Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hak angket DPR pertama kali diusulkan calon presiden nomor urut 03, Ganjar Pranowo.
DPR diragukan akan menggunakan hak menyatakan pendapat hingga mengajukan pemakzulan.
Pemakzulan terhadap Presiden tidak otomatis terjadi setelah putusan MK dibacakan.
JAKARTA – Sejumlah pakar hukum tata negara menilai hak angket bisa menjadi pintu masuk pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pengusung hak angket harus serius membuktikan adanya kecurangan yang diduga dilakukan Presiden selama pelaksanaan Pemilu 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto, menjelaskan, materi atau obyek hak angket harus berhubungan dengan temuan pelanggaran terhadap undang-undang atau kebijakan pemerintah yang strategis, penting, dan berdampak luas bagi masyarakat. Dikatakan terjadi pelanggaran bila bertentangan dengan undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah anggota Dewan mengisi daftar kehadiran untuk mengikuti rapat Badan Musyawarah Hak Angket Bank Century di DPR, Jakarta, 26 November 2009. TEMPO/Imam Sukamto
Menurut Agus, dugaan keterlibatan Presiden dengan mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakilnya bisa menjadi obyek hak angket. Temuan cawe-cawe Presiden harus dibuktikan dengan dokumen. “Temuan itu kemudian bisa dipertentangkan dengan Undang-Undang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara,” ujar Agus saat dihubungi pada Kamis, 22 Februari 2024.
Hak angket pertama kali diusulkan calon presiden nomor urut 03, Ganjar Pranowo, pada Senin, 19 Februari lalu. Ganjar mendorong DPR menggulirkan hak angket guna menelusuri dugaan kecurangan pemilu oleh Presiden. Hak angket, yang merupakan hak penyelidikan DPR, bisa menjadi sarana untuk meminta Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu bertanggung jawab.
Dukungan terhadap hak angket juga diungkapkan calon presiden dan wakilnya, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Pada Kamis kemarin, tiga partai pengusung Anies, yakni Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera, menyatakan mendukung hak angket untuk mengusut kecurangan pemilu.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, hak angket merupakan satu dari tiga hak di bidang pengawasan yang dimiliki DPR. Dua hak lain adalah hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat. Hak angket adalah hak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hak angket harus diusulkan paling sedikit 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. Usulan tersebut lantas harus mendapat persetujuan dalam rapat paripurna. Usulan itu harus disetujui lebih dari setengah anggota DPR. Pada periode 2014-2019, anggota DPR berjumlah 575 orang. Karena itu, hak angket bisa dilakukan bila mendapat lebih dari setengah jumlah itu.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, setelah hak angket diterima, DPR dalam rapat paripurna merekomendasikan pembentukan tim khusus untuk melakukan penyelidikan. Obyek penyelidikan berhubungan dengan dugaan keterlibatan Presiden mendukung salah satu pasangan calon.
Charles menjelaskan, keterlibatan itu bisa berupa temuan pengerahan aparat negara untuk mendukung kandidat tertentu hingga dugaan ketidaknetralan Presiden. “Tim itu harus melaporkan tugasnya paling lama 60 hari sejak dibentuk,” kata Charles saat dihubungi, kemarin.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, tim menyusunnya menjadi laporan hasil penyelidikan. Laporan itu kemudian dibawa ke rapat paripurna. Setelah itu, rapat paripurna akan memutuskan ada-tidaknya pelanggaran oleh Presiden. “Bila terjadi pelanggaran hukum, DPR bisa menjadikannya sebagai rekomendasi,” ujarnya.
Menurut Charles, temuan pelanggaran hukum dari hak angket tersebut bisa menjadi bahan untuk mengajukan pemakzulan presiden. Dalam proses itu, DPR akan menggunakan hak menyatakan pendapat. Hak tersebut adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di dalam negeri atau di dunia internasional. Hak menyatakan pendapat bisa dilakukan bila mendapat 2/3 suara dari total anggota DPR. “Hak ini menjadi sikap atas tindak lanjut pelaksanaan hak angket bahwa presiden diduga melakukan pelanggaran hukum,” katanya.
Dia menjelaskan, temuan adanya pelanggaran dari investigasi hak angket harus sesuai dengan syarat pemakzulan. Syarat pemakzulan diatur dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar 1945. “Temuan pelanggaran hukum harus sesuai dengan kategori syarat pemakzulan,” ujar Charles.
Setelah itu, DPR menyampaikan hak pendapat dengan tujuan pemakzulan itu kepada Mahkamah Konstitusi. MK akan menguji temuan pelanggaran tersebut. “Kalau MK memutuskan ada pelanggaran serius, hal itu bisa berujung pemakzulan presiden,” kata Charles.
Namun dia ragu DPR akan melakukan pemakzulan terhadap presiden. Sebab, hak angket kerap berhenti di tengah jalan karena perubahan peta politik di DPR. Pun bila berhasil, temuan dari hak angket hanya digunakan untuk membuktikan adanya kecurangan pemilu yang dilakukan pemerintah. Bukti itu kemudian digunakan sebagai bahan untuk pengajuan sengketa hasil pemilu ke MK.
Dihubungi secara terpisah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan hak angket tidak akan mempengaruhi atau membatalkan hasil pemilu. Sebab, kewenangan pembatalan hasil pemilu ada di MK. Adapun pengusutan kecurangan pemilu dalam proses pemungutan suara ada di Bawaslu. Herdiansyah menilai hak angket perlu didukung sebagai upaya menjalankan fungsi pengawasan DPR. "Hal terpenting adalah memastikan obyek dan materi hak angket,” ujarnya, kemarin.
Herdiansyah mengatakan proses pemakzulan juga menghadapi tantangan. Sebab, pemakzulan baru bisa dilakukan bila berada dalam tahap hak menyatakan pendapat. Tahap ini memerlukan dukungan 2/3 suara dari total anggota DPR yang berjumlah 575 orang. Gabungan kubu 01 dan 03 belum menjamin batas suara itu. “Paling tidak ada 384 suara setuju. Tapi gabungan kubu 01 dan 03 hanya 314 suara,” katanya.
Pasangan calon kubu 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, diusung Partai NasDem dengan jumlah kursi perwakilan di DPR sebanyak 59 kursi, PKB 58 kursi, dan PKS 50 kursi. Adapun pasangan calon kubu 03, Ganjar Pranowo-Mafhud Md., diusung PDI Perjuangan dengan 128 kursi dan Partai Persatuan Pembangunan 19 kursi. Total kubu 01 dan 03 adalah 314 kursi perwakilan di DPR.
Presiden Joko Widodo saat memberikan keterangan pers soal hak angket Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, 13 Juni 2017. TEMPO/Subekti
Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto, mengatakan pemakzulan membutuhkan dukungan mayoritas di DPR. Tantangannya, peta politik dapat dan cepat berubah. “Terutama apabila Presiden Jokowi mampu menggembosi kekuatan politik yang kini berposisi kontra,” ujar Arif saat dihubungi, kemarin.
Menurut dia, Presiden memiliki sumber daya kekuasaan untuk menghindari pengajuan hak angket di DPR. Sumber daya tersebut bisa berupa tekanan melalui politisasi hukum hingga iming-iming posisi di kabinet Prabowo-Gibran mendatang. “Selama ini keduanya dapat digunakan secara efektif oleh Jokowi untuk memperoleh dukungan partai-partai di DPR dan merusak soliditas kekuatan oposisi,” kata Arif.
Jalan Panjang Pemakzulan
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan proses pemakzulan memakan waktu relatif panjang. Dari pengajuan hak angket seperti yang direncanakan hingga diakhiri dengan pernyataan hak menyatakan pendapat DPR bahwa Presiden melanggar Pasal 7B UUD 1945. Pernyataan pendapat itu pun harus diputuskan melalui sidang di MK.
Jika MK setuju, DPR harus menyampaikan permintaan pemakzulan kepada MPR. Setelah itu, kata Yusril, "Tergantung MPR mau apa tidak? Proses ini akan berlangsung berbulan-bulan lamanya dan diyakini akan melampaui 20 Oktober 2024, saat jabatan Jokowi berakhir."
.
Dilansir dari laman https://www.mpr.go.id/, Wakil Ketua MPR Sjarifuddin Hasan mengatakan konstitusi telah mengatur ketentuan pemakzulan terhadap presiden. Dia menjelaskan, pemakzulan presiden itu harus lebih dulu berawal dari DPR, seperti hak angket atau hak menyatakan pendapat. "Kemudian dari usulan pemakzulan itu diserahkan ke Mahkamah Konstitusi. Dari MK kemudian dikembalikan ke DPR. Bila proses berlanjut, lalu dibawa ke MPR," ujarnya di Bogor pada Ahad medio Januari lalu.
Pemakzulan diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Pasal itu menyebutkan: "Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden."
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat ini menjelaskan, alasan-alasan pemakzulan presiden dibahas di DPR. "Apakah alasan-alasan itu sudah memenuhi persyaratan sesuai dengan UUD dan substansi yang memunculkan alasan-alasan pemakzulan itu? Semua berawal di DPR untuk menilai apakah ada pelanggaran-pelanggaran etika dan sebagainya," ujarnya.
Sebelum diajukan kepada MPR, DPR lebih dulu mengajukan permohonan kepada MK. Apabila permohonan dari DPR telah diajukan ke MK dan MK memutuskan terdapat pelanggaran berdasarkan Pasal 7A UUD 1945, pemakzulan presiden tidak otomatis terjadi setelah putusan MK dibacakan.
Proses berikutnya melibatkan sidang paripurna MPR. Keputusan untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden harus dihadiri oleh minimal 3/4 dari total anggota MPR dan memerlukan persetujuan dari setidaknya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir.
HENDRIK YAPUTRA | SUKMA LOPPIES
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo