JAM dinding di rumah itu sudah dua hari mati. Demikian juga jam
weker yang di atas piano. Ny. Hasanah, istri Nakoda Abdul Rivai
sejak Senin petang 26 Januari lalu gelisah hebat di rumahnya di
Jakarta Selatan itu. Seseorang yang tak mau menyebut nama
menelepon: KM Tampomas II terbakar.
Apa yang terjadi? Berita yang datang simpang siur. Pimpinan PT
Pelni tidak segera memberikan kepastian.
Hasanah karena itu kecewa sekali pada pimpinan Pelni. Apalagi
ketika ia tiba-tiba diberitahu bahwa suaminya sudah dikubur di
Ujungpandang bersama penumpang lain, 30 Januari. "Kok
dimakamkan begini saja tanpa memberitahu saya. Seolah-olah tidak
boleh dilihat keluarganya," ujar Hasanah geram.
Apalagi kepastian nasib Rivai itu diketahui bukan dari
perusahaan, tapi dari interlokal H. Arsyad Daeng Lewa, keluarga
Rivai di Ujungpandang. Tutur Daeng Lewa menurut Hasanah:
"Seseorang mengantarkan buku dan cincin Rivai ke rumah. Ketika
saya hendak melihat sendiri mayatnya petugas
menghalang-halangi."
Mayat Rivai sebelumnya ditemukan dalam keadaan terapung di laut
hari Rabu sore. Mayat itu dinaikkan ke Kapal Sonne, yang
kebetulan lewat di sekitar Masalembo, tempat Tampomas
tenggelam.
Ada 29 mayat yang ditemukan Sonne hari itu. Agar tidak membusuk,
semua mayat itu dibungkus plastik dan diberi es. Selembar kertas
ditaruh di atasnya, dengan nomor, ciri-ciri dan jenis
kelaminnya. Mayat nomor dua dapat dipastikan jasad Kapten Rivai.
Di saku tubuh itu ada buku catatan menu yang memuat jelas
namanya. Di jari manis tangan kirinya terdapat cincin kawin
bertuliskan Hasanah. Juga ditemukan kunci kamar kerjanya.
Dirut Pelni tampaknya memahami kekecewaan keluarga Rivai. Sabtu
sore lalu, sebuah pesawat HS Pelita Air Service dicarter untuk
membawa Hasanah dan keluarga ke Ujungpandang. Jenasah Rivai yang
sudah dikuburkan di pemakaman Panaikan diperintahkan untuk
dikeluarkan kembali, dan diterbangkan ke Jakarta. Malam Senin,
sebelum dimakamkan kembali, tubuh nakoda itu diinapkan dulu di
kampus almamaternya. Akademi Ilmu Pelayaran Jakarta. Pidato dan
kehormatan besar diberikan kepada pelaut yang pernah ikut aktif
dalam persiapan merebut Irian Jaya hampir 20 tahun yang lalu
ini. "Di saat rasa bertanggung jawab menurun di mana-mana, Rivai
perlu jadi teladan warga AIP," ujar Fanny Habibie, Sekretaris
Dirjen Perhubungan Laut.
Rivai memang tokoh dengan rasa tanggung jawah. Dia termasuk
orang terakhir yang meninggalkan kapal. "Tolong kirimi saya air
dan makanan, karena saya akan tetap berada di kapal sampai detik
terakhir," pesan Rivai kepada Agus KS, Nakoda KM Sangihe (yang
juga temannya sekelas di AIP). Pesan itu disampaikan lewat
Bakaila, awak kapal Tampomas II yang berhasil menyeberang ke
Sangihe sebelum Tampomas tenggelam.
AGUS tidak mampu memenuhi permintaan rekannya itu, sayang. Tapi
seperti pelaut lain, ia mengagumi Rivai di detik krisis itu.
Hadi Wiyono, seorang anak buah Tampomas, kemudian menceritakan
kepahlawanan terakhir nakodanya. Sebelum Tampomas tenggelam,
Rivai sudah mengenakan pelampung dua buah. Setelah kapal berada
di saatnya yang penghabisan, Rivai berenang mendekati KM
Sengata yang buang jangkar sekitar satu mil di sebelah tenggara.
Rivai berhasil menangkap jaring yang dipasang KM Sengata. Tapi
ketika ada dua penumpang hanyut melewati dekat jaring itu,
Rivai menyambar mereka. Ia memberikan pelampung yang dipakainya
ke tubuh penumpang tadi. Rivai sendiri kemudian terlepas dari
jaring dan hanyut . . .
Rivai, lahir di Bengkulu 23 Agustus 1936 Hasanah lahir di
Ujungpandang beberapa tahun kemudian. Keduanya dikaruniai 4
orang anak -- tiga laki-laki, satu perempuan. Yang tertua
sekolah di SMAN III Jakarta. Si bapak lulus AIP tahun 1959,
terakhir berpangkat Nakoda Besar yang diperolehnya sejak 1972.
Sebelumnya Rivai antara lain pernah jadi Nakoda KM Sangihe dan
Tampomas I.
Di Tampomas II ini Rivai harus melayari
Padang-Jakarta-Ujungpandang dalam waktu 9 hari. "Bang Ivo [nama
panggilan Rivai] hanya punya kesempatan 4 jam singgah ke rumah,
manakala Tampomas II berlabuh di Tanjungpriok," ujar Hasanah
mengenang. Meski begitu, Rivai masih sempat melihat-lihat
pelajaran anaknya, terutama matematika.
Hasanah merasa bahagia sekali bila suaminya punya waktu sehari
saja di rumah di Tebet Barat Dalam itu -- misalnya saat Tampomas
rusak, sebagaimana jadi hari Jumat, dua hari sebelum Tampomas
II terbakar. Sebelum berangkat dari rumah untuk terakhir
kalinya, Rivai sempat minta "azimat" -- selembar kertas
bertulisan Arab -- kepada mertuanya yang tinggal serumah di
Tebet itu.
Tapi kesempatan seperti itu memang langka. Kalau mau bertemu
suaminya lebih lama, Hasanah ikut ke pelabuhan. Di situ ia bisa
satu jam mendampingi suaminya sebelum kapal berangkat.
Selama 7 bulan Rivai memimpin Tampomas II, pernah ia ajak
keluarganya ikut berlayar. Yakni ketika liburan akhir tahun lalu
ke Padang. Sepulang dari liburan, seorang anaknya menggantungkan
foto besar Tampomas II di kamar tidurnya. Pekan lalu, begitu
mendengar ayahnya sudah tiada, foto itu diturunkan, ditinju
bertubi-tubi hingga kacanya pecah ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini