Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Seberapa Kuat Amunisi PDIP Menggugat Hasil Pilpres

PDIP menggugat KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan bukan soal sengketa pilpres, melainkan pembiaran oleh KPU. Apa saja?

2 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua tim hukum PDI Perjuangan Gayus Lumbun (tengah) bersama jajarannya memberikan keterangan pers prihal perkembangan gugatan yang ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, 23 April 2024. ANTARA/Sulthony Hasanuddin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • PTUN menggelar sidang pemeriksaan persiapan gugatan PDIP terhadap KPU pada Kamis ini.

  • PDIP menyebutkan gugatan bukan soal proses pemilu, tapi adanya perbuatan melawan hukum oleh KPU.

  • KPU bersiap menjawab dalam persidangan di PTUN.

TIM Hukum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) baru selesai menggelar rapat, sehari sebelum bersidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Tim beranggotakan 16 orang ini selesai menjalani rapat sekitar pukul 17.40 WIB, Rabu sore, 1 Mei 2024. “Ini bukan sengketa hasil pilpres dan bukan mengenai proses pemilu. Gugatan yang dilayangkan ini karena adanya perbuatan melawan hukum atau onrechtmatige overheidsdaad yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum atau KPU,” ujar Ketua Tim Hukum PDIP Gayus Lumbuun saat dihubungi, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gayus sering menepis anggapan bahwa gugatan yang diajukan ke PTUN berhubungan dengan hasil pemilu ataupun sengketa proses pemilu. Menurut mantan hakim agung ini, obyek perkara dalam gugatan ke PTUN berbeda dengan sengketa hasil pemilihan presiden (pilpres) 2024 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Tim Hukum PDIP, kata Gayus, tidak ingin menyentuh sengketa hasil pilpres. Gugatan PDIP ke PTUN untuk mengadili dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan komisioner KPU.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Tim Hukum PDI Perjuangan, Gayus Lumbuun, memberi keterangan pers ihwal perkembangan gugatan yang ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) di kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, 23 April 2024. ANTARA/Sulthony Hasanuddin

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pada 22 April 2024 menolak permohonan dua pasangan calon presiden dan wakilnya, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Dua hari setelah putusan tersebut dibacakan, KPU menetapkan pasangan calon presiden dan wakilnya, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sebagai pemenang pilpres 2024. 

Pasangan Anies-Muhaimin diusung oleh koalisi Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Adapun pasangan Ganjar-Mahfud diusung PDIP, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta partai non-DPR, seperti Hanura dan Perindo.

Perlawanan PDIP terhadap keputusan KPU sejatinya tidak hanya melalui Mahkamah Konstitusi. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri meminta tim hukum partainya menggugat KPU ke PTUN pada 20 hari sebelum pembacaan putusan sengketa hasil pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi. Gayus Lumbuun mendaftarkan langsung gugatannya ke PTUN di Jakarta Timur pada 2 April 2024. Gugatan itu terdaftar dengan nomor perkara 133/G/2024/PTUN.JK.

Melansir dari laman https://sipp.ptun-jakarta.go.id, klasifikasi perkara yang diajukan disebutkan sebagai "Tindakan Administrasi Pemerintah/Tindakan Faktual". Namun tidak disebutkan apa saja tindakan administrasi yang menjadi dasar gugatan. Hanya disebutkan pengadilan menetapkan sidang pemeriksaan persiapan akan digelar pada Kamis, 2 Mei 2024, pukul 10.00 WIB. Masih dari laman tersebut, gugatan itu telah melalui penetapan dismissal dengan status "diterima" oleh hakim pada 23 April 2024.

Gayus Lumbuun menjelaskan, gugatan Tim Hukum PDIP mempersoalkan KPU yang dinilai melawan hukum. Menurut dia, KPU tidak segera meminta konsultasi untuk menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) ke Dewan Perwakilan Rakyat demi mengubah Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dibacakan pada 16 Oktober 2023. Adapun surat permintaan KPU untuk konsultasi ke DPR baru dikirim pada 23 Oktober 2023.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengabulkan sebagian permohonan dengan menyatakan konstitusionalitas usia calon presiden atau wakil presiden yang sebelumnya ditetapkan “paling rendah 40 (empat puluh) tahun”. Putusan itu menyatakan usia “paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tak dimaknai “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”. Putusan ini disebut memuluskan jalan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang berusia 36 tahun itu sebagai calon wakil presiden dalam kontestasi pilpres 2024. 

Namun Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden masih mencantumkan syarat usia paling rendah 40 tahun. “Jadi tidak ada upaya langsung yang membuat atau membatalkan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 itu,” ujar Gayus.

Tim Hukum PDIP, Gayus melanjutkan, juga akan membawa putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam sidang gugatan di PTUN. Putusan DKPP menyatakan KPU melanggar etik karena menetapkan Gibran sebagai calon wakil presiden tanpa lebih dulu mengubah peraturan KPU. 

Menurut Gayus, putusan DKPP bersifat etik, tapi tindakan KPU bisa dinilai menjadi perbuatan melawan hukum. KPU juga bisa dianggap melakukan pembiaran atau omission sehingga menimbulkan perbuatan melawan hukum. “Kami memaparkan hal-hal yang menyangkut proses yang tidak dilalui oleh KPU sebagaimana mestinya dan terjadi pembiaran. Pembiaran ini justru dilakukan oleh KPU,” katanya.

Dia mengklaim gugatan ke PTUN merupakan episentrum yang akan mengadili penyebab utama munculnya sengketa pilpres. “Episentrum itu terjadi di kalangan kekuasaan negara di bidang pemilu ini yang melanggar sehingga terjadilah semua karut-marut ini,” ujar dia. 

Tim Hukum PDIP mengajukan sejumlah petitum atau permohonan. Di antaranya memerintahkan KPU menunda pelaksanaan keputusan tentang penetapan hasil pilpres, memerintahkan KPU agar tidak melakukan tindakan administrasi apa pun hingga ada keputusan berkekuatan hukum tetap atas gugatan PTUN, dan memerintahkan KPU mencabut keputusannya.

Dihubungi secara terpisah, Dave Surya, anggota Tim Hukum PDIP, mengatakan obyek sengketa dalam gugatan ke PTUN adalah tindakan faktual KPU yang seharusnya dilakukan, tapi tidak dilakukan. “Istilah gampangnya pembiaran. Pembiaran itulah yang menjadi obyek sengketa. Sikap diam dan tidak bertindak oleh KPU,” ujar Dave saat dihubungi Tempo, kemarin.

Dave menepis argumen yang menyebut gugatan PDIP ke PTUN tidak layak. Ia mengatakan gugatan mereka dibenarkan menurut hukum acara tata usaha negara dan administrasi negara. Hal tersebut, dia menegaskan, dibuktikan saat sidang dismissal atau proses penyaringan berkas gugatan. 

Dia menjelaskan, sidang dismissal pada 23 April lalu telah meloloskan gugatan mereka sehingga dianggap layak. Setelah lolos sidang penyaringan, sidang pertama untuk perbaikan digelar pada 2 Mei 2024. “Jadi pada Kamis ini memang pertama kalinya perbaikan gugatan dapat diperlihatkan untuk umum,” kata Dave.

Rapat Pleno Terbuka Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Pemilu Tahun 2024 di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, 24 April 2024. TEMPO/Subekti

KPU Siapkan Jawaban di Sidang PTUN

Dalam kesempatan terpisah, komisioner KPU, Idham Kholik, mengungkapkan persiapan sidang di PTUN akan sama seperti persidangan pada umumnya. KPU akan menyiapkan jawaban terhadap yang digugat dan disengketakan. 

Idham menyebutkan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap dua perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) dalam sengketa hasil pilpres telah menegaskan KPU tidak melanggar hukum. Menurut dia, Mahkamah Konstitusi bahkan menegaskan bahwa hal yang dilakukan KPU dalam melaksanakan pencalonan peserta pemilu sudah sesuai dengan konstitusi. 

Menurut Idham, gugatan tata usaha negara sehubungan dengan pemilu seharusnya dilakukan setelah upaya administratif di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Aturan tersebut tertera dalam Pasal 471 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Idham mengatakan lembaganya sampai saat ini tidak pernah menerima informasi dari Bawaslu tentang putusan sengketa proses yang digugat Tim Hukum PDIP ke PTUN. “Kini tahapan penyelenggaraan pilpres tersisa satu tahapan lagi, yaitu pelantikan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober 2024,” tutur Idham lewat aplikasi perpesanan WhatsApp, kemarin.

Menanggapi pengajuan gugatan tersebut, Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan Tim Hukum PDIP bisa saja menjadikan jadwal KPU meminta konsultasi ke DPR sebagai obyek sengketa di PTUN. Menurut Charles, pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang menilai tindakan KPU sudah tepat dengan menerima pencalonan Gibran sebelum mengubah peraturan KPU adalah hal keliru. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menjustifikasi tindakan KPU tersebut karena terikat dengan jadwal pemilu.

Charles mengungkapkan, KPU justru tidak segera menyurati DPR setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023. KPU baru menyurati DPR untuk meminta konsultasi revisi peraturan KPU pada 23 Oktober. Alasannya, DPR masih dalam masa reses sehingga tidak bisa menggelar sidang untuk rapat dengar pendapat hingga selesai masa reses pada 30 Oktober 2023. “Hal ini kekeliruan. Tugas pertama KPU menyurati DPR dulu untuk minta konsultasi dan itu tidak dilakukan,” ujarnya, kemarin.

Menurut Charles, KPU secara administrasi dan ketatanegaraan berkewajiban merevisi peraturan KPU. Revisi peraturan KPU hanya bisa dilakukan setelah konsultasi ke DPR. Ia menyebutkan alasan KPU tidak bersurat ke DPR juga tak masuk akal. Sebab, mereka yang menjalani masa reses adalah anggota DPR dan bukan DPR secara kelembagaan. 

Menurut dia, DPR bisa mengagendakan sidang pada masa reses, baik melalui luring maupun daring. Ia menjelaskan, pada kondisi tertentu, DPR bisa melaksanakan sidang khusus, termasuk konsultasi dengan KPU atas izin pimpinan DPR. Charles mengatakan KPU justru meminta konsultasi ke DPR setelah Gibran mendaftarkan diri sebagai calon wakil presiden pada 25 Oktober. Padahal, kata dia, KPU bisa saja langsung merevisi sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dibacakan pada 16 Oktober.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Eka Yudha Saputra

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus