Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Marak Amicus Curiae Menjelang Putusan Sengketa Pemilihan Presiden

Sejumlah akademikus dan kelompok masyarakat sipil mengajukan diri sebagai amicus curiae. Akankah Mahkamah Konstitusi mempertimbangkannya?

18 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, memberikan saat menyampaikan berkas Amicus Curiae kasus Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sebanyak 22 kalangan mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan.

  • Megawati Soekarnoputri termasuk yang mengajukan amicus curiae.

  • Kubu Prabowo-Gibran menyebutkan pranata amicus curiae tidak dikenal dalam sengketa pilpres.

BHIRAWA Jayasidayatra Arifi bergegas menuju gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat sekitar pukul 09.45 WIB. Wakil Asosiasi Pengacara Indonesia di Amerika Serikat atau Indonesian American Lawyers Association (IALA) di Jakarta ini hendak memberikan surat pengajuan untuk menjadi amicus curiae atau sahabat pengadilan kepada Mahkamah Konstitusi, yang tengah menyidangkan sengketa pemilihan presiden atau pilpres 2024.

Bhirawa mengatakan pengajuan diri sebagai amicus curiae ini merupakan kekhawatiran sekaligus harapan warga diaspora, khususnya di Amerika, terhadap pelaksanaan pilpres 2024. Selama proses pemilihan, menurut dia, pihaknya mencatat sejumlah dugaan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mencontohkan, sejumlah masyarakat Indonesia di luar negeri menerima surat suara yang diduga telah dicoblos. "Contoh lain, surat suara telah diterima sebelum jadwal pencoblosan," ujar Bhirawa setelah menyerahkan surat pengajuan sebagai amicus curiae di Mahkamah Konstitusi, Rabu, 17 Maret 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gelombang untuk meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi bersikap adil dan teliti dalam memeriksa perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) 2024 terus bergulir. Hingga Rabu kemarin, Mahkamah Konstitusi mencatat menerima 22 kelompok masyarakat dan akademikus yang menyerahkan surat untuk menjadi amicus curiae. Mereka di antaranya badan eksekutif mahasiswa dari empat kampus, yakni Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Airlangga; kelompok sastrawan dan budayawan; serta perwakilan guru besar, akademikus, dan masyarakat sipil.

Amicus curiae merupakan praktik hukum oleh pihak ketiga di luar pihak beperkara untuk terlibat dalam peradilan. Keterlibatan amicus curiae sebatas memberikan pendapat atau opini yang nantinya digunakan hakim sebagai salah satu pertimbangan dalam memutus perkara.

Bhirawa berharap majelis hakim konstitusi memeriksa semua permintaan sebagai amicus curiae yang dikirim berbagai elemen masyarakat. Dia juga berharap hakim konstitusi mengabulkan permohonan dua pasangan calon presiden dan wakilnya, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud Md.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato politik dalam perayaan HUT ke-51 PDI Perjuangan di Lenteng Agung, Jakarta, 10 Januari 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Megawati Soekarnoputri, presiden ke-5 Indonesia, termasuk pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengirim surat pengajuan sebagai amicus curiae untuk sengketa hasil pilpres 2024, dengan salah satu pemohonnya adalah pasangan calon yang diusung PDIP, Ganjar-Mahfud.

Penyerahan surat itu diwakili Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto pada Selasa, 16 April lalu, dengan didampingi Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat. Todung Mulya Lubis, kuasa hukum pasangan calon Ganjar-Mahfud, turut hadir dalam pendaftaran sebagai amicus curiae tersebut.

Dalam akhir dokumen pengajuan sebagai amicus curiae itu terdapat tulisan tangan Megawati. Menurut Hasto, tulisan tangan Megawati itu sebagai ungkapan perjuangan Raden Ajeng Kartini yang tidak pernah sia-sia karena emansipasi merupakan bagian dari demokrasi dalam melawan penyalahgunaan kekuasaan.

"Rakyat Indonesia yang tercinta, marilah kita berdoa semoga ketok palu Mahkamah Konstitusi bukan merupakan palu godam, melainkan palu emas. Seperti kata Ibu Kartini pada 1911, 'Habis gelap terbitlah terang.' Sehingga fajar demokrasi yang telah kita perjuangkan dari dulu timbul kembali dan akan diingat terus-menerus oleh generasi bangsa," ucap Hasto membacakan tulisan Megawati.

Menanggapi maraknya pengajuan sebagai amicus curiae kepada Mahkamah Konstitusi, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro, mengatakan tindakan tersebut menandakan dua hal. Pertama, simbol kegelisahan kolektif publik terhadap pelaksanaan Pemilu 2024 yang diduga penuh kecurangan. Menurut dia, dugaan kecurangan Pemilu 2024 dimulai dari politik cawe-cawe presiden, politisasi bantuan sosial, dan dugaan pengerahan aparat negara.

Kedua, simbol ketidakpercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi yang tersandera oleh putusannya sendiri. "Publik paham, Mahkamah Konstitusi seperti menjadi tawanan bagi dirinya sendiri. Karena itulah, publik memuntahkan keresahan dan ketidakpercayaan itu melalui amicus curiae," ujar Herdiansyah.

Putusan yang dimaksudkan itu adalah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan yang diketok ketua majelis konstitusi Anwar Usman itu disebut-sebut melanggengkan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo alias Jokowi, maju sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto. Adapun Anwar adalah paman Gibran karena menikah dengan Idayati, adik Jokowi. Belakangan, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menjatuhkan sanksi etik terhadap Anwar. Sanksi tersebut antara lain berupa pencopotan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi dan pelarangan menangani sengketa pilpres 2024.

Herdiansyah menegaskan, hakim konstitusi wajib mempertimbangkan nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. "Jadi semestinya keterangan amicus curiae dijadikan bahan pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara," ujarnya.

Namun, menurut Herdiansyah, opini amicus curiae sejatinya lahir dari analisis yang obyektif, bukan dari pemohon atau mereka yang punya irisan kepentingan langsung dalam perkara sengketa pilpres 2024. Dalam konteks PHPU, kata dia, pendapat amicus curiae tidak terlalu signifikan. Sebab, dia menilai, nuansa politis di lingkup internal Mahkamah Konstitusi masih kuat.

Pakar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan maraknya pengajuan sebagai amicus curiae menjadi indikasi krusial dan peliknya persoalan penyelenggaraan Pemilu 2024. Menurut dia, masyarakat berharap Mahkamah Konstitusi mampu berdiri di atas konstitusi, demokrasi, dan keadilan pemilu. "Mahkamah Konstitusi harus menunjukkan kenegarawanannya dalam memutus perkara sengketa hasil pilpes," ujarnya.

Adapun pengamat politik Karyono Wibowo menjelaskan, fungsi amicus curiae sekadar memperkuat keyakinan hakim dalam memutus sengketa pilpres 2024 agar sesuai dengan harapan para pihak yang mencari keadilan ke Mahkamah Konstitusi. Direktur Indonesian Public Institute ini menilai amicus curiae hanya sebagai bentuk keterlibatan masyarakat dalam peradilan. "Keterangan amicus curiae belum diposisikan sebagai alat bukti yang sah, tapi dalam pembuktian di persidangan dapat dijadikan bahan pertimbangan hakim," ucapnya.

Menurut Karyono, hal yang mesti ditekankan dalam sidang sengketa pilpres 2024 adalah alasan di balik pengajuan sebagai amicus curiae, termasuk dari sejumlah tokoh, seperti Megawati.

Meski begitu, kata Karyono, sikap para tokoh dari berbagai kalangan yang mengajukan diri sebagai amicus curiae bisa mengindikasikan kekhawatiran adanya potensi intervensi terhadap hakim. "Maka diperlukan penguatan keyakinan hakim dalam memutus perkara seadil-adilnya," ujarnya. Mahkamah Konstitusi rencananya memutus sengketa pilpres 2024 pada Senin mendatang, 22 April.

TIM hukum dari pemohon calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut tiga, Ganjar Pranowo-Mahfud Md., dalam sidang perselisihan hasil pemilihan presiden 2024 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2 April 2024. TEMPO/Subekti

Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, mengatakan tengah merekap jumlah pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae dalam sengketa hasil pilpres 2024. Dia membenarkan bahwa pengajuan sebagai amicus curiae baru kali ini terjadi. "Dibanding pada pilpres 2004, 2009, 2014, dan 2019, baru kali ini pengajuan sebagai amicus curiae-nya banyak. Sebelumnya kan enggak ada," ujarnya. 

Barangkali, kata Fajar, PHPU kali ini sesuatu yang menarik. Namun dia enggan menafsirkan makna di balik maraknya pengajuan untuk menjadi amicus curiae kepada Mahkamah Konstitusi. Fajar menegaskan, pengajuan yang diterima akan diserahkan kepada majelis hakim konstitusi. "Apakah dipertimbangkan atau tidak, ya, itu otoritas hakim," katanya.

Dalam kesempatan terpisah, calon presiden Anies Baswedan memuji pengajuan sebagai amicus curiae oleh Megawati Soekarnoputri. Menurut Anies, surat permohonan sebagai amicus curiae yang diajukan Megawati mengandung pesan kuat dalam memperjuangkan demokratisasi selama lebih dari 25 tahun. "Ini pesan moral yang harus menjadi perhatian," ucapnya.

Megawati, kata Anies, memperjuangkan demokrasi sejak 1990-an pada masa Orde Baru. Anies menilai Ketua Umum PDIP itu turut merasakan masa pemilu yang berjalan tidak transparan dan penuh kecurangan. Pada masa Orde Baru, kata Anies, demokrasi merupakan praktik seremonial belaka.

Anies menyatakan surat Megawati itu adalah salah satu tanda bahwa demokrasi Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. "Apakah kita akan kembali ke era di mana praktik-praktik demokrasi menjadi seremonial saja karena semua sudah serba diatur?" ujarnya.

Amicus Curiae Disebut Bukan Untuk Sengketa Pilpres

Sementara itu, Gibran Rakabuming Raka menyatakan belum mengetahui surat pengajuan sebagai amicus curiae yang diserahkan Megawati kepada Mahkamah Konstitusi. Meski demikian, calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto ini mengatakan tim kuasa hukumnya sudah pasti selalu siap menghadapinya. "Biarkan semuanya berproses. Tapi, kalau apa isi suratnya, saya belum baca," katanya. Ihwal tudingan kecurangan yang disebut terstruktur, sistematis, dan masif, Gibran mempersilakan hal itu dibuktikan. 

Fachri Bachmid, Wakil Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, mengatakan permohonan sebagai amicus curiae yang dikirim sejumlah kalangan bisa dianggap sebagai sikap intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, amicus curiae sejatinya hanya memberikan opini.

Amicus curiae, dia melanjutkan, hanya dapat dilihat serta dipraktikkan dalam persidangan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Pihak ketiga yang berkepentingan bisa mendaftarkan diri dan memberikan pendapat dalam proses pengujian undang-undang. "Adapun terhadap sengketa pilpres, dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi serta Peraturan MK Nomor 4 Nomor 2023 tentang hukum acara sengketa pilpres tidak dikenal adanya amicus curiae," ujarnya. 

Lagi pula, kata dia, amicus curiae biasanya hanya digunakan pada negara-negara yang menggunakan sistem common law. Pranata amicus curiae, kata Fachri, tidak umum digunakan pada negara-negara dengan civil law system, termasuk Indonesia. "Meski pada hakikatnya praktik seperti ini tidak dilarang jika digunakan dalam sistem hukum nasional," katanya.

Secara yuridis, konsep amicus curiae di Indonesia merujuk pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. "Secara praksis hukum, konsep amicus curiae lebih condong dipraktikkan pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung," ujarnya dalam keterangan tertulis, kemarin.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Adinda Jasmine Prasetyo, Amelia Rahima Sari, Defara Dhanya Paramitha, Sultan Abdurrahman, dan Septhia Ryanthie berkonteribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus