SABTU malam itu Lasto minta dibangunkan pagi-pagi. "Besok mau
lembur membersihkan bak ampas kertas di pabrik," tutur Ny. Kasih
kepada TEMPO menirukan ucapan Lasto, anaknya. Paginya Lasto
bersama Jasmadi bersepeda dari desa mereka, Nyetek di Kecamatan
Ngoro Mereka menempuh jarak 7 km menuju pabrik karton PT Eureka
Aba di Jalan Pacet, di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto,
43 km barat daya Surabaya.
Tapi Minggu 31 Agustus itu juga hari terakhir bagi kedua buruh
harian tersebut. Hari itu, bersama 11 rekan lainnya Lasto dan
Jasmadi ditugasi membersihkan sebuah bak berisi bahan pembuat
karton. Tapi begitu masuk ke dalam lubang bawah tanah itu,
korban berturut-turut berjatuhan.
Lasto yang mula-mula masuk ke dalam "gua" dan tak dapat keluar
lagi. Buruh kedua, Khaliq, sudah antre di belakang Lasto. Tapi
begitu mencapai mulut lubang, ia berteriak "Madiii!". Jasmadi
yang dipanggil, berniat menolong sejawatnya. Tapi begitu masuk
gua kontan ia tersungkur.
"Melihat kejadian itu Wakhid Hasyim bergegas masuk untuk
menolong teman-teman. Tapi juga langsung tak bisa bergerak,"
tutur Satuhadi, buruh lain yang selamat. Wakhid adalah kepala
regu buruh harian yang siang itu ditugasi kerja lembur. Dengan
cekatan satu persatu anggota regu kerja itu berusaha menolong
rekan-rekannya. Tapi mereka --Suradi, Mat Fuadi, Budi Jokosuryo,
Sucipto dan Daman -- bernasib sama.
Hartoyo, petugas keamanan pabrik, segera menghubungi polisi di
Kosek Mojosari yang jaraknya tak terlalu jauh. "Tapi polisi
tidak berbuat apa-apa. Malah membentak-bentak kami supaya masuk
bak untuk memberikan pertolongan," kata Hartoyo kepada TEMPO.
"Karena takut dibentak, saya berniat masuk lubang juga. Tapi
sampai di dalam cepat-cepat naik," tutur Satuhadi.
Satuhadi Utomo beruntung, tapi harus segera diangkut ke RS
Mojokerto. "Kepala saya mendadak pusing dan mau muntah. Di dalam
baunya tidak keruan, napas jadi sesak," kata Satuhadi kemudian
sambil berbaring di rumah sakit. Sukirno juga berusaha menolong.
Ia merogohkan tangan untuk menarik kaki rekannya. Tapi baru saja
menyentuh tubuh seseorang, ia menggelepar di lantai.
Peristiwa itu menimbulkan kepanikan di kalangan buruh-buruh yang
hari itu juga lembur. Terdengar teriakan-teriakan minta tolong.
Buruh wanita pada menangis. Suparno, sopir pabrik, mencari akal.
Ia mengambil kipas angin lantas dimasukkan ke dalam bak.
Maksudnya untuk "mengobrak-abrik" hawa di dalam supaya
rekan-rekannya bisa bernapas.
Tali Plastik
"Tapi beberapa saat kemudian baling-baling kipas itu meleleh,"
cerita seorang pekerja. Baling-baling kipas itu dari plastik.
Akhirnya Suparno yang bertubuh kekar itu mencari tali plastik.
Ia berusaha menjerat kaki para korban. Dan berhasil. Tapi 8
orang tak tertolong lagi dan 5 lainnya harus segera mendapat
pertolongan di RS Mojokerto.
Berita musibah itu segera sampai ke telinga Bupati Mojokerto, D.
