Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik
Calo Anggaran

Berita Tempo Plus

Anak Muda yang Jadi Omongan

Badan Kehormatan memeriksa Andi Mustakim. Sebagai staf ahli anggota DPR, ia malah memberikan duit kepada majikannya.

3 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Anak Muda yang Jadi Omongan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SEDAN Volvo 850 hitam kelua-r-an 1996 itu berhenti di lapangan parkir Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta. Seorang lelaki dengan pantalon cokelat keluar dari pintu samping. Tiga lelaki ber-badan tegap mengikutinya. Beberapa depa melangkah, tiga lelaki gempal lainnya muncul dan ikut menyusul.

Rombongan lelaki itu naik ke lantai satu, tempat ruang sidang Badan Kehormatan DPR berada. Lelaki bercelana cokelat itu adalah Andi Mustakim, 33 tahun, orang yang paling dicari dalam se-rial drama calo anggaran. Ketika Mus-takim masuk ke ruang Badan Kehormat-an, enam pengawal itu siaga berjaga. Ditemani anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDIP, Mudahir, Senin siang pekan lalu, Mustakim ”diserahkan” ke Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR, Tiurlan Hutagaol. ”Sesuai dengan janji saya, ini saya antar Mustakim yang dikatakan buron itu. Mohon diterima de-ngan baik,” kata Mudahir. Selama ini Mudahir disebut-sebut sebagai orang yang mempekerjakan Andi Mustakim sebagai staf ahli.

Inilah untuk pertama kalinya Musta-kim tampil. Semenjak anggota Fra-ksi Bintang Pelopor Demokrasi, Moha-m-mad Darus Agap, melansir dokumen dalam Rapat Paripurna DPR pada ak-hir Agustus silam, Mustakim raib. Berkas te-muan Darus menyebut soal praktek per-caloan dalam pengajuan anggaran ban-tuan pascabencana alam. Sejumlah nama tercantum sebagai koordinator ”pengawalan” dana bencana. Koordina-tor itu ditugasi melakukan negosiasi dengan bupati/wali kota. Mereka berjan-ji memperjuangkan anggaran daerah se--kaligus menyepakati persentase fee 4 hingga 7 persen.

Nama Mustakim paling banyak disebut dokumen itu sebagai koordinator kabupaten di wilayah Sumatera, Sula-wesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Bali, Maluku, dan Papua. Saat diperiksa Badan Kehormatan tiga pekan lalu, Setya-nto Nugroho, Ketua Sekretariat Panitia Ang-garan, mengaku pernah mener-ima tumpukan proposal dari 50 kabupa-ten. ”Bundel itu diberikan Mustakim,” kata Toto kepada wartawan. Toto sen-diri di-panggil Badan Kehormatan karena namanya tercantum dalam dokumen temuan Darus sebagai koordinator Kabupaten Sleman dan Yogyakarta.

Lahir di Makassar 33 tahun lalu, Mus-ta-kim adalah sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya, Andi Salipolo, adalah mantan Bupati Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan. Emoh mengikuti jejak ayahnya sebagai pegawai negeri, jebol-an antropologi Universitas Hassa-nudin angkatan 1991 ini memilih berwira-swasta. Dengan modal Rp 100 juta dari ayah, pada 1993 Mustakim menjadi peternak ayam dan kambing di Sidrap. Tahun 2000, Mustakim membuka per-usahaan jasa konstruksi. Modalnya patungan bersama sejumlah kawannya di Gapensi dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Sulawesi Selatan. Awalnya, perusahaan itu hanya me-ng-garap proyek beranggaran Rp 5 ju-ta sampai Rp 10 juta hasil rekomendasi sang ayah.

Sambil menggarap proyek kecil-kecil-an, Andi Mustakim magang di kantor Anwar Fattah, Ketua Gapensi Sulawesi Selatan yang belakangan menjadi anggota DPR dari PDIP. Di sana Mustakim belajar bagaimana menyusun proposal dan menghitung proyek. Kemampuannya terasah, bakatnya keluar. Usaha Mus-takim berkembang. ”Saya pun jadi tahu mana proposal yang bisa lolos dan mana yang nggak. Saya bisa mengoreksi proposal. Jangankan 50 proposal, 150 proposal pun saya juga sanggup,” kata Mus-takim.

Karena pintar menghitung dan meng-evaluasi proyek, Anwar Fattah mengenalkannya kepada Mudahir pada April lalu. Kebetulan saat itu Mudahir lagi butuh staf yang bisa membantunya menghubungi kepala daerah untuk mengabarkan perubahan prosedural pengajuan ang-garan pascabencana. Mustakim ju-ga diberi tugas tambahan mengevalu-asi proposal dari daerah pemilihan ma-sing-masing anggota Fraksi PDIP. Mudahir adalah anggota Panitia Anggaran dan anggota Komisi V yang membidangi infrastruktur. ”Tugas Mustakim adalah memeriksa usul yang memerlukan waktu cepat,” kata Mudahir.

Menurut Mudahir, tugas Mustakim la-in-nya adalah mengoreksi data kabupaten/kota yang kurang sempurna atau salah alamat. Dalam melaksanakan tu-gasnya itu, Mudahir membenarkan bah-wa Mustakim sering menelepon kepala daerah. ”Telepon-teleponan sih iya. Ke-te-mu juga iya. Mereka kan selama ini yang datang ke sini,” ujarnya. Dalam kapasitas inilah Mustakim dituding sebagai calo anggaran DPR. Salipolo, anggota KPU Sulawesi Selatan, meng-enal anaknya sebagai lelaki yang pandai mem-bawa diri, ulet, dan telaten. Hanya kelemahan sang anak di mata sang ayah adalah terlalu percaya kepada teman. ”Sudah beberapa kali dikibulin teman sendiri,” ujarnya.

Disebut sebagai calo, Mustakim tak te-rima. Sebagai pebisnis jasa konstruksi, ia mengaku tak perlu imbalan. ”Saya ini mengincar proyek dari bupati yang usul anggarannya lolos. Jadi saya ini bukan calo, karena saya tidak minta fee,” katanya. Sebaliknya, Mustakim malah mengaku dirugikan oleh praktek percaloan di DPR.

Pada November tahun silam ia ditelepon pengusaha jasa konstruksi yang di---kenalnya di Jakarta dua bulan sebe-lumnya. Pengusaha asal Medan itu—namanya oleh Mustakim disembunyikan—menginformasikan bahwa ada alokasi ang-garan bantuan untuk pembangunan infrastruktur daerah-daerah yang terkena bencana. Sebagai pengusaha jasa konstruksi, Mustakim tertarik. Ia pun mengontak pejabat pemerintahan di Soppeng dan Sidrap untuk mengajukan proposal itu. Proposal pun dibuat, Mustakim bersedia menguruskan. ”Imbalannya, ya, proyek pembangunan infrastruktur di dua kabupaten itu,” ujarnya.

Untuk mengurusi alokasi dana itu, sejak November 2004 Mustakim bolak-balik Jakarta-Makassar, Sidrap, dan Soppeng. Selama itu pula ia berkali-kali m-erombak proposal yang dibawanya. Mula-mula diajukan ke Departemen Per-mukiman dan Prasarana Wilayah, lalu ke Departemen Keuangan. Mustakim juga ikut pertemuan di sejumlah hotel di Jakarta.

Setelah diperbaiki, proposal itu di-sam-paikan Mustakim ke pengusaha peng-hubung itu agar diteruskan departemen terkait. Selain menyodorkan proposal, Mustakim juga menyetor Rp 200 juta. Dana itu akan digabung bersama Rp 1,5 miliar dana lainnya dan disetorkan dalam pertemuan di Hotel Grand M-elia, Desember 2004. Seluruh dana itu akan diberikan kepada anggota Panitia Anggaran DPR. Siapa orangnya, Mustakim mengaku tak tahu. ”Yang tahu peng-usaha itu,” ujarnya. Saat itu Mustakim dijanjikan akan dikabari kalau proposal itu sudah disetujui.

Pada akhir Januari, kabar itu datang. Secarik kertas dikirimkan via faks ke kantornya di Makassar. Di atasnya tertu-lis, ”Alokasi penanganan pascabencana a-lam kabupaten/kota melalui surat kete-rangan otorisasi (SKO) tahun 2005”. Surat itu berisi daftar alokasi dana untuk 31 kabupaten/kota. Surat itu dite-ken salah satu pimpinan Panitia Ang-garan DPR RI, tanggal 27 Januari 2005. Dua daerah yang diusulkan Mustakim men-dapat alo-kasi Rp 9 miliar (Soppeng) dan Rp 10 miliar (Sidrap). Total alokasi bantuan untuk 31 kabupaten/kota itu adalah Rp 284 miliar. Mustakim pun terbang ke Jakarta. Sayang, dana itu ternyata tak bisa dicarikan, karena seluruh uang dialokasikan untuk tsunami. Malah bela-kangan usulan dari daerah itu akan di-gabungkan dengan anggaran pascaben-cana tahun 2005.

Proyek tak didapat, duit melayang. Mustakim berusaha meminta dui-tnya lagi. Sayangnya, si pengusaha memin-tanya bersabar, karena proyek itu akan disertakan dalam tahun anggaran 2005. ”Ini pelajaran kedua yang saya per-oleh. Tahun 2003, saya juga rugi Rp 250 juta,” kata Mustakim. Bedanya, lanjut Mustakim, tahun 2003, praktek ini dilakukan oleh salah seorang anggota Panitia Anggaran yang saat ini tak lagi jadi anggota DPR.

Dari sumber di DPR, Tempo mendapat informasi bahwa pengusaha yang disebut Mustakim adalah seorang bern-ama Tomi Sianturi. Sayangnya, seperti Mustakim pada awal kasus ini meledak, Tomi tak bisa dihubungi. Telepon genggamnya hanya meninggalkan bunyi tut tut tut ketika dikontak.

Seluruh cerita Mustakim ini sudah di-sampaikannya ke Badan Kehormat-an DPR, pekan lalu. Menurut Ketua B-a-dan Kehormatan Slamet Effendy Yusuf, peng-akuan Mustakim itu saling meng-uatkan dengan informasi yang ia peroleh dari anggota DPR lainnya yang diperiksa. Salah satunya adalah Emir Moeis, Ketua Panitia Anggaran yang diperiksa pada Rabu pekan lalu.

Menurut Slamet, Emir mengaku pernah ditawari Rp 500 juta oleh seorang mantan anggota DPR periode lalu u-ntuk mencairkan dana bantuan pascabenca-na. Tawaran itu diajukan pada Ja-nu-ari lalu. Pada bulan yang sama pula, Emir mengaku ada salah satu pimpinan Panitia Anggaran yang mendesak pejabat di Departemen Keuangan untuk mencairkan dana bantuan pascabencana u-ntuk sejumlah daerah. Pejabat Depar-temen Keuangan itu akhirnya mengontak Emir untuk mengkonfirmasi ada-nya s-urat keterangan otorisasi dari salah satu pimpinan Panitia Anggaran. Emir meminta pejabat itu tak melakukan pencairan tanpa ada keputusan resmi dari rapat pleno Panitia Anggaran. Dana itu pun tak jadi cair.

Badan Kehormatan sendiri kabarnya telah mengantongi sejumlah dokumen menyangkut praktek percaloan itu. Sa-lah satunya surat keterangan otorisasi pencairan dana bantuan pascabencana untuk 31 kabupaten/kota yang diteken Wakil Ketua Panitia Anggaran Bursah Zar-nubi. Bursah ketika dikonfirmasi Tempo, beberapa pekan lalu, membantah meneken surat itu. Meski diakuinya mirip, tanda tangan itu bukan miliknya. ”Tanda tangan itu tidak memiliki garis di bawah,” ujarnya.

Dengan semua cerita ini, benarkah de-ngan demikian Mustakim tak terlibat dalam skandal calo DPR? Tak mudah memastikannya. Badan Kehormatan ki-ni sedang melakukan investigasi. Tapi, melihat gaya Mustakim yang datang ke DPR dengan Volvo dan dikawal enam penjaga, jelas dia bukan orang sembarangan. Sebagai staf ahli, ia bahkan tak pernah menerima gaji dari Mudahir. Sebaliknya, malah Mustakim yang kadang memberikan uang kepada majikannya. ”Kalau ada staf ahli memberikan se-suatu untuk anggota DPR, tak ada yang haram, kok,” kata Mustakim kalem.

Widiarsi Agustina, Yophiandi Kurniawan, Irmawati (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus