SEPERTI ada yang menggairahkan anak-anak cacat -- di Desa
Blanakan, Kecamatan Ciasem, Subang, Jawa Barat. Mereka bangun
pagi-pagi dan dengan gembira pergi ke sekolah -- tak jauh dari
tempat pelelangan ikan, sekitai 1,5 km dari Laut Jawa.
Anak-anak itu -- ada yang buta, bisu-tuli, lemah ingatan, atau
hanya cacat tubuh -- sejak akhir Agustus mendapat sebuah sekolah
bersama Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Ini merupakan sekolah
campuran yang pertama untuk berbagai jenis anak cacat sekaligus
dari desa itu sendiri -- mengingat jumlah masing-masing jenis
cacat itu hanya sedikit.
Dan itu pula hasil Kelompok Kerja Pendidikan Luar Biasa BP3K
(Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan)
Dep. P&K, yang dibentuk November tahun lalu. Kelompok ini
terdiri dari berbagai unsur antara lain Dep. P&K, Dep. Dalam
Negeri, UI, IKIP Jakarta dan beberapa badan swasta yang aktif
membina anak cacat, misalnya YPAC.
Memang, dari 22 juta anak usia sekolah dasar (7-12 tahun), dua
juta di antaranya tergolong cacat. Dan menurut Dr. Soeroso,
Ketua BP3K, sekolah luar biasa yang ada sekarang (sekitar 200
buah) baru bisa menampung delapan ribu anak cacat saja.
Padahal akan sangat mahal kalau pemerintah mendirikan berbagai
sekolah luar biasa seperti sekarang: untuk masing-masing cacat
satu sekolah. Sebab, dua juta yang tercatat itu tersebar di
berbagai daerah, dan banyak daerah yang jumlah anak yang punya
cacat yang sama jauh dari syarat didirikannya satu sekolah.
Maka, tugas kelompok kerja yang telah disebut itu ialah mencari
cara agar mereka yang mengidap berbagai cacat itu bisa belajar
bersama. Ini memang mirip konsep 'sekolah kecil': bagaimana
menampung sejumlah anak dari berbagai tingkat kelas dalam satu
ruangan dengan satu guru (TEMPO, 29 Maret).
Desa Blanakan ditetapkan sebagai proyek perintis SDLB karena
dianggap potensial. Berpenduduk 10 ribu jiwa, Blanakan cukup
makmur. Tak terlihat ada gubuk reyot di sini. Listrik dari PLTD
sudah menjamah rumah penduduk, yang di sana-sini sudah tembok
penuh.
Di desa ini tercatat delapan anak buta, 10 bisu-tuli, seorang
lemah ingatan dan seorang cacat tubuh. Dari delapan yang tuna
netra, empat anak yang sudah duduk di bangku SD menolak masuk
SDLB. Soalnya, kata M. Arodi, kepala desanya "Ternyata mereka
cuma buta sebelah. Yang dua lagi masih di bawah umur, hingga
belum bisa ditampung. Jadi SDLB ini hanya mempunyai 14 siswa.
Tiga anak bisu-tuli, menurut Komar Darsono, guru yang ditunjuk
mengasuh SDLB itu, sebelumnya juga sudah duduk di kelas III dan
kelas IV SD. Tapi boleh dibilang mereka hanya sebagai anak
bawang. "Pelajaran matematikanya masih lumayan. Tapi mereka tak
bisa membaca," tutur Darsono. Satu anak lagi, wanita, menderita
lemah ingatan. Ia mulanya sudah duduk empat tahun di bangku SD.
Maka, ketika mereka diberi kesempatan bergabung dalam satu
kelas, senangnya bukan main. Mungkin mereka diperhatikan
sungguh-sungguh.
Ada seninya memang, menghadapi berbagai anak cacat -- dari
berbagai tingkat pendidikan -- sekaligus. Tapi nampaknya
Darsono, yang telah mendapat petunjuk BP3K, tamatan Sekolah Guru
Pendidikan Luar Biasa jurusan D (cacat tubuh) yang mengasuh
SLB-B (tuli-bisu) dan C (lemah ingatan) swasta di Subang, tak
banyak kesulitan.
Misalnya di suatu pagi di awal September. Dalam ruang berukuran
sekitar 9 x 7 meter itu, Komar Darsono mengambil sebuah kotak
penuh lubang bermacam bentuk. Ia menghampiri anak didiknya yang
tuna netra. "Ini ada mainan, coba kamu masukkan balok-balok ini
ke dalam kotak," katanya.
Si bocah meraba. Balok kayu berbentuk segitiga dimasukkan ke
dalam lubang yang segitiga, yang segiempat dimasukkan ke dalam
lubang segiempat, dan seterusnya.
Gerak Bibir
Selagi si bocah asyik, Darsono menghampiri anak didiknya yang
lemah ingatan seraya membawa peralatan yang lain selembar kartun
berisi gambar berbagai binatang dan setumpuk kertas kecil
bergambar binatang yang sama. "Ini gambar kambing," katanya,
menunjuk sobekan kertas kecil. "Coba taruh di kartun pada gambar
yang sama." Gadis kecil itu meneliti gambar kambing di sobekan
kertas kecil, lalu mencari-cari gambar yang sama di kertas
kartun.
Sekali waktu dia keliru menaruh gambar kambing di gambar kerbau.
Temannya -- anak bisu yang duduk di bangku sebelah -- berteriak:
"Uh . . . uh," sambil menunjuk.
Darsono tertawa. Dalam pelajaran begini, katanya "Anak yang
bisu-tuli sering membantu saya. Mereka punya penglihatan tajam."
Setelah semua anak kebagian tugas, Darsono berdiri dekat papan
tulis. Ia memberi pelajaran membaca. "Tamu ...," katanya seraya
menunjuk tulisan di papan. Anak-anak menirukan -- kecuali yang
bisu. Darsono segera menghampiri. "T a - m u," ujarnya sekali
lagi memperjelas. Si anak menirukan, tapi tak berhasil. "Memang
tak bisa sekali jadi," tutur Darsono. "Mesti sabar, sampai dia
bisa membaca gerak bibir." Mereka bersekolah tiga jam, dari
pukul 07.00 sampai 10.00.
Sampai Desember nanti, menurut Darsono, ia bertugas mengamati
tingkat kemampuan anak-anak. Yang dinilai punya kemampuan lebih
-- misalnya yang pernah duduk di SD -- akan dikelompokkan
tersendiri. Selebihnya masuk kelompok lain. Pengelompokan ini
"untuk memudahkan memberi pelajaran".
Dari SDLB ini nantinya bisa diketahui, apakah seorang anak sudah
dianggap mampu mengikuti pelajaran di sekolah umum atau harus
melanjutkan di SDLB sendiri. Mereka yang mampu duduk di sekolah
umum, tentulah rugi kalau harus terus mengikuti pelajaran di
SDLB.
Selain Blanakan, kini sedang direncanakan SDLB yang sama di
Pasar Minggu, Jakarta. Peresmiannya diperkirakan sekitar medio
Oktober. Kalau percobaan ini ternyata sukses, nantinya sekolah
serupa akan dibuka di setiap kecamatan. Dan jangka panjangnya
nanti, direncanakan akan dibuka juga sekolah lanjutan luar
biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini