TAK ada petir menyambar sore itu, tetapi aliran listrik yang menuju menara pengawas (air traffic control) dan landasan bagian utara Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, padam. Sejak pukul 15.33 WIB. Minggu sore pekan lalu, bandara yang dibangun dengan teknologi canggih dari Prancis dan baru beroperasi setahun lebih itu praktis -- selama empat jam -- tak bisa berfungsi. "Ini masalah teknis saja, bukan sabotase atau ada sangkut pautnya dengan devaluasi," ujar Achmad Djunaidi, Kepala Biro Hukum dan Humas di sana. Saat itu, katanya, komputer di T8 (substation 8) tiba-tiba ngadat. Aliran listrik kemudian segera diperbaiki, tetapi tetap putus. Sehingga, akhirnya aliran untuk T7, T8, T9, dan T10 pun diputus. Tapi, putusnya listrik ini bukan bersumber dari PLN, melainkan karena gangguan komputer. Sebab, bandara ini punya cadangan 2 buah generator yang masing-masing berkuatan 1.600 KVA dan 850 KVA. Selain itu, juga ada cadangan aki yang mampu bekerja dua jam. Namun, tenaga cadangan ini rupanya tak bisa menggantikan. Dan, tak pelak lagi, jam sibuk yang biasanya mulai pada pukul 14.00 lalu beralih. Para calon penumpang untuk penerbangan domestik, juga yang akan ke luar negeri, lantas banyak yang ngomel. Bahkan, para penjemput pun ikut dikecewakan. Buntutnya sampai di beberapa pelabuhan udara lainnya. Misalnya di Ujungpandang, rombongan Menteri Penerangan, Harmoko, mau tak mau mesti menginap semalam di sana. Karena kondisi Cengkareng sore itu Garuda Indonesia harus menelan pil pahit kerugian tak kurang dari Rp 1 milyar. "Ini berdasarkan pendapatan rata-rata Garuda US$ 680 juta setahun," ujar R.A.J. Lumenta, Dirut Garuda Indonesia, ketika dihubungi Gatot Triyanto dari TEMPO. Bayangkan saja, dari delapan pesawat Garuda yang mesti berangkat dari Cengkareng sore itu, hanya sebuah F-28 yang sempat mengudara menuju Padang. Tiga belas pesawat DC-9, Airbus, F-28, yang akan mendarat di Cengareng pun -- dari berbagai daerah terpaksa tertunda, kembali ke pangkalan semula, atau menginap sementara di lapangan udara lain. Boeing 747 dan DC-10 dari Melbourne, Australia, mau tak mau kembali lagi dari Hong Kong diinapkan di Bali dan dari Tokyo berhenti di Singapura. Kali ini memang bukan soal pelayanan Garuda. Malah Garuda menanggung ongkos penginapan penumpang yang belum mencapai tujuan. "Tapi, kalau mereka memaksa diri, misalnya penumpang dari Ujungpandang ke Jakarta yang diinapkan di Semarang, maka yang mau naik kereta api ke Jakarta tidak diganti karena itu bukan tanggungan Garuda," kata Lumenta. Pesawat Lufthansa dari Frankfurt, Jerman Barat, beruntung sudah mendarat seperempat jam sebelum menara pengawas Cengkareng terganggu aliran listriknya. Namun, pemberangkatan 48 penumpangnya dari Jakarta sempat mundur lebih dan sejam. Sedangkan KLM Royal Dutch Airline, nasibnya kurang mujur. Sekitar 108 penumpang dari Amsterdam, Belanda, yang menuju Jakarta terpaksa dihotelkan di Singapura. Baru keesokan harinya disambung ke Jakarta memakai Garuda, sehingga menelan biaya US$ 16.848 -- tak termasuk ongkos penginapannya. Sementara itu, 124 penumpang dari Jakarta diparkir di Hotel Borobudur, berarti tertunda keberangkatannya dua hari. KLM menanggung penginapan dua malam, dan tiga kali makan pada hari pertama. Dalam keadaan darurat itu, ternyata, ada 14 pesawat yang mendarat di Cengkareng, tanpa tuntunan menara pengawas, termasuk enam pesawat Garuda. Dan, empat pesawat lainnya sempat mendarat di Halim Perdanakusuma. Tapi, penumpang pesawat Singapore Airlines dan Thai Airlines yang mendarat di Halim masih tersekap di pesawat masing-masing. Pukul 19.32 Cengkareng sudah normal. Untuk itu, tiga tenaga ahli komputer asal Prancis dikerahkan. Ternyata, komputer-komputer tidak rusak dan sudah berfungsi seperti biasa. "Mungkin karena kabelnya digigit tikus, sehingga komputernya ngadat," kata Achmad Djunaidi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini