SIUPP GOENAWAN MOHAMAD PERS bukan lembaga suci. Ia bisa bikin kesalahan. Dan penerbit serta wartawan bukan manusia yang sepi ing pamrih. Dalam hal itu, pers tak berbeda sebenarnya dengan lembaga lain, termasuk peerintah. Yang kemudian jadi soal ialah ketika pers dianggap punya daya pengaruh yang sangat besar. Pemerintah juga sebenarnya demikian. Tapi bila hak pemerintah untuk "kuat" tak pernah dimasalahkan, hak pers untuk berpengaruh cenderung dianggap berbahaya. Sebab itulah dianggap perlu adanya kontrol terhadap pers, baik dengan aturan, anjuran, maupun juga kekuasaan yang efektif, misalnya larangan terbit. SIUPP adalah salah satu bentuk kontrol. Tentu harus kita ingat, bukan cuma Departemen Penerangan yang menghendaki adanya SIUPP. Surat izin ini lahir juga dari keinginan para penerbit sendiri: mereka ingin agar kompetisi (khususnya dalam segi komersial penerbitan) diatur, hingga tak terjadi "persaingan bebas". Suatu free fight dikhawatirkan akan mengakibatkan yang kuat akan bertambah kuat, yang lemah habis. Hasilnya: oligopoli. SIUPP dengan demikian adalah hasil pertemuan kepentingan pemerintah dan kepentingan penerbit- tegasnya para pemilik modal- yang menghendaki sejenis proteksi. Sebab itulah ketika DPR mengundang para pemimpin redaksi dalam suatu dengar pendapat pekan lalu, di sana tak ada yang mengatakan bahwa SIUPP tidak diperlukan. Yang dipersoalkan ialah bisakah dan bagaimana lisensi itu dicabut kembali oleh pemerintah. Pertama-tama, soalnya adalah soal kepastian hukum. Pemimpin Redaksi Media Indonesia, Teuku Yousli Syah, dalam dengar pendapat di DPR itu dengan jelas menunjukkan bahwa Peraturan Menteri Penerangan yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk membatalkan SIUPP "merupakan negasi" terhadap pasal-pasal Undang-Undang No. 21 tahun 1982. Dalam salah satu pasal undang-undang itu disebut jelas bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Itulah sebabnya Yousli Syah "dengan hormat" memohon peraturan menteri itu dicabut. Ia mengulangi imbauan Dewan Kehormatan PWI yang diumumkan Juli 1987, agar PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) mengupayakan setidaknya peninjauan kembali peraturan menteri yang tidak cocok dengan undang-undang itu. Memang ada yang mengatakan bahwa karena SIUPP adalah sesuatu yang diberikan, ia juga sesuatu yang bisa dicabut kembali. Masalahnya kemudian: dengan alasan apa sebuah pencabutan SIUPP dilakukan? Sudah sedemikian berbahayakah akibat isinya bagi keadaan, hingga SIUPP Monitor, misalnya, dibatalkan? Bagaimana ketika Sinar Harapan dan Prioritas sebelumnya menerima hukuman serupa? Entahlah. Jatuhnya hukuman yang seperti itu- yang mematikan hak hidup seluruh usaha sebuah penerbitan- berlangsung praktis tanpa cukup pembuktian, sebab tak ada proses pembuktian. Tak cukup pula perbandingan antara, misalnya, "kejahatan" Prioritas dan "kejahatan" Monitor, meskipun hukumannya sama. Terlebih lagi, si tersangka tak diberi kesempatan membela diri, apalagi secara terbuka. Kabarnya, ada sidang Dewan Pers (yang ketuanya Menteri Penerangan, dan anggotanya ditunjuk oleh pemerintah) untuk memutuskan dicabutnya sebuah SIUPP. Tapi jika sidang itu memang ada, sifatnya tertutup. Bahkan tak jelas benar siapa yang seharusnya jadi tersangka: sang penanggungjawab atau si penulis berita yang bikin perkara. Karena akibat hukuman mengenai langsung seluruh karyawan, yang tersangka mungkin bahkan lembaganya. Ibaratnya seluruh anggota Fraksi di DPR direcall gara-gara salah omong seorang anggotanya. Itulah bedanya pers dengan ABRI: pelanggaran bukan dianggap perbuatan "oknum", melainkan oleh lembaga. Nampaknya jelas: ada ketidakadilan dalam proses itu, dan ada bahaya kesewenang-wenangan oleh siapa saja yang punya kuasa dalam prosedur pemberian hukuman mati (pencabutan SIUPP) yang dipraktekkan selama ini. Banyak yang menyorot sebuah ayat, disebut ayat "H" dalam Peraturan Menteri Penerangan yang diminta untuk dicabut itu. Ayat itu menyebutkan alasan kenapa sebuah SIUPP bisa dibatalkan oleh pemerintah: bila "penyelenggaraan penerbitannya tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab...". Apa kriteria "bertanggung jawab" itu, gugat Aldirsyah, pemimpin redaksi Merdeka. Tak mudah menjawabnya. Si Pulan akan menafsirkannya lain dari si Badu. Maka Purnama Kusumaningrat, pemimpin redaksi Pelita, menyebut ayat itu sebagai contoh "pasal-pasal karet": tafsirannya bisa seenaknya dijereng ke sana kemari. Soalnya kemudian, seperti dikatakan Sutarno dari Suara Pembaruan, "Siapakah yang berwenang untuk menentukan interpretasi atau penilaian yang benar?" Dan berhakkah pemerintah mengasumsikan untuk dirinya sendiri suatu asas infalibilitas seperti Paus bagi Gereja Katolik? Saya kira pemerintah belum, dan memang tak punya hak, menganggap dirinya tak-pernah-dan-tak-akan pernah-bersalah. Meskipun begitu, tak ada "peradilan banding" setelah vonis hukuman-mati SIUPP dijatuhkan. Jika ada rasa ketidakpastian, bahkan ketakutan, di kalangan pers karena itu, memang bisa dimengerti. Apalagi jika rasa tak pasti itu tak cuma menyangkut SIUPP, tapi juga keselamatan diri. Ibu Ani Idrus dari Waspada dengan terus terang menceritakan bagaimana ketakutannya para wartawannya di Medan untuk menulis, dari soal pengacauan di Aceh kini sampai dengan pencurian kayu, yang dibeking oleh "oknum berseragam". Pemerintah tentu senang bila pers ketakutan. Pers jadi jinak dan membebek. Yang tak disadari ialah bahwa dari orang yang ketakutan, Tuan tak akan mendengar ketulusan, melainkan suatu distorsi. Tuan tak akan tahu, apakah pujian si takut merupakan pujian yang benar atau cuma penjilatan. Dalam ketakutan, pers bukan saja sebuah lembaga yang bisa bikin salah, tetapi sebuah lembaga yang sengaja salah. Arthur Miller pernah mengatakan, sebuah surat kabar yang baik adalah sebuah bangsa yang berbicara kepada dirinya sendiri. Kita bisa mengatakan sebuah surat kabar yang ketakutan adalah sebuah bangsa yang berbohong kepada dirinya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini