Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Terdapat 57 titik potensi mineral logam, seperti tembaga, perak, dan emas primer, di wilayah calon Provinsi Papua Tengah.
Penyusutan hutan di Papua cukup masif dalam dua dekade terakhir.
Pemekaran Papua berpotensi memperparah kerusakan lingkungan di Papua.
JAKARTA — Hilman Afif, juru kampanye Auriga Nusantara, lembaga pemerhati lingkungan, mengatakan rencana pemekaran Papua dan Papua Barat akan mendorong percepatan kerusakan lingkungan di sana. Sebab, pemekaran itu akan menjadi benang kusut baru jika konflik di Papua tidak diselesaikan lebih dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia berpendapat, pemerintah seharusnya berfokus memperbaiki tata ruang di Papua dan Papua Barat, bukan justru memekarkannya. Urusan tata ruang ini menjadi faktor utama kerusakan lingkungan di Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Wewenang pengelolaan hutan yang telah dipindahtangankan dari kabupaten ke provinsi menjadi celah potensi munculnya izin-izin baru di hutan alam di wilayah yang akan menjadi target pemekaran," kata Hilman, Senin, 27 Juni 2022.
Ia mengatakan pemerintah semestinya menjaga alam Papua dan Papua Barat yang masih kaya. Berdasarkan catatan Auriga dari hasil olah data Geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terdapat 57 titik potensi mineral logam, seperti tembaga, perak, dan emas primer, di Kabupaten Paniai, Intan Jaya, serta Mimika. Ketiga kabupaten ini akan masuk dalam wilayah calon Provinsi Papua Tengah.
Saat ini PT Freeport Indonesia menjadi perusahaan dengan izin pertambangan terbesar di Mimika dan Paniai. Izin tambang Freeport di sana mencakup wilayah seluas 9.946,12 hektare untuk operasi produksi dan 116.783,75 hektare untuk wilayah penunjang.
Lalu banyak kawasan hutan di wilayah calon Provinsi Papua Selatan dan Papua Tengah yang sudah dikelola perusahaan pemegang izin pemanfaatan hutan. Data Auriga Nusantara yang diolah dari Sistem Informasi Geospasial (Sigap) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan akumulasi wilayah pelepasan kawasan hutan di calon Provinsi Papua Selatan mencapai 715.482,38 hektare dan calon Provinsi Papua Tengah seluas 180.494,36 hektare.
Wilayah calon Provinsi Papua Selatan meliputi empat kabupaten, yaitu Asmat, Boven Digoel, Mappi, dan Merauke. Sedangkan wilayah calon Provinsi Papua Tengah terdiri atas Kabupaten Nabire, Mimika, Paniai, Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, Puncak, dan Puncak Jaya. Adapun wilayah calon Provinsi Pegunungan Tengah meliputi Kabupaten Jayawijaya, Tolikara, Yahukimo, Yalimo, Nduga, Lanny Jaya, dan Mamberamo Tengah. Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat tengah membahas rancangan undang-undang pembentukan ketiga provinsi tersebut.
Seorang anak membawa ikan hasil tangkapannya di Kampung Yokiwa, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, 15 Juni 2022. ANTARA/Gusti Tanati
Menurut Hilman, sesuai dengan data yang dihimpun lembaganya, tutupan hutan alam terluas di tiga calon provinsi tersebut berstatus kawasan hutan produksi. Misalnya, kawasan hutan produksi di Papua Selatan seluas 5,07 juta hektare dari total 7,78 hektare hutan alam. Kawasan hutan produksi di Papua Tengah seluas 1,5 juta hektare dari total 4,7 juta hektare hutan alam. Lalu kawasan hutan produksi di Pegunungan Tengah seluas 1,11 juta hektare dari total 4,26 juta hektare hutan alam. Khusus di Pegunungan Tengah, hutan konservasi dan hutan lindung masih lebih luas daripada hutan produksi.
"Tata ruang yang dikembangkan nantinya harus sejalan dengan fungsi kawasan yang saat ini telah ditunjuk berdasarkan masing-masing fungsi agar tidak terjadi eksploitasi secara ugal-ugalan," kata Hilman.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sejalan dengan data Auriga tersebut. Manajer kajian hukum dan kebijakan Walhi, Satrio Manggala, menyebutkan penyusutan hutan di Papua cukup masif dalam dua dekade terakhir. Walhi mencatat sebanyak 28 persen penyusutan hutan di Papua disebabkan oleh industri perkebunan kertas dan sawit, 23 persen ladang berpindah, 16 persen tebang pilih, 11 persen untuk perluasan sungai dan danau, 15 persen untuk perkotaan dan perluasan jalan, 5 persen kebakaran, serta 2 persen untuk pertambangan.
"Pembentukan daerah otonomi baru dapat memperluas krisis lingkungan di Tanah Papua. Apalagi dengan adanya pemekaran dan didukung oleh UU Cipta Kerja, makin memudahkan ekspansi perusahaan sawit, tambang, HTI, dan logging beroperasi di Papua," kata Satrio, kemarin.
Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Suhadi, menambahkan, persoalan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia adalah ketiadaan keseimbangan antara kewenangan penerbitan izin dan pelaksana kewajiban mengontrol serta mengendalikan izin yang diterbitkan tersebut. Ia khawatir pemerintah pusat akan semakin sulit mengendalikan izin pengelolaan hutan setelah provinsi bertambah di Papua.
"Kalau pulau ini dibelah-belah lagi ke banyak provinsi, tidak akan menunggu 10 tahun, kita melihat daratan Papua habis dibagi rata untuk pengusaha sawit sampai pengusaha pangan," kata Zenzi.
Juru kampanye hutan Greenpeace, Sekar Banjaran Aji, berpendapat bahwa pembentukan provinsi baru di Papua berpeluang memunculkan banyak izin baru di bidang pengelolaan hutan dan pertambangan. "Dari yang kami lihat, semakin mekar daerahnya, semakin besar pula potensi transaksi gelap yang terjadi tanpa pengawasan dari pusat," kata Sekar.
Greenpeace mencatat ada sekitar 31 juta hektare hutan di Papua yang masih tersisa pada 2020. Dari angka itu, pemerintah melakukan moratorium terhadap 21,7 juta hektare hutan. Sisanya, 9,5 juta hektare berpotensi hilang setelah adanya provinsi baru.
"Kerusakan itu yang kemudian dikhawatirkan diakselerasi. Dengan adanya DOB dan praktik koruptif hadir, akan mengakselerasi," ujar Sekar.
Mahasiswa asal Papua melakukan unjuk rasa menolak otonomi khusus Papua di Bandung, Jawa Barat, 10 Mei 2022. TEMPO/Prima Mulia
Direktur Penataan Daerah Otonomi Khusus dan DPOP Kementerian Dalam Negeri, Valentinus Sudarjanto Sumito, membantah keterkaitan rencana pemekaran Papua dan Papua Barat dengan pengelolaan tambang dan kehutanan.
"Bagi kami, tidak ada kaitan langsung antara pengelolaan atau perizinan minerba misalnya, dengan pemekaran daerah yang saat ini dilakukan," kata dia.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia juga menyangkal pembentukan tiga provinsi baru itu berpotensi memperburuk kondisi lingkungan di Papua. Ia berdalih bahwa pemekaran ini justru bertujuan mendorong pemerataan dan mempercepat pembangunan serta memperpendek rentang kendali dan pengambilan keputusan.
Politikus Partai Golkar ini mengatakan pemekaran Papua tak berkaitan dengan rentannya pemberian izin usaha hutan dan pertambangan. "Itu kan soal regulasi lain dan law enforcement dari pengambil kebijakan," katanya.
EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo