PRESIDEN Soeharto, sebelum Sabtu pekan lalu terbang ke Mekah, mengatakan keberangkatannya itu atas nama pribadi. "Baru kali ini Presiden melakukan perjalanan ke luar negeri bukan sebagai kepala negara," kata Profesor Padmo Wahyono pada Reza Rohadian dari TEMPO. Menurut ahli hukum ketatanegaraan itu, tidak ada peraturan yang membedakan antara pergi secara pribadi dan sebagai kepala negara. Sebelumnya, kepergian Pak Harto berkaitan dengan tugas negara. Dan kalau cuma piknik, mau ke negara mana pun boleh, walau nanti di negara bersangkutan diterima sebagai tamu tidak resmi. Tapi kali ini berbeda. "Untuk beribadah haji, ada pengecualiannya. Dalam ketatanegaraan memang tidak diatur, karena ini menyangkut soal agama," ujar Padmo. Selama Presiden bepergian, secara otomatis Wakil Presiden menggantikan sementara untuk melaksanakan tugas kepresidenan di dalam negeri. Ini termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 4 ayat (2), yang menyebutkan, "Dalam melakukan tugasnya presiden dibantu oleh satu wakil presiden." Maksudnya, bila presiden pergi ke luar negeri, wakil presiden harus berada di dalam negeri. Padmo menggolongkan kepergian Presiden Soeharto ke Tanah Suci itu sebagai "berhalangan sementara". Status ini sama dengan bila ke luar negeri sebagai presiden. Karenanya, kepergian itu tidak mempengaruhi formalitas yang menyangkut hubungan presiden dan wakilnya. Misalnya, dalam proses mengambil keputusan, wakil presiden harus berkomunikasi lebih dulu dengan presiden. Jadi, ia tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Sebab, keputusan final tetap di tangan presiden. Bahkan itu juga tak mempengaruhi protokoler dalam pelimpahan tugas kepresidenan. "Maka, sebelum ke Mekah wajarlah Pak Harto memanggil Pak Sudharmono ke Cendana. Juga ini dilakukan Pak Harto selama ini kalau ke luar negeri sebagai kepala negara," ujar Padmo. Pak Harto dan keluarga, Minggu, tiba di Arab Saudi. Kemudian Raja Fahd mengundangnya sebagai tamu negara. Menurut Padmo, itu dimungkinkan, dan bagus. "Walau sebagai pribadi, kalau beliau mengadakan perundingan diplomatik, ya, bisa saja," tambahnya. Tapi ada catatan dari Ketua Pengembangan dan Pengkajian BP-7 ini: jabatan presiden tak luruh hanya karena berlibur, apalagi untuk beribadah. Presiden hanya bisa diganti sebelum habis masa jabatannya, yakni bila "berhalangan tetap" atau meninggal dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini