Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rivai, atau sebuah tanggung jawab

Kisah tewasnya abdul rivai, nakoda kapal tampomas ii. ia tenggelam karena menolong orang yang hanyut. rivai orang yang terakhir meninggalkan kapal. kepahlawanannya patut menjadi teladan. (nas)

7 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAM dinding di rumah itu sudah dua hari mati. Demikian juga jam weker yang di atas piano. Ny. Hasanah, istri Nakoda Abdul Rivai sejak Senin petang 26 Januari lalu gelisah hebat di rumahnya di Jakarta Selatan itu. Seseorang yang tak mau menyebut nama menelepon: KM Tampomas II terbakar. Apa yang terjadi? Berita yang datang simpang siur. Pimpinan PT Pelni tidak segera memberikan kepastian. Hasanah karena itu kecewa sekali pada pimpinan Pelni. Apalagi ketika ia tiba-tiba diberitahu bahwa suaminya sudah dikubur di Ujungpandang bersama penumpang lain, 30 Januari. "Kok dimakamkan begini saja tanpa memberitahu saya. Seolah-olah tidak boleh dilihat keluarganya," ujar Hasanah geram. Apalagi kepastian nasib Rivai itu diketahui bukan dari perusahaan, tapi dari interlokal H. Arsyad Daeng Lewa, keluarga Rivai di Ujungpandang. Tutur Daeng Lewa menurut Hasanah: "Seseorang mengantarkan buku dan cincin Rivai ke rumah. Ketika saya hendak melihat sendiri mayatnya petugas menghalang-halangi." Mayat Rivai sebelumnya ditemukan dalam keadaan terapung di laut hari Rabu sore. Mayat itu dinaikkan ke Kapal Sonne, yang kebetulan lewat di sekitar Masalembo, tempat Tampomas tenggelam. Ada 29 mayat yang ditemukan Sonne hari itu. Agar tidak membusuk, semua mayat itu dibungkus plastik dan diberi es. Selembar kertas ditaruh di atasnya, dengan nomor, ciri-ciri dan jenis kelaminnya. Mayat nomor dua dapat dipastikan jasad Kapten Rivai. Di saku tubuh itu ada buku catatan menu yang memuat jelas namanya. Di jari manis tangan kirinya terdapat cincin kawin bertuliskan Hasanah. Juga ditemukan kunci kamar kerjanya. Dirut Pelni tampaknya memahami kekecewaan keluarga Rivai. Sabtu sore lalu, sebuah pesawat HS Pelita Air Service dicarter untuk membawa Hasanah dan keluarga ke Ujungpandang. Jenasah Rivai yang sudah dikuburkan di pemakaman Panaikan diperintahkan untuk dikeluarkan kembali, dan diterbangkan ke Jakarta. Malam Senin, sebelum dimakamkan kembali, tubuh nakoda itu diinapkan dulu di kampus almamaternya. Akademi Ilmu Pelayaran Jakarta. Pidato dan kehormatan besar diberikan kepada pelaut yang pernah ikut aktif dalam persiapan merebut Irian Jaya hampir 20 tahun yang lalu ini. "Di saat rasa bertanggung jawab menurun di mana-mana, Rivai perlu jadi teladan warga AIP," ujar Fanny Habibie, Sekretaris Dirjen Perhubungan Laut. Rivai memang tokoh dengan rasa tanggung jawah. Dia termasuk orang terakhir yang meninggalkan kapal. "Tolong kirimi saya air dan makanan, karena saya akan tetap berada di kapal sampai detik terakhir," pesan Rivai kepada Agus KS, Nakoda KM Sangihe (yang juga temannya sekelas di AIP). Pesan itu disampaikan lewat Bakaila, awak kapal Tampomas II yang berhasil menyeberang ke Sangihe sebelum Tampomas tenggelam. AGUS tidak mampu memenuhi permintaan rekannya itu, sayang. Tapi seperti pelaut lain, ia mengagumi Rivai di detik krisis itu. Hadi Wiyono, seorang anak buah Tampomas, kemudian menceritakan kepahlawanan terakhir nakodanya. Sebelum Tampomas tenggelam, Rivai sudah mengenakan pelampung dua buah. Setelah kapal berada di saatnya yang penghabisan, Rivai berenang mendekati KM Sengata yang buang jangkar sekitar satu mil di sebelah tenggara. Rivai berhasil menangkap jaring yang dipasang KM Sengata. Tapi ketika ada dua penumpang hanyut melewati dekat jaring itu, Rivai menyambar mereka. Ia memberikan pelampung yang dipakainya ke tubuh penumpang tadi. Rivai sendiri kemudian terlepas dari jaring dan hanyut . . . Rivai, lahir di Bengkulu 23 Agustus 1936 Hasanah lahir di Ujungpandang beberapa tahun kemudian. Keduanya dikaruniai 4 orang anak -- tiga laki-laki, satu perempuan. Yang tertua sekolah di SMAN III Jakarta. Si bapak lulus AIP tahun 1959, terakhir berpangkat Nakoda Besar yang diperolehnya sejak 1972. Sebelumnya Rivai antara lain pernah jadi Nakoda KM Sangihe dan Tampomas I. Di Tampomas II ini Rivai harus melayari Padang-Jakarta-Ujungpandang dalam waktu 9 hari. "Bang Ivo [nama panggilan Rivai] hanya punya kesempatan 4 jam singgah ke rumah, manakala Tampomas II berlabuh di Tanjungpriok," ujar Hasanah mengenang. Meski begitu, Rivai masih sempat melihat-lihat pelajaran anaknya, terutama matematika. Hasanah merasa bahagia sekali bila suaminya punya waktu sehari saja di rumah di Tebet Barat Dalam itu -- misalnya saat Tampomas rusak, sebagaimana jadi hari Jumat, dua hari sebelum Tampomas II terbakar. Sebelum berangkat dari rumah untuk terakhir kalinya, Rivai sempat minta "azimat" -- selembar kertas bertulisan Arab -- kepada mertuanya yang tinggal serumah di Tebet itu. Tapi kesempatan seperti itu memang langka. Kalau mau bertemu suaminya lebih lama, Hasanah ikut ke pelabuhan. Di situ ia bisa satu jam mendampingi suaminya sebelum kapal berangkat. Selama 7 bulan Rivai memimpin Tampomas II, pernah ia ajak keluarganya ikut berlayar. Yakni ketika liburan akhir tahun lalu ke Padang. Sepulang dari liburan, seorang anaknya menggantungkan foto besar Tampomas II di kamar tidurnya. Pekan lalu, begitu mendengar ayahnya sudah tiada, foto itu diturunkan, ditinju bertubi-tubi hingga kacanya pecah ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus