Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Akademisi dan Masyarakat Sipil Malang Sampaikan Seruan Luhur, Angkat Isu Penyalahgunaan Kekuasaan

Seruan luhur itu ditandatangani 80 orang terdiri atas akademisi, seniman, dan pegiat pro demokrasi di Malang.

5 Februari 2024 | 17.04 WIB

Juru Galang Seruan Luhur Akademisi dan Masyarakat Sipil Malang menyerahkan secara simbolis Seruan Luhur kepada pemulung Kota Malang, Sunarto. TEMPO/Eko Widianto
Perbesar
Juru Galang Seruan Luhur Akademisi dan Masyarakat Sipil Malang menyerahkan secara simbolis Seruan Luhur kepada pemulung Kota Malang, Sunarto. TEMPO/Eko Widianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Malang - Puluhan akademisi dan masyarakat sipil Kota Malang menyampaikan seruan luhur di alun-alun Tugu Kota Malang pada Senin, 5 Februari 2023. Seruan luhur itu ditandatangani 80 orang terdiri atas dosen, seniman, dan pegiat pro demokrasi di Malang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Dalam seruan itu, mereka menuntut para pemimpin partai politik, para capres cawapres, para calon legislator untuk berpolitik santun mengedepan etika dan budaya malu. Mereka juga menuntut Presiden beserta semua aparatur pemerintahan untuk berhenti menyalahgunakan kekuasaan dengan tidak mengerahkan dan tidak memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan politik praktis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Mengajak masyarakat Indonesia untuk pemilu yang jujur adil dan berani mengawasinya pecurangan. Menyerukan seluruh rakyat Indonesia untuk mempertahankan dan mencari sisa-sisa nilai etika kehidupan berbangsa pada diri kita masing-masing,” kata juru galang Seruan Luhur, Purnawan Dwikora Negara.

Purnawan yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang itu mengatakan terjadi gejala kemunduran dalam etika kehidupan berbangsa. Ada gejala praktik penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan. Mendekati hari pemungutan suara pada Pemilu 2024, kekuasaan digunakan untuk kepentingan politik praktis yang menggerus demokrasi.

Selain itu, semakin rendahnya sikap Kenegarawanan mulai dari presiden, Mahkamah Konstitusi, bahkan para ketua partai dan para capres dan cawapres. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, menurut Purnawan, Joko Widodo secara terang-terangan berpolitik praktis dalam Pemilu dengan atas nama hukum.

“Padahal sesungguhnya di atas hukum adalah etika moral yang tertuang dalam Tap MPR RI No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa,” kata Purnawan.

Situasi ini, kata Purnawan, menjadi suar tanda bahaya bagi krisis keteladanan dan kenegarawanan pemimpin negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin masyarakat. Kondisi ini juga bisa berujung pada ambruknya sistem demokrasi dan hukum. 

Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menyampaikan Indonesia didirikan berdasarkan hukum. Semua pihak harus menaatinya, demi kesejahteraan umum. “Kita butuh teladan, sekarang mengalami krisis keteladanan,” kata dia.

Salah seorang pegiat home schooling Happy Budi mengaku resah, akibat krisis kepemimpinan. Ia di rumah mendidik anak-anaknya dengan etika dan tata krama. Namun, ternyata di luar rumah harus menghirup atmosfer yang tercemar dengan kondisi niretika.

“Saya punya beban moral, apa yang bisa diwariskan kelak? Sedih dengan kondisi krisis keteladanan,” kata Happy.

Seruan luhur secara simbolis disampaikan kepada pemulung Sunarto sebagai simbol perwakilan rakyat. Sambil membawa karung berisi aneka barang bekas, ia menerima beberapa lembar kertas berisi seruan luhur. “Saya berharap perekonomian semakin baik. Sandang, dan pangan murah,” kata Sunarto.

Ninis Chairunnisa

Ninis Chairunnisa

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus