BUYA Hamka hanya menjawab: "Itu soal biasa." Ditemui TEMPO
sehabis bertugas sebagai khatib dan imam, Jumat lalu di Masjid
Agung Al Azhar, dia tak bersedia memberi banyak komentar tentang
keresahan di perguruan di lingkungan masjid itu "Saya akan
selesaikan soal itu secepatnya," kata Ketua Umum Yayasan
Pesantren Islam (YPI) yang membawahkan Perguruan Al Azhar itu.
Peristiwanya memang biasa. Juni lalu, YPI bagian Pendidikan
memberhentikan Kepala Sekolah Taman Kanak-kanak Al Azhar. Salah
satu alasan kepala sekolah tersebut membantu sebuah yayasan
untuk mendirikan TK lain.
Barangkali kualitas alasan itulah sumber keresahannya. Soalnya,
yang dilakukan Ny. N. Sulastomo, kepala sekolah tersebut, bukan
yang pertama kali Sebelumnya sudah sering ia membantu yayasan
yang ingin mendirikan TK. Juga barangkali yang membikin resah,
nyonya yang kini tengah menyiapkan skripsinya di IKIP
Muhmmadiyah itu telanjur disayang rekan guru dan para orang tua
murid.
Agak mengherankan, hal seperti itu terjadi di sebuah perguruan
Islam yang di samping sudah berusia 17 tahun, juga dikenal baik
mutunya. Seperti diakui Kepala Kanwil Dep. P&K DKI, Sulandra:
"Al Azhar termasuk yang top kualitas pendidikannya."
Tapi, dalam sejarah Perguruan Al Azhar rupanya memang ada
sesuatu yang menarik. Ada sesuatu yang bergeser. Dan menurut
sejumlah orang tua murid ibu kepala sekolah yang diberhentikan
itu tahu: Seberapa jauh pergeseran itu, meski ia tak mau bicara.
Yang jelas sekarang ini sudah dibentuk tim yang disebut Panitia
Penyelidikan Kebenaran Keuangan.
Perguruan ini bertolak dari pengajian sore buat anak-anak di
Masjid Al Azhar Tahun 1963, seorang guru agama SMAN VI Kebayoran
Baru mengusulkan agar pengajian ditingkatkan lebih teratur.
Waktu itu di antara pengajar antara lain mahasiswa Nurcholis
Madjid.
Tahun itu pula, dari pengajian didirikan taman kanak-kanak dua
kelas nol kecil dan nol besar, dengan 22 murid saja. Dan,
sebagian besar tak lain anak para abang becak.
Dengan semangat membentuk anak menjadi manusia "penuh toleransi,
berkepribadian, kerakyatan, sederhana dan berwibawa" -- seperti
yang diceritakan salah seorang ibu bekas pembina TK Al Azhar
waktu itu -- sambutan semakin ramai. Meskipun, mula-mula para
ibu guru TK itulah yang mencari murid bukan sebaliknya seperti
sekarang.
Akhirnya bisa pula didirikan SD (1968), kemudian SMP (1969) dan
SMA ( 1974). Jelas, minat besar disebabkan oleh kekhasan sekolah
yang bernapas keagamaan itu.
Dan kini, para murid Al Azhar sebagian besar diantar dan
dijemput mobil. Kalau dulu TK hanya meminjam ruang masjid yang
disekat, kini gedungnya mentereng. Bahkan dua halaman bermain
penuh dengan alat mainan serba neka. (Konon untuk membangun
halaman ini ada orang tua murid yang menyumbang Rp 1 juta). Dari
murid-murid kecil itu dipungut uang sekolah Rp 8-10 ribu. Dan
besar uang pangkal berkisar antara Rp 125 ribu sampai Rp 175
ibu. Ini menurut sejumlah orang tua murid.
Dan mereka pula yang menyatakan perhatian perguruan seperti
lebih tertuju pada usaha mengadakan hanya fasilitas fisik --
sekarang. Mengapa permintaan sumbangan dari orang tua murid
misalnya -- di luar jumlah yang resmi tadi sampai- sampai
dilaksanakan dengan semacm tender yang menyumbang lebih besar,
lebih punya kemungkinan anaknya diterima sekolah di situ? Dan di
mana pula anak-anak orang miskin?
Memang, ada terasa keinginan sementara orang untuk menciptakan
semacam "kelas elite Islam", untuk menandingi pihak di luar
Islam. Hanya, walau mungkin kurang relevan, di tengah orang
berbicara tentang 'sekolah kecil' yang sederhana di pelosok
tanah air, di tengah usaha orang mendirikan 'sekolah terbuka'
untuk menolong anak-anak yang terpaksa belajar sambil kerja, Al
Azhar lalu tampak "mengagumkan". Ia tinggi. Dan jauh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini