ADA penggusuran tanah, ada anggota ABRI. Ada razia minuman keras, tampak ikut pula anggota ABRI. Pemandangan seperti itu belakangan makin dianggap biasa: ABRI dilibat dalam hampir semua kegiatan yang memerlukan "pengamanan", yang terkadang terkesan sepele. Agaknya hal itu dianggap kurang tepat oleh Pangab Jenderal L.B. Moerdani. Maka, Selasa pekan lalu, seusai melapor kepada Presiden Soeharto di Bina Graha, Pangab pun menyatakan, "Jangan terlalu bersandar pada ABRI. Ada pemda seperti gubernur dan bupati yang harus bekerja. Jangan setiap kali mendorong ABRI untuk berbuat. Masa mengambil minuman keras dari warung-warung tukang rokok saja mesti menggunakan RPKAD." Jenderal Benny mengakui, kadang kala ABRI memang terpaksa ditampilkan karena instansi yang harus menangani tidak mampu atau tidak berani. "Tetapi kalau instansi yang bersangkutan mau, mampu, tabah, dan berani, maka bisa diselesaikan dengan baik," katanya. Sebuah jeweran keras kepada para gubernur dan bupati? Kapolda Jawa Tengah Mayjen Muslihat Wiradiputra mengharap agar pernyataan Pangab itu tidak diartikan negatif. "Pangab ingin agar pemda lebih aktif. Ini bukan berarti selama ini pemda tidak bergerak. Tapi Pangab ingin lebih ditingkatkan," katanya Sabtu pekan lalu. Rupanya banyak daerah masih merasa perlu melibat ABRI dalam kasus-kasus tertentu. Pemda Sumatera Utara, misalnya, seperti dikatakan Kepala Humasnya, Hakimil Nasution, melibat anggota ABRI untuk operasi menertibkan lalu lintas, eksekusi rumah penduduk, dan menertibkan pedagang liar. "Mengambil minuman keras di warung kami tidak menggunakan RPKAD, hanya membawa polisi," kata Hakimil. Itu bisa dilihat ketika Kamis pekan lalu Pemda Kota Madya Medan membongkar puluhan rumah penduduk untuk pelebaran jalan di Jalan Pattimura. Sebuah buldoser nampak memporak-porandakan rumah-rumah itu dengan kawalan puluhan polisi, puluhan petugas Kamtib, dan empat tentara. "Kalau ada ABRI, penduduk tidak melawan," kata M. Robin, anggota Kamtib yang mengawal penggusuran. Tanpa ABRI? Robin mengaku mereka sering diejek, bahkan pekan sebelumnya, seorang temannya yang menjadi komandan penertiban pedagang liar di Pasar Bengkok Medan sempat disiram orang dengan kuah sayur. "Kalau mau mengeksekusi rumah oknum ABRI, kami bawa CPM," ujar Robin. Di Jawa Barat, ABRI masih dilibat untuk menagih tunggakan kredit Bimas, karena penunggak bukan cuma petani tapi ada pegawai negeri umum, jaksa, dan anggota ABRI. "Jadi, urusan ke anggota ABRI, ya dengan ABRI lagi. Tapi dalam satuan pelaksana Bimas sendiri tidak ada ABRI," ujar S.A. Yusacc, Kepala Biro Humas Pemda Jawa Barat. Keterlibatan ABRI tampaknya disebabkan aparat pemda seperti Tibum atau Kamtib dianggap kurang berwibawa, selain jumlahnya belum memadai. "Secara kualitatif maupun kuantitatif mereka belum ideal," kata Sekwilda Jawa Timur, Soemardjono Hadikusumo. Tapi selain itu masyarakat pun tampaknya memang lebih menghargai petugas berseragam ABRI. Malah beberapa pemda mentrapkan apel model ABRI untuk meningkatkan disiplin. Di kantor gubernur dan kantor bupati seluruh Sumatera Utara, misalnya, dalam empat tahun terakhir -- begitu Kaharuddin Nasution menjadi gubernur -- setiap hari diadakan apel pagi dan siang. Ada hormat bendera, penghormatan kepada inspektur upacara, dan sebagainya. "Kami terasa jadi lebih gagah," kata Tahan Simatupang, seorang pegawai. Hal yang sama dilakukan di Jawa Barat. Setiap pagi pukul 06.45 dan siang pukul 14.00 seluruh pegawai harus mengadakan apel. Akibatnya, pegawai lebih berdisiplin tak ada lagi yang kabur sebelum habis jam kantor. Produktivitas, menurut Yusacc, meningkat. Meniru ABRI? "Untuk hal yang baik, toh tidak ada salahnya meniru," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini