Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Gairah Baru Anak Cacat

SDLB sebagai tempat pendidikan berbagai anak cacat sekolah ini mirip sekolah kecil. diharapkan bisa memberi pendidikan berbagai anak cacat di seluruh pelosok tanah air.

13 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI ada yang menggairahkan anak-anak cacat -- di Desa Blanakan, Kecamatan Ciasem, Subang, Jawa Barat. Mereka bangun pagi-pagi dan dengan gembira pergi ke sekolah -- tak jauh dari tempat pelelangan ikan, sekitai 1,5 km dari Laut Jawa. Anak-anak itu -- ada yang buta, bisu-tuli, lemah ingatan, atau hanya cacat tubuh -- sejak akhir Agustus mendapat sebuah sekolah bersama Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Ini merupakan sekolah campuran yang pertama untuk berbagai jenis anak cacat sekaligus dari desa itu sendiri -- mengingat jumlah masing-masing jenis cacat itu hanya sedikit. Dan itu pula hasil Kelompok Kerja Pendidikan Luar Biasa BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan) Dep. P&K, yang dibentuk November tahun lalu. Kelompok ini terdiri dari berbagai unsur antara lain Dep. P&K, Dep. Dalam Negeri, UI, IKIP Jakarta dan beberapa badan swasta yang aktif membina anak cacat, misalnya YPAC. Memang, dari 22 juta anak usia sekolah dasar (7-12 tahun), dua juta di antaranya tergolong cacat. Dan menurut Dr. Soeroso, Ketua BP3K, sekolah luar biasa yang ada sekarang (sekitar 200 buah) baru bisa menampung delapan ribu anak cacat saja. Padahal akan sangat mahal kalau pemerintah mendirikan berbagai sekolah luar biasa seperti sekarang: untuk masing-masing cacat satu sekolah. Sebab, dua juta yang tercatat itu tersebar di berbagai daerah, dan banyak daerah yang jumlah anak yang punya cacat yang sama jauh dari syarat didirikannya satu sekolah. Maka, tugas kelompok kerja yang telah disebut itu ialah mencari cara agar mereka yang mengidap berbagai cacat itu bisa belajar bersama. Ini memang mirip konsep 'sekolah kecil': bagaimana menampung sejumlah anak dari berbagai tingkat kelas dalam satu ruangan dengan satu guru (TEMPO, 29 Maret). Desa Blanakan ditetapkan sebagai proyek perintis SDLB karena dianggap potensial. Berpenduduk 10 ribu jiwa, Blanakan cukup makmur. Tak terlihat ada gubuk reyot di sini. Listrik dari PLTD sudah menjamah rumah penduduk, yang di sana-sini sudah tembok penuh. Di desa ini tercatat delapan anak buta, 10 bisu-tuli, seorang lemah ingatan dan seorang cacat tubuh. Dari delapan yang tuna netra, empat anak yang sudah duduk di bangku SD menolak masuk SDLB. Soalnya, kata M. Arodi, kepala desanya "Ternyata mereka cuma buta sebelah. Yang dua lagi masih di bawah umur, hingga belum bisa ditampung. Jadi SDLB ini hanya mempunyai 14 siswa. Tiga anak bisu-tuli, menurut Komar Darsono, guru yang ditunjuk mengasuh SDLB itu, sebelumnya juga sudah duduk di kelas III dan kelas IV SD. Tapi boleh dibilang mereka hanya sebagai anak bawang. "Pelajaran matematikanya masih lumayan. Tapi mereka tak bisa membaca," tutur Darsono. Satu anak lagi, wanita, menderita lemah ingatan. Ia mulanya sudah duduk empat tahun di bangku SD. Maka, ketika mereka diberi kesempatan bergabung dalam satu kelas, senangnya bukan main. Mungkin mereka diperhatikan sungguh-sungguh. Ada seninya memang, menghadapi berbagai anak cacat -- dari berbagai tingkat pendidikan -- sekaligus. Tapi nampaknya Darsono, yang telah mendapat petunjuk BP3K, tamatan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa jurusan D (cacat tubuh) yang mengasuh SLB-B (tuli-bisu) dan C (lemah ingatan) swasta di Subang, tak banyak kesulitan. Misalnya di suatu pagi di awal September. Dalam ruang berukuran sekitar 9 x 7 meter itu, Komar Darsono mengambil sebuah kotak penuh lubang bermacam bentuk. Ia menghampiri anak didiknya yang tuna netra. "Ini ada mainan, coba kamu masukkan balok-balok ini ke dalam kotak," katanya. Si bocah meraba. Balok kayu berbentuk segitiga dimasukkan ke dalam lubang yang segitiga, yang segiempat dimasukkan ke dalam lubang segiempat, dan seterusnya. Gerak Bibir Selagi si bocah asyik, Darsono menghampiri anak didiknya yang lemah ingatan seraya membawa peralatan yang lain selembar kartun berisi gambar berbagai binatang dan setumpuk kertas kecil bergambar binatang yang sama. "Ini gambar kambing," katanya, menunjuk sobekan kertas kecil. "Coba taruh di kartun pada gambar yang sama." Gadis kecil itu meneliti gambar kambing di sobekan kertas kecil, lalu mencari-cari gambar yang sama di kertas kartun. Sekali waktu dia keliru menaruh gambar kambing di gambar kerbau. Temannya -- anak bisu yang duduk di bangku sebelah -- berteriak: "Uh . . . uh," sambil menunjuk. Darsono tertawa. Dalam pelajaran begini, katanya "Anak yang bisu-tuli sering membantu saya. Mereka punya penglihatan tajam." Setelah semua anak kebagian tugas, Darsono berdiri dekat papan tulis. Ia memberi pelajaran membaca. "Tamu ...," katanya seraya menunjuk tulisan di papan. Anak-anak menirukan -- kecuali yang bisu. Darsono segera menghampiri. "T a - m u," ujarnya sekali lagi memperjelas. Si anak menirukan, tapi tak berhasil. "Memang tak bisa sekali jadi," tutur Darsono. "Mesti sabar, sampai dia bisa membaca gerak bibir." Mereka bersekolah tiga jam, dari pukul 07.00 sampai 10.00. Sampai Desember nanti, menurut Darsono, ia bertugas mengamati tingkat kemampuan anak-anak. Yang dinilai punya kemampuan lebih -- misalnya yang pernah duduk di SD -- akan dikelompokkan tersendiri. Selebihnya masuk kelompok lain. Pengelompokan ini "untuk memudahkan memberi pelajaran". Dari SDLB ini nantinya bisa diketahui, apakah seorang anak sudah dianggap mampu mengikuti pelajaran di sekolah umum atau harus melanjutkan di SDLB sendiri. Mereka yang mampu duduk di sekolah umum, tentulah rugi kalau harus terus mengikuti pelajaran di SDLB. Selain Blanakan, kini sedang direncanakan SDLB yang sama di Pasar Minggu, Jakarta. Peresmiannya diperkirakan sekitar medio Oktober. Kalau percobaan ini ternyata sukses, nantinya sekolah serupa akan dibuka di setiap kecamatan. Dan jangka panjangnya nanti, direncanakan akan dibuka juga sekolah lanjutan luar biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus