar monumen tertulis Jer Basuki Mawa Beya, Mati Saiji Bangki Sakehi. Sejarah yang ingin direkam: tewasnya sejumlah pejabat dan rakyat Wonogiri akibat kekejaman pemberontak PKI Muso pada Oktober 1948. Tapi, ketika Bupati Wonogiri Oemarsono meresmikan monumen itu Kamis pekan lalu, tiba-tiba terdengar reaksi keras. "Ndak ada PKI yang pakai peci," kata Hartojo, 58 tahun, pemuka Kecamatan Tirtonirmoyo, tempat monumen yang letaknya 55 km tenggara Wonogiri, Jawa Tengah. "Peci itu untuk orang beriman, lha PKI 'kan tidak beriman," kata Hartojo lebih lanjut. Masih ada keberatan Hartojo. "Slogan Jer Basuki Maweja Beya, ya, bolehlah. Tapi, Mati Sawiji Bangkit Sakethi (mati satu tumbuh seribu) 'kan slogan PKI dalam setiap kampanye dulu," katanya keras seusai peresmian, di hadapan Bupati Wonogiri. Pak Bupati -- yang rupanya juga kaget -- kemudian sepakat bahwa kemungkinan ada penyempurnaan tak tertutup. Ketua DPRD Wonogiri M. Wijaya juga sependapat. Kendati tak seorang pun tahu persis apa yang dipakai PKI ketika itu, "Kita tak perlu malu memperbaiki monumen. Saya akan berusaha agar monumen direvisi sesuai dengan sejarahnya," ujar Wijaya. Monumen bernilai Rp 10 juta -- termasuk pembangunan makam korban keganasan PKI -- itu dikerjakan pematung setempat Djoko Sadono. Pada TEMPO, salah seorang anak buah Djoko menegaskan bahwa mereka sudah mengerjakan sesuai dengan permintaan Pemda. Namun, agaknya pengumpulan data sebelum pembuatan tak cukup kuat. Untuk mencatat nama 59 korban saja sulit. Akibatnya, dalam marmar di dasar monumen cuma tercatat nama 20 korban ditambah kata-kata: "sembilan anggota Siliwangi dan 27 korban tak dikenal". Urusan nama ini pun disoalkan Hartojo. Ia punya beberapa nama yang belum tercantum di monumen. Penambahan nama itu disetujui M. Wijaya, yang akan dilakukan ketika monumen direvisi. "Termasuk juga tambahan nama kesatuan anggota Siliwangi itu," katanya. Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo dari LIPI menilai, tidak tercantumnya sejumlah nama merupakan kesalahan besar. Ia menegaskan, sebelum membangun monumen harus ada rekonstruksi sejarah yang benar. Abdurrachman juga melihat kekurangan umum dalam pembuatan monumen. "Kita hanya meloncat langsung ke makna monumen tanpa memperhatikan rekonstruksi sejarah secara luas dan dalam," ujarnya. Diakuinya, memang ada tarik tambang antara seni dan rekonstruksi sejarah untuk ditampilkan ke sebuah monumen. Di sini peranan si seniman pembuat monumen teruji. "Idealnya ia dapat memvisualkan sebuah rekonstruksi sejarah dengan benar dengan gambaran yang memikat." Sejarawan itu menganggap hal biasa kalau PKI tempo hari memakai peci. "Muso 'kan memakai peci," katanya Peci itu, katanya, inspirasinya dari Islam. Pada 1920-an peci dipopulerkan oleh golongan nasionalis. Ini bisa dipahami karena mereka ingin mencari dukungan dari Islam yang merupakan mayoritas penduduk. "Jadi, peci sudah menjadi bagian dari pakaian nasional waktu zaman Muso itu," katanya. Monumen Hargorejo dalam waktu dekat ini akan direvisi. Nama korban akan ditambah dengan cara melepas marmar daftar nama. Yang susah, untuk mengganti peci sang algojo, seluruh bagian kepala patung harus dipotong dulu. Ataukah si algojo akan dibolehkan tetap memakai peci? Toriq Hadad (Surabaya), I Made Suarjana (Yogyakarta), dan Muchsin Lubis (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus