Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Agar hakim tak di-"dor"

52 pengadilan negeri di kota-kota besar dilengkapi dengan alat pendeteksi logam. untuk menghindari keonaran di persidangan. menurut ismail saleh, tak ada kaitannya dengan sidang subversi. (nas)

3 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGAN coba-coba meniru bandit Prancis. Mereka - baru-baru ini - menyandera hakim untuk membebaskan kawannya yang tengah diadili. Sebab, sejak pekan lalu sudah 52 Pengadilan Negeri di kota-kota besar Indonesia diperlengkapi alat pendeteksi logam. "Ini usaha pencegahan agar pengunjung sidang tak sembarang membawa senjata tajam," ujar Prayitno Hartoko Wakil Ketua PN Malang, yang mendapat alat itu dua minggu lampau. Di Jakarta, detektor berbentuk seperti almari itu pertama kali dikenal awal tahun lalu, ketika sidang kasus BCA. Waktu itu, dikhawatirkan ada yang ingin membuat onar persidangan. Berkat pengamanan yang ketat, dan pengunjung harus lewat detektor sebelum masuk ruang sidang, onar itu tak terjadi. Soal pemasangan detektor di pelbagai PN kota besar, kecuali di Dili, Timor Timur, menurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh, tak ada kaitannya dengan sidang subversi. "Ada atau tidak kasus BCA, alat itu tetap dipasang," ujar Ismail Saleh. Artinya, gangguan keamanan dalam persidangan bisa muncul kapan saja. Lihat saja, peristiwa penembakan Pengacara Soeripto dan Hakim Soetrisno di PN Jakarta Barat enam tahun silam. Saat itu kasus yang diadili adalah sengketa rumah. Yang dihadapkan ke pengadilan adalah Kolonel (pur.) Djamil, yang bersengketa dengan adik bungsunya. Sang adik memberi kuasa kepada Pengacara Soeripto, dan menang. Djamil, yang tak puas dengan vonis hakim mengeluarkan sepucuk FN-32 dari tasnya, dan membidik kepala Pengacara Soeripto. Untung, peluru cuma menyenggol pelipis. Bila detektor sudah dipasang, kala itu, peristiwa Djamil tak akan terjadi. Di beberapa pengadilan, pendeteksi logam itu sampai kini belum berfungsi. Misalnya, di PN Yogyakarta dan Purwokerto. Sebab, tak ada peristiwa besar yang diadili. Meski detektor logam sudah dua kali digunakan di PN Medan - pada kasus penjualan 50 kg ganja oleh polisi Aceh dan kasus Nyonya Dewi, bendahara SIA - alat itu belum bisa dinilai efektif. "Belum pernah terjadi penganiayaan di sini, bagaimana bisa memastikan alat itu efektif," ujar Hartomo, S.H., Wakil Ketua PN Medan. Sementara itu, bagi Ketua PN Solo, Setya Harsoyo, pemasangan detektor itu biasa-biasa saJa. "Sejak dulu kami sadar tugas hakim dan risikonya," ujar Setya Harsoyo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus