Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

"Sudah Kutemukan", Bak Maut

8 orang buruh pabrik karton PT. Eurika meninggal dunia & 6 lainnya dirawat dirumah sakit, diduga buruh buruh tersebut menghirup gas beracun yang berasal dari bahan campuran pembuat karton yang mengandung h2s.(dh)

13 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABTU malam itu Lasto minta dibangunkan pagi-pagi. "Besok mau lembur membersihkan bak ampas kertas di pabrik," tutur Ny. Kasih kepada TEMPO menirukan ucapan Lasto, anaknya. Paginya Lasto bersama Jasmadi bersepeda dari desa mereka, Nyetek di Kecamatan Ngoro Mereka menempuh jarak 7 km menuju pabrik karton PT Eureka Aba di Jalan Pacet, di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, 43 km barat daya Surabaya. Tapi Minggu 31 Agustus itu juga hari terakhir bagi kedua buruh harian tersebut. Hari itu, bersama 11 rekan lainnya Lasto dan Jasmadi ditugasi membersihkan sebuah bak berisi bahan pembuat karton. Tapi begitu masuk ke dalam lubang bawah tanah itu, korban berturut-turut berjatuhan. Lasto yang mula-mula masuk ke dalam "gua" dan tak dapat keluar lagi. Buruh kedua, Khaliq, sudah antre di belakang Lasto. Tapi begitu mencapai mulut lubang, ia berteriak "Madiii!". Jasmadi yang dipanggil, berniat menolong sejawatnya. Tapi begitu masuk gua kontan ia tersungkur. "Melihat kejadian itu Wakhid Hasyim bergegas masuk untuk menolong teman-teman. Tapi juga langsung tak bisa bergerak," tutur Satuhadi, buruh lain yang selamat. Wakhid adalah kepala regu buruh harian yang siang itu ditugasi kerja lembur. Dengan cekatan satu persatu anggota regu kerja itu berusaha menolong rekan-rekannya. Tapi mereka --Suradi, Mat Fuadi, Budi Jokosuryo, Sucipto dan Daman -- bernasib sama. Hartoyo, petugas keamanan pabrik, segera menghubungi polisi di Kosek Mojosari yang jaraknya tak terlalu jauh. "Tapi polisi tidak berbuat apa-apa. Malah membentak-bentak kami supaya masuk bak untuk memberikan pertolongan," kata Hartoyo kepada TEMPO. "Karena takut dibentak, saya berniat masuk lubang juga. Tapi sampai di dalam cepat-cepat naik," tutur Satuhadi. Satuhadi Utomo beruntung, tapi harus segera diangkut ke RS Mojokerto. "Kepala saya mendadak pusing dan mau muntah. Di dalam baunya tidak keruan, napas jadi sesak," kata Satuhadi kemudian sambil berbaring di rumah sakit. Sukirno juga berusaha menolong. Ia merogohkan tangan untuk menarik kaki rekannya. Tapi baru saja menyentuh tubuh seseorang, ia menggelepar di lantai. Peristiwa itu menimbulkan kepanikan di kalangan buruh-buruh yang hari itu juga lembur. Terdengar teriakan-teriakan minta tolong. Buruh wanita pada menangis. Suparno, sopir pabrik, mencari akal. Ia mengambil kipas angin lantas dimasukkan ke dalam bak. Maksudnya untuk "mengobrak-abrik" hawa di dalam supaya rekan-rekannya bisa bernapas. Tali Plastik "Tapi beberapa saat kemudian baling-baling kipas itu meleleh," cerita seorang pekerja. Baling-baling kipas itu dari plastik. Akhirnya Suparno yang bertubuh kekar itu mencari tali plastik. Ia berusaha menjerat kaki para korban. Dan berhasil. Tapi 8 orang tak tertolong lagi dan 5 lainnya harus segera mendapat pertolongan di RS Mojokerto. Berita musibah itu segera sampai ke telinga Bupati Mojokerto, D. Fatchoerrochman. "Begitu menerima telepon, saya perintahkan menutup pabrik. Sebab musabab musibah itu harus segera diusut dengan tuntas," kata Fatchoerrochman marah. Petugas Kanwil Binalindung Ja-Tim dan polisi juga segera menjemput buburan kertas untuk diteliti di laboratorium kimia di Surabaya dan Bandung. Empat hari kemudian Menteri Nakertrans Harun Zain meninjau ke sana bersama Dirjen Binalindung Oetoyo Oesman dan Ir. Wagiono, Direktur Evaluasi dan Standardisasi dari Ditjen Industri Kimia Dasar. Mereka menduga kulit-kulit bekas yang juga dipergunakan sebagai salah satu bahan campuran pembuat karton mungkin mengandung H2S (asam sulfida) yang setelah mengalami proses tertentu menjadi amat berbahaya. Gas beracun itulah yang mungkin terhisap hidung para korban. Untuk membersihkan bak yang berbahaya seperti itu lazimnya dilakukan dengan penyemprotan. "Tidak dengan tenaga manusia," kata Ir. Wagiono. Pabrik karton yang menggunakan mesin-mesin bikinan Taiwan itu berproduksi sejak 1977 dengan modal PMDM Rp 450 juta. Kapasitas produksi mestinya 30 ton tapi saat ini baru mencapai 10 ton sehari. Terakhir ada 209 orang bekerja di sana, kebanyakan berstatus "lepas harian". Enam dari 8 korban yang tewas termasuk golongan itu. Mereka mendapat upah cuma Rp 295/hari. Menurut Ka Kanwil Ditjen Binalindung Ja-Tim, Drs. Soetanto Hadisoro, pabrik tersebut sudah beberapa kali diperingatkan untuk memenuhi persyaratan kerja. Misalnya agar memasang pagar di sekitar mesin-mesin beroda. Juga agar menyediakan masker bagi pekerja yang mengolah kertas. DPRD Mojokerto juga sudah berkali-kali membicarakan pabrik Eureka Aba yang kurang manusiawi dalam mempekerjakan buruh. Eureka (bahasa Yunani) artinya "sudah kutemukan". Pihak DPC FBSI Mojokerto mencatat, pabrik tersebut (demikian pula pabrik kertas lainnya di Mojokerto, PT Pakerin) sudah masuk "daftar hitam". Yaitu 45 buah dari 168 pabrik yang berlokasi di Ja-Tim yang dianggap mengabaikan keselamatan buruh-buruhnya. Sementara itu Tim Bantuan Hukum DPP FBSI menyatakan, peringatan Binalindung Ja-Tim seharusnya diikuti tindakan memproses si pengusaha secara hukum "Musibah itu secara preventif bisa dihindarkan sekiranya aparat Dirjen Binalidung berfungsi baik," kata Azhar Achmad SH, pimpinan tim tersebut. Tapi menurut Oetoyo Oesman, sang Dirjen, tenaga pengawas keselamatan kerja terbatas jumlahnya sedang pengetahuan mereka tidak secepat perkembangan tehnologi dan industri. Namun dalam musibah seperti di Eureka Aba tersebut, pengusaha harus menanggung ongkos perawatan dan pengobatan bagi yang sakit serta membiayai pula ongkos penguburan bagi yang tewas, sesuai dengan undang-undang tentang kecelakaan kerja yang berlaku. Pengusaha juga harus membayar sejumlah santunan. Di samping itu, kalau ternyata pengusaha terbukti melanggar ketentuan UU keselamatan kerja, ia diancam hukuman 3 bulan penjara atau denda Rp 100.000. Sanksi pidana itu masih sangat ringan". Tapi sementara menunggu proses hukum, Presiden Soeharto lewat Menteri Harun Zain menyampaikan bantuan kepada para korban. Bagi yang meninggal, Menteri menyampaikan uang Rp 170.000 kepada ahli waris dan masing-masing Rp 50.000 bagi yang masih dirawat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus