Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengapa di Indonesia Tak Bisa Menjadi Ateis?

Mahkamah Konstitusi menolak gugatan penghapusan kolom agama di KTP. Kelompok penghayat makin rentan.

9 Januari 2025 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi e-KTP. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mahkamah Konstitusi menolak uji materi penghapusan kolom agama di KTP.

  • Kementerian Dalam Negeri mengklaim kolom agama di KTP masih relevan.

  • Ketika pengikut ateis menikah, mereka terpaksa mengisi kolom agama di KTP.

AGAMA masih jadi urusan vital di Indonesia. Pada 3 Januari lalu, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan uji materi Pasal 22 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan Pasal 61 ayat 1 serta Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang Administrasi kependudukan. Penolakan hakim konstitusi membuat setiap warga negara Indonesia masih wajib mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasal 22 UU Hak Asasi Manusia mengatur bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan kepercayaan serta negara menjaminnya. Sementara Pasal 61 dan 64 UU Administrasi Kependudukan mewajibkan pencantuman agama dalam KTP. Raymond Kamil dan Indra Syahputra, warga Jakarta Timur dan Kota Binjai, Sumatera Utara, menggugat dua pasal yang bertentangan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengajuan gugatan hingga pembacaan putusan terhadap uji materi ini berlangsung singkat. Pemohon mengajukan permohonan itu dengan nomor perkara 146/PUU-XXII/2024 pada Selasa, 1 Oktober 2024. Dua bulan berselang, MK sudah membacakan putusannya.

Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi itu. Pegiat KBB, Tantowi Anwari, mengatakan gugatan menghapus kolom agama di KTP bertujuan menekan angka diskriminasi atas nama agama. “Gugatan kedua pemohon sesungguhnya untuk mengurangi diskriminasi atas nama agama,” kata Tantowi, Selasa, 7 Januari 2025.

Sidang putusan yang menolak gugatan tentang penghapusan kolom agama dalam catatan administrasi kependudukan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 3 Januari 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Seorang narasumber di internal MK bercerita, sembilan hakim konstitusi langsung menggelar rapat permusyawaratan hakim tak lama setelah pemohon memperbaiki dokumen gugtan pada Jumat, 8 November 2024. Rapat itu dilakukan tanpa memanggil terlebih dahulu sejumlah pihak untuk dimintai keterangan, seperti koalisi masyarakat sipil.

Dalam diskusinya, kata narasumber ini, para hakim memandang permohonan penggugat bertentangan dengan ideologi negara. Ideologi yang dimaksudkan adalah sila pertama Pancasila yang meletakkan prinsip dasar negara pada nilai-nilai ketuhanan. Hakim juga berpandangan bahwa gugatan ini akan membuka ruang bagi tumbuhnya kelompok sekuler yang tidak mengakui keberadaan agama dan Tuhan.

Mayoritas hakim berpandangan bahwa negara telah menjamin kebebasan demokrasi warga dengan putusan uji materi pasal serupa sebelumnya pada 2016. Putusan atas perkara bernomor 97/PUU-XIV/201 itu menyatakan warga negara yang menganut aliran kepercayaan—di luar enam agama yang diakui negara sebelumnya, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu—dapat mencantumkan keyakinannya pada kolom agama dalam kartu keluarga dan KTP berbasis elektronik. 

Dalam pertimbangan hukum putusan yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo, Mahkamah berpendapat konsep kebebasan beragama yang dianut di Indonesia bukan berarti warga negara leluasa memilih tidak memeluk agama. Karena itu, norma dalam undang-undang yang mengatur administrasi kependudukan mewajibkan setiap warga negara menyebutkan atau mendaftarkan diri sebagai pemeluk agama atau penganut kepercayaan.

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo memimpin sidang putusan tentang penghapusan kolom agama dalam catatan administrasi kependudukan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 3 Januari 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Tantowi mengatakan komunitas penghayat dan kelompok penganut kepercayaan memang bisa mencantumkan identitas kepercayaannya dalam KTP sejak 2016. Namun, pencantuman itu tidak mengurangi angka diskriminasi terhadap kelompok minoritas beragama. “Selama koalisi melakukan advokasi, beberapa orang yang kami dampingi mengaku dipersulit dalam urusan fasilitas dasar,” ujarnya.

Koalisi mencatat masalah diskriminasi agama dialami oleh sejumlah pemeluk kepercayaan Yahudi yang tinggal di Manado, Sulawesi Utara. Penganut Yahudi yang sebelumnya mencantumkan keterangan “percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa” di KTP kerap menerima perlakuan tidak setara di lingkungannya. Misalnya, ketika mereka mengurus asuransi kesehatan hingga bantuan sosial, pemeluk kepercayaan tersebut kerap dipersulit. 

Mereka mendapat stigma dari lingkungan sekitarnya karena kepercayaan yang dianut berbeda. Lantaran merasa terdiskriminasi, tak sedikit penganut Yahudi mengubah keterangan agama di kolom kartu identitas menjadi Kristen atau Katolik—agama mayoritas di Sulawesi Utara. Berdasarkan laporan dari kelompok penghayat yang diterima KBB, proses pengurusan fasilitas dasar menjadi lebih mudah setelah para penghayat mengganti keterangan agama. 

Koalisi juga melihat pencatatan kolom agama dalam KTP memaksa ateis dan orang yang menganut kepercayaan, keyakinannya tidak memiliki payung organisasi, terpaksa berbohong. Mereka mengaku memeluk satu agama tertentu di KTP-nya. Dampaknya, ketika akan menikah, mereka harus menjalani pernikahan di lembaga agama sesuai dengan agama yang tercatat pada kartu identitasnya tersebut. “Pemaksaan-pemaksaan seperti ini bisa hilang kalau kolom agama di kartu identitas dihapus,” ujar Tantowi. 

Setara Institute berpendapat putusan MK yang menolak gugatan penghapusan kolom agama pada KTP telah memukul kelompok penghayat atau kepercayaan tradisional, agnostik, dan ateis. Komunitas-komunitas ini menghadapi empat konsekuensi. Pertama, kelompok minoritas itu terpaksa terus-menerus mengikatkan diri dengan organisasi agama tertentu. “Itu berarti, negara telah memaksa,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan, Selasa, 7 Januari 2025. 

Kedua, kelompok minoritas kepercayaan akan menghadapi ancaman diskriminasi untuk memperoleh layanan dasar. Mereka yang tidak memilih satu agama tertentu rentan tidak mendapat akses terhadap fasilitas tertentu, seperti akses permodalan, layanan perbankan, serta asuransi. Sebab, untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas itu, warga perlu mengisi kolom agama di KTP. 

Halili mencontohkan banyak pemeluk kepercayaan Kaharingan di Kalimantan akhirnya mengaku beragama Hindu. Sebab, Hindu dianggap lebih dekat dengan ajaran kepercayaan yang mereka anut dibanding agama lain atau “percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa”.  

Ketiga, kelompok ini akan berhadapan dengan ancaman diskriminasi administratif di sektor pendidikan dan lembaga pernikahan. Anak dari latar belakang keluarga yang menganut ateis atau kepercayaan tradisional akan terus-menerus dipaksa menerima pelajaran agama tertentu di sekolahnya sesuai dengan agama yang tercatat dalam kartu identitas orang tua. 

Keempat, angka diskriminasi terhadap minoritas diperkirakan terus bertambah. Dalam lima tahun terakhir, jumlah peristiwa pelanggaran kebebasan beragama meningkat. Setara Institute mencatat terdapat 217 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama pada 2023. Angka itu naik dibanding pada 2022 yang terdata sebanyak 172; juga meningkat dari 2021 yang sebanyak 171 peristiwa. Sedangkan pada 2020, jumlah pelanggaran terhadap kebebasan beragama sebanyak 180 peristiwa dan pada 2020 sebanyak 200 peristiwa. 

Menurut Halili, putusan teranyar MK ini merupakan langkah mundur bagi Indonesia. Sedikit negara di dunia dengan ideologi agama, kata dia, yang masih mencantumkan agama untuk urusan administrasi kenegaraan. “Dua di antaranya hanya Indonesia dan Israel." 

Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Samsul Maarif. Dok. UGM

Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, Samsul Maarif, mengatakan putusan MK itu bertolak belakang dengan kampanye kebebasan beragama di tingkat internasional. Dunia akan memandang Indonesia sebagai negara demokrasi yang tak konsisten lantaran mengikat warganya pada organisasi agama tertentu. Sebab, sebelumnya Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Perjanjian multilateral itu, yang diadopsi oleh Persatuan Bangsa-Bangsa, menjamin kebebasan warga negara untuk beragama dan berkeyakinan. 

Samsul menduga situasi kebebasan beragama ataupun berkeyakinan akan makin suram pada masa mendatang. “Indonesia menampilkan wajah yang memalukan di tingkat global. Kita akan ditertawakan oleh negara lain karena negara seharusnya tidak memprioritaskan keistimewaan pada penganut agama tertentu,” ucapnya, Rabu, 8 Januari 2025. 

Senyampang merespons putusan MK tersebut, Samsul menyarankan agar masyarakat sipil segera mengidentifikasi pelbagai ancaman risiko yang dialami kelompok rentan ataupun minoritas beragama.

Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah mengkaji keputusan-keputusan pemerintah yang bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama. “Negara tidak punya hak mengatur apa pun soal agama karena agama adalah hak alami warga negara,” kata Koordinator Intersectoral Collaboration for Indigenous Religions Rumah Bersama itu. 

Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna turut menyayangkan putusan MK soal pencatatan agama di administrasi kependudukan. Palguna mengatakan negara tidak boleh membatasi ekspresi masyarakat untuk memeluk kepercayaan dalam bentuk apa pun, termasuk melalui pencatatan agama di kolom kartu identitas.

Ia berpendapat menganut agama atau kepercayaan adalah hak konstitusional yang tergolong dalam non-derogable rights atau hak yang melekat pada diri manusia. “Tidak ada konsekuensi hukum dan hukum yang dilanggar jika kolom agama dihapus,” tuturnya. 

Palguna membandingkan putusan teranyar MK dengan putusan lembaga itu pada 2017 yang membuka ruang bagi penganut aliran kepercayaan untuk mencantumkan keyakinannya pada kolom agama di KTP. Putusan sembilan tahun lalu itu merupakan langkah progresif MK untuk menjamin hak warga negara dalam berekspresi dan menganut kepercayaan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Teguh Setyabudi berpandangan berbeda. Teguh mengatakan pencantuman kolom agama dalam kartu identitas masih relevan. Ia mengatakan pencantuman agama dalam kolom KTP akan mempermudah berbagai kebijakan pemerintah.

Misalnya, pengurusan jenazah yang tidak memiliki keluarga atau tak didampingi teman.  “Pencantuman kolom agama juga sangat memudahkan pelayanan menikah warga di Kantor Urusan Agama atau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil,” kata Teguh.

Ia membantah tudingan bahwa putusan MK tersebut akan menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas beragama. Undang-Undang Administrasi Kependudukan, menurut Teguh, mengatur penduduk yang kepercayaannya belum diakui sebagai agama tetap tercatat dalam database kependudukan. Ia menjamin negara tidak akan mengabaikan komunitas penghayat atau kelompok minoritas untuk mendapatkan layanan dasar. 

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan putusan MK itu menegaskan bahwa Indonesia memegang ideologi dasar ketuhanan. Secara implisit, kata Tito, faktor agama telah menjadi dasar negara untuk membangun konstitusinya. Karena itu, pencantuman agama dalam kolom administrasi kependudukan merupakan bentuk perwujudan konstitusi.

“Konsekuensinya, setiap warga perlu mencantumkan agama atau kepercayaan dalam data pribadi,” katanya, Rabu, 8 Januari 2025.

Shinta Maharani dari Yogyakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, Francisca mulai bergabung di Tempo pada 2015. Kini ia meliput politik untuk kanal nasional.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus