Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH jadi rahasia umum, Pang-lima TNI Jenderal Endriartono Sutarto bukan orang yang suka tampil di muka publik. Ada yang bilang, dia bahkan cenderung pemalu. Ia bekerja di lapangan, di balik meja, dan tak seperti jenderal atau mantan petinggi TNI lainnya, ia tak suka menyanyi di panggung hajatan terbuka. Itulah sebab-nya ia bukan orang yang po-puler—setidaknya di mata responden jajak pendapat Tempo. Dibandingkan dengan bekas Panglima TNI lainnya—Wiranto, Widodo A.S., Try Sutrisno, atau Edi Sudradjat—ia paling tidak dikenal masyarakat.
Tapi, pada periode kepemimpinan-nya-lah TNI mendapat tugas berat. Sejumlah- bisnis TNI—ladang usaha yang kerap- dituding hanya memakmurkan para jenderal—dipotong. Tak lama lagi kendali bisnis itu akan dialihkan dari Markas Besar TNI ke Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Selain itu, pada era Sutarto-lah perundingan Helsinki antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berlangsung dengan mulus. Bisik-bisik menyebutkan, diperpanjangnya masa jabatan Sutarto hingga tahun depan dilakukan untuk mengamankan pelaksanaan perjanjian damai itu.
Bagi publik, kinerja Sutarto memang tak kinclong-kinclong amat. Dalam skala penilaian sangat bagus sampai buruk, ia rata-rata dinilai bagus (bukan sa-ngat bagus). Dalam memimpin TNI, ia dianggap berhasil dalam memastikan kedaulatan dan keutuhan Indonesia. Ia ju-ga legawa dalam menem-patkan TNI di bawah kendali sipil. Skor te-rendah didapatnya dalam hal penyelesai-an konflik di Papua. Sedikit di atas itu, ia dianggap berhasil meyakinkan elemen TNI agar mendukung kesepakatan Helsinki. Bagi res-ponden Aceh, Jende-ral Sutarto dinilai- paling sukses di-ban-dingkan dengan Pang-lima TNI sebelumnya.
Di usia TNI yang ke-60—peringatannya jatuh 5 Oktober, Rabu pekan ini—responden menilai tak zamannya lagi tentara masuk ke panggung politik. Setelah reformasi 1998, peran politik TNI memang pelan-pelan dikurangi. Kini tak ada lagi korps baju hijau aktif yang duduk di kursi parlemen. Responden menilai tugas utama TNI adalah menjaga Indonesia dari serangan negara lain (44,1 persen) dan menjaga ketertiban dalam negeri (40,7 persen). Tugas yang terakhir sebetulnya diemban oleh polisi. Tapi, melihat lemahnya personel Polri, responden masih memberi ruang bagi tentara untuk menjaga ketertiban dalam negeri. Data yang sedikit ber-beda tampak pada jajak pendapat di Aceh. Responden di sana lebih tegas: hanya sedikit dari mereka yang menganggap TNI perlu berperan dalam keamanan dalam negeri.
Yang paling dikhawatirkan publik adalah soal bisnis tentara. Dalam soal yang satu ini, militer Indonesia memang merajalela. TNI memiliki berba-gai bisnis, misalnya hotel, maskapai penerbang-an, hak penebangan hutan, mal, dan yang lain. Itulah sebabnya, responden mendukung kalau bisnis TNI dirapikan, termasuk dengan menyerahkan pengelolaannya kepada Kementerian BUMN. Selain lebih transparan, di tangan- BUMN bisnis militer diharapkan lebih profesional. Para jenderal yang sebelum-nya menduduki posisi direktur dan komisaris bisa diganti profesional sipil jika dianggap tak berprestasi.
Selama ini bisnis TNI dianggap perlu dengan alasan untuk mengatasi anggaran negara yang cekak. Tapi, alih-alih kesejahteraan prajurit yang meningkat, faktanya malah para jenderal yang berkantong lebih tebal. Sebagian besar res-ponden memang berpendapat bisnis tentara hanya untuk menyejahterakan petinggi TNI saja.
Anggaran untuk TNI memang harus ditingkatkan. Salah satu sumbernya adalah melalui bisnis tentara yang sudah dikelola BUMN. Sebagian responden berpendapat setelah itu militer tidak perlu ikut campur lagi: penyediaan anggaran sepenuhnya berada di tangan pemerintah dan parlemen (48 persen). Sebaliknya, 37,4 persen- responden berpendapat TNI masih boleh ikut campur dalam menentukan anggaran.
Enam puluh tahun memang usia yang tak pendek. Pembenahan TNI menjadi tentara yang profesional dan dibanggakan rakyat tak lagi bisa ditunggu. Tugas berat itulah yang kini disandang Jenderal Sutarto, atau siapa pun yang menggantikannya kelak.
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo