Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini 77 tahun lalu, tepatnya 20 November 1946 terjadi perang pasca kemerdekaan di Bali. Perang itu dikenal sebagai Perang Puputan Margarana di Desa Marga, Kecamatan, Margarana, Tabanan, Bali yang dipimpin oleh Ketua Divisi Sunda Kecil pada waktu itu, yakni I Gusti Ngurah Rai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, I Gusti Ngurah Rai masih berusia 29 tahun dan telah memimpin pasukan Ciung Wanara untuk melawan penjajah Belanda yang berambisi untuk membentuk Negara Indonesia Timur pada waktu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertempuran antara pasukan Ciung Wanara dan pasukan Belanda berlangsung sengit. Meskipun pasukan Ciung Wanara kurang dilengkapi senjata, mereka menggunakan taktik perang gerilya untuk melawan pasukan Belanda.
I Gusti Ngurah Rai memiliki peran dalam menyusun strategi, mengatur serangan, hingga berkomunikasi dengan Pemerintah Pusat di Pulau Jawa untuk meminta bantuan.
Pada tahap akhir pertempuran, I Gusti Ngurah Rai meneriakkan kata "Puputan!", menandakan perintah untuk bertempur hingga titik darah penghabisan. Sayangnya, I Gusti Ngurah Rai dan 95 pasukannya tewas di tangan pasukan Belanda.
Kendati banyak pasukan Ciung Wanara tewas, I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya berhasil membunuh 400 pasukan Belanda. Melalui taktik perang gerilya dan tradisi perang Puputan khas Bali, mereka memberikan perlawanan yang signifikan terhadap pasukan penjajah.
Perang Puputan Margarana yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai di Bali dipicu oleh tiga faktor yaitu adanya faktor politik internasional yang memberikan izin kepada Belanda untuk mengambil kembali kekuasaannya di Indonesia.
Kemudian, faktor politik nasional yang menempatkan Bali sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pasca-Kemerdekaan.
Faktor lainnya karena politik lokal, yaitu solidaritas yang dirasakan oleh masyarakat Bali dengan seluruh penduduk Indonesia dalam perlawanan terhadap penjajahan.
Atas dasar peran I Gusti Ngurah Rai dalam perang Puputan, dirinya diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia. Namanya juga diabadikan sebagai bagian dari nama bandara terbesar di Bali.
I Gusti Ngurah Rai memiliki latar belakang Lembaga Pendidikan Militer di Gianyar, Bali dan berada di bawah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ia masuk dalam Korps Prajoda. Hanya beberapa orang yang berasal dari kalangan bangsawan dan orang terpandang yang bisa masuk Divisi tersebut.
Selepas menempuh pendidikan selama empat tahun, I Gusti Ngurah Rai akhirnya lulus pada 1940 dengan pangkat Letnan Dua. I Gusti Ngurah Rai kemudian bergabung ke pasukan Indonesia setelah merdeka pada 1945. Dia dinobatkan sebagai komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian memimpin pasukan Ciung Wanara.
ANANDA BINTANG I NAOMY A. NUGRAHENI