Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi minta dikritik ternyata berbuah banyak sindiran. Tak hanya lembaga swadaya masyarakat yang kerap mengkritik yang buka suara. Wakil Presiden ke-12 yang mendampingi Jokowi di periode pertama, Jusuf Kalla juga ikut memberi komentar. Berikut adalah lima respon dari berbagai kalangan terhadap permintaan sang presiden itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Rocky Gerung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat politik, Rocky Gerung menilai ucapan Presiden Joko Widodo atau Jokowi minta dikritik sebagai paradoks. "Dia berusaha untuk memberikan semacam sinyal bahwa kami tidak anti kritik, padahal di saat yang sama, dia suruh orang untuk perkarakan si pengritik. Itu paradoks," ujar Rocky dikutip dari kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rabu, 10 Februari 2021.
Menurut Rocky, Jokowi seolah menutup mata akan berbagai kasus pembungkaman kebebasan berpendapat yang selama ini terjadi. "Jadi seolah-olah bilang silakan kritik, oke, anda boleh ngomong. Omongan anda dijamin oleh kebebasan, tapi setelah anda ngomong kami tidak jamin kebebasan anda, kira-kira begitu. Setelah ngomong kebebasannya ditunggu oleh UU ITE, ditunggu oleh Bareskrim," tutur mantan dosen Filsafat Universitas Indonesia itu. Jika Jokowi serius dengan ucapannya, ujar Rocky, maka seharusnya semua tahanan politik dibebaskan dan tidak ada buzzer-buzzer yang dikerahkan untuk menyerang pengkritik pemerintah.
Baca: Demokrat: Jika Jokowi Minta Dikritik, UU ITE Harus Direvisi
2. Jusuf Kalla
Jusuf Kalla menyentil pernyataan Jokowi yang meminta masyarakat aktif mengkritik pemerintah. "Beberapa hari lalu presiden mengumumkan silakan kritik pemerintah, tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Seperti yang disampaikan Pak Kwik (Kian Gie), dan sebagainya," ujar JK dalam acara peluncuran Mimbar Demokrasi Kebangsaan Fraksi PKS DPR RI seperti ditayangkan di kanal YouTube PKS TV, dikutip pada Sabtu, 13 Februari 2021.
Menurut JK, demokrasi tak bisa menghilangkan kritik, check and balance amat diperlukan. Sehingga, keberadaan partai oposisi dalam hal ini sangat penting untuk menjaga keberlangsungan demokrasi.
“PKS sebagai partai yang berdiri sebagai oposisi tentu mempunyai suatu kewajiban untuk melaksanakan kritik itu agar terjadi keseimbangan dan kontrol di pemerintahan. Tanpa adanya kontrol, pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik,” tuturnya.
3. Kontras
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang meminta masyarakat aktif mengkritik pemerintah, sementara situasi menunjukkan kebebasan sipil terancam dengan maraknya kasus pelaporan hingga penangkapan aktivis.
"Ironis. Pernyataan tersebut justru menunjukkan presiden tidak memperhatikan situasi dan kondisi penyusutan kebebasan sipil yang ditunjukkan dengan serangkaian pelaporan (sampai dengan penangkapan) kepada individu yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyeimbangkan diskursus negara," ujar Peneliti Kontras, Rivanlee Anandar saat dihubungi Tempo, Rabu, 10 Februari 2021.
Mereka yang mengkritik pemerintah, lanjut Rivan, terancam berujung pada kasus hukum dengan dalih melanggar Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Jikalau benar Presiden menginginkan kritik, beri dan jamin ruangnya dari ancaman pasal karet yang ada selama ini. Ia bisa memulainya dengan bertanggung jawab kepada orang-orang yang menjadi korban pembatasan kebebasan sipil, baik karena surat telegram Kapolri maupun UU ITE," ujar Rivan.
Catatan KontraS, hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. "Lalu 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan objek kritik Polri, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri maupun UU ITE," ujar Rivan.
4. KedaiKOPI
Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia), Hendri Satrio, menilai ajakan Jokowi agar masyarakat aktif mengkritik seharusnya diikuti inisiatif merevisi UU ITE. "Pak Jokowi kan sudah memaparkan niat baik yang sangat bagus. Harus diikuti dengan inisiatif merevisi UU ITE," kata Hendri kepada Tempo, Jumat, 12 Februari 2021.
UU ITE kerap dipakai untuk menjerat pihak-pihak yang mengkritik pemerintah. Catatan KontraS, hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. Lalu dari 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan obyek kritik Polri, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri maupun UU ITE.
5. Pangi Syarwi Chaniago
Pengamat politik dari Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai rezim Presiden Joko Widodo atau Jokowi mudah baper saat menerima kritik.
"Sekarang menyampaikan kritikan agak mengerikan, dulu pemerintah tidak baper dan mereka sadar rakyat yang menghina dan frustasi tidak harus dipenjarakan. Menyampaikan pendapat membuat mereka trauma," kata Pangi, Jumat, 12 Februari 2021.
Pangi mengatakan, pemerintah mestinya tidak boleh baper atau bawa perasaan dalam menerima kritik apalagi setelah Jokowi minta dikritik. Sebab, pemerintah memperoleh fasilitas yang lengkap dengan dibiayai dari pajak rakyat. Ia mengatakan pemerintahan sebelum era Presiden Jokowi lebih bijak dalam menghadapi kritikan rakyat. "Era sebelumnya lebih bijak dan memahami pluralisme suara rakyat. Buzzer bisa dikendalikan dan tertib," kata Pangi.