Fatchoerrochman. "Begitu menerima telepon, saya perintahkan
menutup pabrik. Sebab musabab musibah itu harus segera diusut
dengan tuntas," kata Fatchoerrochman marah. Petugas Kanwil
Binalindung Ja-Tim dan polisi juga segera menjemput buburan
kertas untuk diteliti di laboratorium kimia di Surabaya dan
Bandung.
Empat hari kemudian Menteri Nakertrans Harun Zain meninjau ke
sana bersama Dirjen Binalindung Oetoyo Oesman dan Ir. Wagiono,
Direktur Evaluasi dan Standardisasi dari Ditjen Industri Kimia
Dasar. Mereka menduga kulit-kulit bekas yang juga dipergunakan
sebagai salah satu bahan campuran pembuat karton mungkin
mengandung H2S (asam sulfida) yang setelah mengalami proses
tertentu menjadi amat berbahaya. Gas beracun itulah yang mungkin
terhisap hidung para korban.
Untuk membersihkan bak yang berbahaya seperti itu lazimnya
dilakukan dengan penyemprotan. "Tidak dengan tenaga manusia,"
kata Ir. Wagiono.
Pabrik karton yang menggunakan mesin-mesin bikinan Taiwan itu
berproduksi sejak 1977 dengan modal PMDM Rp 450 juta. Kapasitas
produksi mestinya 30 ton tapi saat ini baru mencapai 10 ton
sehari. Terakhir ada 209 orang bekerja di sana, kebanyakan
berstatus "lepas harian". Enam dari 8 korban yang tewas termasuk
golongan itu. Mereka mendapat upah cuma Rp 295/hari.
Menurut Ka Kanwil Ditjen Binalindung Ja-Tim, Drs. Soetanto
Hadisoro, pabrik tersebut sudah beberapa kali diperingatkan
untuk memenuhi persyaratan kerja. Misalnya agar memasang pagar
di sekitar mesin-mesin beroda. Juga agar menyediakan masker bagi
pekerja yang mengolah kertas. DPRD Mojokerto juga sudah
berkali-kali membicarakan pabrik Eureka Aba yang kurang
manusiawi dalam mempekerjakan buruh. Eureka (bahasa Yunani)
artinya "sudah kutemukan".
Pihak DPC FBSI Mojokerto mencatat, pabrik tersebut (demikian
pula pabrik kertas lainnya di Mojokerto, PT Pakerin) sudah masuk
"daftar hitam". Yaitu 45 buah dari 168 pabrik yang berlokasi di
Ja-Tim yang dianggap mengabaikan keselamatan buruh-buruhnya.
Sementara itu Tim Bantuan Hukum DPP FBSI menyatakan, peringatan
Binalindung Ja-Tim seharusnya diikuti tindakan memproses si
pengusaha secara hukum "Musibah itu secara preventif bisa
dihindarkan sekiranya aparat Dirjen Binalidung berfungsi baik,"
kata Azhar Achmad SH, pimpinan tim tersebut. Tapi menurut Oetoyo
Oesman, sang Dirjen, tenaga pengawas keselamatan kerja terbatas
jumlahnya sedang pengetahuan mereka tidak secepat perkembangan
tehnologi dan industri.
Namun dalam musibah seperti di Eureka Aba tersebut, pengusaha
harus menanggung ongkos perawatan dan pengobatan bagi yang sakit
serta membiayai pula ongkos penguburan bagi yang tewas, sesuai
dengan undang-undang tentang kecelakaan kerja yang berlaku.
Pengusaha juga harus membayar sejumlah santunan. Di samping itu,
kalau ternyata pengusaha terbukti melanggar ketentuan UU
keselamatan kerja, ia diancam hukuman 3 bulan penjara atau denda
Rp 100.000. Sanksi pidana itu masih sangat ringan".
Tapi sementara menunggu proses hukum, Presiden Soeharto lewat
Menteri Harun Zain menyampaikan bantuan kepada para korban. Bagi
yang meninggal, Menteri menyampaikan uang Rp 170.000 kepada ahli
waris dan masing-masing Rp 50.000 bagi yang masih dirawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini