Proyek transmigrasi swakarsa kini dicoba dipadukan dengan pengelolaan hutan tanaman industri. MESKI dianggap perusahaan pemegang HPH yang berhasil, PT Kiani Lestari (KL) ternyata tak bisa melawan sepi. Setiap kali, perusahaan HPH milik Bob Hasan ini selalu saja kehilangan pekerjanya, yang tak tahan hidup kesepian di tengah hutan. Pada 1984, misalnya, 719 tenaga AKAD (Angkatan Kerja Antar-Daerah) yang didatangkan ke Batu Ampar, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, mudik setelah bekerja tiga bulan. Mungkin karena umumnya masih bujangan, mereka tak tahan melawan sepi. Padahal, di Kalimantan Timur saja, KL memiliki HPHTI (hak pengusahaan hutan tanaman industri) seluas 53.080 ha. Baru tahun lalu cara pemecahannya ditemukan. Sebuah naskah kerja sama (SKB) pun dibuat antara Departemen Transmigrasi, Departemen Kehutanan, dan KL. Isinya, menerapkan pola transmigrasi swakarsa dalam pembangunan HTI (Transa HTI). Dengan memboyong transmigran beserta keluarganya, kendala kesepian diharapkan teratasi. Maret lalu, proyek ini mulai dilaksanakan. Jumlah transmigran untuk setiap satuan wilayah proyek (SWP) ditetapkan 300 kk, terdiri dari transmigran antarpulau (70%), transmigran lokal (20%), dan yang 10% untuk pensiunan ABRI. Bagi transmigran antarpulau, seleksinya ketat, antara lain harus punya latar belakang petani, umur maksimal 40 tahun, tak buta huruf, dan hanya punya anak dua. Untuk transmigran lokal, karena yang diutamakan peladang berpindah, seleksinya lebih longgar. Sedang yang dari ABRI, pangkat tertinggi sersan. Supaya mereka betah, perusahaan membangun berbagai fasilitas: rumah papan berberanda, air bersih, dan listrik 100 watt. Juga ada sarana olahraga dan balai kesehatan. Jarak antar-rumah dibuat berdekatan, agar kontak sosial seperti di tempat asal tetap terjaga. "Ini penting buat yang hobi ngrumpi," seloroh Presdir KL, Pung Poerwadhy. Di balai desa juga ada dua televisi berwarna ukuran 29 inci, berantena parabola. Setiap kk mendapat lahan 0,25 ha, bukan 2 ha seperti di daerah transmigran lain. Soalnya, transmigran di Batu Ampar, kata Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan, Armana Darsidi, "tidak disiapkan untuk menjadi petani, melainkan untuk menunjang kelangsungan industri." Namun, di lahan yang digarap boleh ditanam palawija dan sayur-mayur. Setiap transmigran, dalam perhitungan KL, mampu menggarap lahan HTI 5 ha. Atau 1.500 ha/300 kk/tahun. Di lahan itu mereka menanam eucalyptus deglupta, yang karena diperuntukkan kayu pertukangan, daurnya 20 tahun. Di blok itu, penggarap juga boleh menanam pohon karet dan tanaman tumpang sari, seperti rotan dan padi, yang hasilnya jadi milik mereka. Transmigran yang otomatis jadi karyawan itu digaji Rp 3.875 sehari (termasuk uang makan). "Hambatan kerja di sini cuma sengatan matahari, tapi kalau tanaman sudah tinggi, tidak panas lagi," kata Juwandi, peserta Transa-HTI asal Ja-Tim. Setelah usia 55 tahun, mereka mendapat pensiun. Selain memperoleh Astek, karyawan juga menerima penggantian obat Rp 350.000 setahun. Proyek ini, seperti diakui Pung, memang mahal. Pihaknya telah mengeluarkan lebih dari Rp 2 milyar (Rp 682 juta dari Deptrans) untuk membangun fasilitas itu. Sedang biaya HTI yang Rp 2 juta/ha itu dibagi antara KL dan PT Inhutani, dengan komposisi 60 : 40. Bulan Juni ini KL mengundang 10 perusahaan kayu lapis untuk meninjau proyek tersebut. Kelak, jika SKB sudah menjadi Inpres, pembangunan metode KL wajib dilaksanakan oleh sekitar 120 perusahaan kayu lapis di Indonesia. Sri Pudyastuti R. dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini