Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Al-Azhar, Tinggi Dan Jauh

Perguruan islam al-azhar yang sudah punya reputasi baik, ada kesan sebagai kelas elite islam. ada kepala sekolah tk yang diberhentikan karena ia membantu mendirikan tk lain. (pdk)

13 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUYA Hamka hanya menjawab: "Itu soal biasa." Ditemui TEMPO sehabis bertugas sebagai khatib dan imam, Jumat lalu di Masjid Agung Al Azhar, dia tak bersedia memberi banyak komentar tentang keresahan di perguruan di lingkungan masjid itu "Saya akan selesaikan soal itu secepatnya," kata Ketua Umum Yayasan Pesantren Islam (YPI) yang membawahkan Perguruan Al Azhar itu. Peristiwanya memang biasa. Juni lalu, YPI bagian Pendidikan memberhentikan Kepala Sekolah Taman Kanak-kanak Al Azhar. Salah satu alasan kepala sekolah tersebut membantu sebuah yayasan untuk mendirikan TK lain. Barangkali kualitas alasan itulah sumber keresahannya. Soalnya, yang dilakukan Ny. N. Sulastomo, kepala sekolah tersebut, bukan yang pertama kali Sebelumnya sudah sering ia membantu yayasan yang ingin mendirikan TK. Juga barangkali yang membikin resah, nyonya yang kini tengah menyiapkan skripsinya di IKIP Muhmmadiyah itu telanjur disayang rekan guru dan para orang tua murid. Agak mengherankan, hal seperti itu terjadi di sebuah perguruan Islam yang di samping sudah berusia 17 tahun, juga dikenal baik mutunya. Seperti diakui Kepala Kanwil Dep. P&K DKI, Sulandra: "Al Azhar termasuk yang top kualitas pendidikannya." Tapi, dalam sejarah Perguruan Al Azhar rupanya memang ada sesuatu yang menarik. Ada sesuatu yang bergeser. Dan menurut sejumlah orang tua murid ibu kepala sekolah yang diberhentikan itu tahu: Seberapa jauh pergeseran itu, meski ia tak mau bicara. Yang jelas sekarang ini sudah dibentuk tim yang disebut Panitia Penyelidikan Kebenaran Keuangan. Perguruan ini bertolak dari pengajian sore buat anak-anak di Masjid Al Azhar Tahun 1963, seorang guru agama SMAN VI Kebayoran Baru mengusulkan agar pengajian ditingkatkan lebih teratur. Waktu itu di antara pengajar antara lain mahasiswa Nurcholis Madjid. Tahun itu pula, dari pengajian didirikan taman kanak-kanak dua kelas nol kecil dan nol besar, dengan 22 murid saja. Dan, sebagian besar tak lain anak para abang becak. Dengan semangat membentuk anak menjadi manusia "penuh toleransi, berkepribadian, kerakyatan, sederhana dan berwibawa" -- seperti yang diceritakan salah seorang ibu bekas pembina TK Al Azhar waktu itu -- sambutan semakin ramai. Meskipun, mula-mula para ibu guru TK itulah yang mencari murid bukan sebaliknya seperti sekarang. Akhirnya bisa pula didirikan SD (1968), kemudian SMP (1969) dan SMA ( 1974). Jelas, minat besar disebabkan oleh kekhasan sekolah yang bernapas keagamaan itu. Dan kini, para murid Al Azhar sebagian besar diantar dan dijemput mobil. Kalau dulu TK hanya meminjam ruang masjid yang disekat, kini gedungnya mentereng. Bahkan dua halaman bermain penuh dengan alat mainan serba neka. (Konon untuk membangun halaman ini ada orang tua murid yang menyumbang Rp 1 juta). Dari murid-murid kecil itu dipungut uang sekolah Rp 8-10 ribu. Dan besar uang pangkal berkisar antara Rp 125 ribu sampai Rp 175 ibu. Ini menurut sejumlah orang tua murid. Dan mereka pula yang menyatakan perhatian perguruan seperti lebih tertuju pada usaha mengadakan hanya fasilitas fisik -- sekarang. Mengapa permintaan sumbangan dari orang tua murid misalnya -- di luar jumlah yang resmi tadi sampai- sampai dilaksanakan dengan semacm tender yang menyumbang lebih besar, lebih punya kemungkinan anaknya diterima sekolah di situ? Dan di mana pula anak-anak orang miskin? Memang, ada terasa keinginan sementara orang untuk menciptakan semacam "kelas elite Islam", untuk menandingi pihak di luar Islam. Hanya, walau mungkin kurang relevan, di tengah orang berbicara tentang 'sekolah kecil' yang sederhana di pelosok tanah air, di tengah usaha orang mendirikan 'sekolah terbuka' untuk menolong anak-anak yang terpaksa belajar sambil kerja, Al Azhar lalu tampak "mengagumkan". Ia tinggi. Dan jauh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus