GAMELAN mulai ditabuh dan gending-gending pembuka pun dimainkan. Di atas pentas, Ki Dalang Jati Kusumo telah melantunkan suluk, mengantar ke babak pertama pergelaran wayang kulit itu, dengan lakon Pandawa Bangkit, di pelataran kantor Pusat PDI Jalan Diponegoro, Jakarta, Ahad malam lalu. Pergelaran wayang kulit semalam suntuk itu merupakan menu penutup acara hari ulang tahun kedua puluh PDI. Di tengah riuhnya suara gamelan itu terselip pengumuman: ''Dimohon para Pimpinan Dewan Pengurus Daerah PDI segera berkemas dan berangkat ke Kopo''. Maka 54 orang pengurus daerah PDI, yang mewakili 27 provinsi, bergegas mencari kopor masing-masing. Mereka malam itu memang berkumpul di Jakarta bukan untuk menonton wayang, kendati dalangnya adalah anggota DPR dari PDI. Tujuan pokok mereka adalah untuk menghadiri rapat pimpinan PDI yang berlangsung di Wisma DPR Kopo, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, Senin- Rabu pekan ini. Rapim PDI kali ini memang menarik perhatian. Maklum, agendanya hanya satu: menentukan calon presiden dan wakil presiden. Keputusan Kopo ini bakal mengakhiri kontroversi tentang pencalonan presiden yang telah bergulir setahun terakhir. PDI kini merupakan satu-satunya kekuatan politik yang belum mengumumkan nama calon presiden. Sampai menjelang rapim, malam itu Ketua Umum PDI Soerjadi masih bisa bersuara lantang, bahwa PDI akan mengambil keputusan tanpa dipengaruhi pihak manapun. ''Kalau pilihan kami berbeda dari yang lain, jangan dianggap kami asal beda, waton suloyo,'' ujarnya di depan 2000-an massa PDI yang hadir pada perayaan itu. Kalaupun pilihan PDI sama dengan yang lain, kata Soerjadi, bukan karena takut. ''Siapa pun pilihan kami, harus diterima dengan rasa tanggung jawab,'' Soerjadi menambahkan. Tapi siapa pun yang muncul sebagai calon presiden dari PDI, Soerjadi bisa pening kepala. Katakanlah, rapat pimpinan PDI di Kopo itu memunculkan kembali Jenderal (Pur.) Soeharto sebagai calon, PDI bisa menjadi bulan-bulanan. ''PDI akan menjadi bahan tertawaan orang dan massanya,'' ujar Dr Afan Gaffar, pengamat politik dari UGM Yogyakarta. Sikap itu, menurut Afan, tak mencerminkan janji-janji kampanye, tentang perubahan, yang diobral PDI tahun lalu. Sebaliknya, bila rapim itu berani melawan arus dan mengajukan nama lain, tak mustahil partai banteng ini akan menghadapi tekanan-tekanan politik. ''Kami yang di daerah bisa susah, dicap ekstrem. Ruang gerak kami akan makin terbatas,'' ujar seorang pengurus PDI Jawa Tengah. Walhasil, kata sumber ini, program- program partai bisa kandas. ''Kami mau realistis sajalah,'' tambahnya. Namun, apa pun akibat pilihannya, PDI tak bisa abstein. Partai ''metal'' ini harus mengajukan nama calon presiden dan wakilnya untuk dipanggul ke sidang umum MPR Maret nanti. Ini berarti salah satu dilema yang harus dihadapi Soerjadi. Melihat kecenderungan yang ada, tampaknya rapim PDI ini akan memunculkan Soeharto sebagai calon presiden. Memang nama-nama seperti Ali Sadikin, M. Yusuf (Ketua BPK), Guruh Sukarno Putra, dan Soerjadi sendiri bakal naik ke permukaan, menghangatkan rapat. Tapi nama-nama itu, menurut dugaan para pengamat, tidak akan mampu menandingi nama besar Soeharto. Kendati selama kampanye para juru bicara PDI meneriakkan perubahan, dalam soal calon presiden urusannya bisa lain. ''PDI hanya terikat oleh janji tertulis,'' ujar Soerjadi. Dan menurut ketua umum partai banteng ini, soal calon presiden tak termasuk dalam janji tertulis selama kampanye PDI. ''Kepada masyarakat umum kami berharap, jangan kami dituntut dengan janji yang tak pernah kami buat,'' kata Soerjadi dalam pidato pilitiknya. Namun, diakui atau tidak, sebagian pemilih PDI menerjemahkan janji perubahan itu sebagai isyarat bahwa PDI berani mencari alternatif dalam penentuan kepemimpinan nasional. ''Jalan pikiran semacam itu menurut saya memang logis,'' kata Royani Haminullah, Wakil Ketua PDI Pusat. Tapi menurut Soerjadi, mereka keliru menangkap pesan. ''Kalau ada yang salah menangkap pesan, itu ya urusan mereka,'' ujarnya. Tak mengherankan bila kini sebagian besar tokoh PDI tampak tetap menjagokan Pak Harto. Yang paling cepat menggulirkan nama Soeharto itu adalah Alex Asmasoebrata, Ketua PDI Jakarta. ''PDI DKI mencalonkan Pak Harto sebagai presiden untuk 1983-98,'' kata Alex. Pengurus PDI Jakarta memutuskan jagonya itu melalui rapat pimpinan daerah (rapimda) yang dilakukan Jumat pekan lalu. Sebagian besar pengurus PDI daerah yang hadir di Kopo itu sependapat dengan Alex. Tokoh-tokoh PDI daerah yang paling berpengaruh, karena persentase perolehan suara dalam Pemilu 1992 lalu cukup besar, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, datang ke Kopo dengan nama Soeharto di kantongnya. Peta yang sebenarnya dari pencalonan presiden versi PDI ini sampai Ahad lalu memang masih belum terungkap jelas. Para tokoh PDI daerah, yang akan sangat menentukan lolosnya sang calon, lebih suka mengunci mulut di depan pers. Namun kabarnya cuma dua daerah berani menyuara-kan sedikit perbedaan, yaitu Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Dari daerah ini nama Soerjadi dan Guruh Sukarno Putra konon tercantum sebagai calon presiden pilihannya (Lihat: Surat Guruh dan Amplop Tertutup). Kenyataan ini sepertinya membuat Royani Haminullah kecewa. ''Bagaimana mungkin PDI mencalonkan tokoh, yang betapapun besar, selama ini kami anggap tak membawa ke arah perubahan- perubahan,'' ujar tokoh PDI asal Kal-Sel ini. Di lingkungan intern partai ''metal'', Royani memang dikenal sebagai salah satu tokoh yang menghendaki agar PDI mengajukan nama selain Pak Harto. Di lingkungan Dewan Pengurus Pusat (DPP) PDI, Royani konon tak sendirian. Seorang anggota DPP PDI berbisik kepada TEMPO bahwa separuh dari 16 anggota DPP PDI menghendaki partainya mengajukan tokoh lain, bukan Pak Harto, untuk pencalonan presiden kali ini. Dan Yahya Nasoetion, yang sempat membuat suasana ramai dengan mencalonkan Rudini sebagai kandidat presiden, tampaknya ada di pihak Royani. Apakah dia masih setia dengan kandidatnya, Rudini? ''Saya rasa ya,'' ujar Wakil Ketua PDI itu. Yang sealiran dengan Yahya dan Royani ini kabarnya cukup kuat di Fraksi MPR PDI. Angket intern yang disebarkan ke anggota MPR dari Fraksi PDI dua-tiga pekan lalu menunjukkan itu. ''Hampir 30 dari 84 anggota fraksi menghendaki tokoh baru untuk calon presiden. Di antara kelompok ini ada nama Sophan Sophian, Mangara Siahaan (keduanya pemain film) dan tentu saja Guruh Sukarno Putra. Kelompok Guruh ini bukannya tak menyadari bahwa siapa pun calonnya tak akan tampil menjadi presiden bila tak didukung fraksi lain, yang justru lebih besar, lebih kuat. Tak ada pula jaminan bahwa tokohnya memiliki kapasitas kepemimpinan lebih baik dari Pak Harto. ''Kami bukannya tak menghormati Pak Harto. Target kami adalah meniadakan kebiasan calon tunggal dan membayar tunai janji kampanye,'' ujar seorang anggota kelompok Guruh ini. Namun suara kelompok Guruh ini tak akan banyak berkutik di arena rapat pimpinan PDI di Kopo pekan ini, yang akan didominasi oleh suara dari pengurus-pengurus daerah yang umumnya tetap menghendaki Pak Harto sebagai calon. Dari 78 orang yang hadir di Kopo, 54 dari pimpinan PDI daerah, 16 orang pengurus pusat, 3 orang utusan Fraksi FPDI di DPR, 3 utusan Fraksi PDI MPR, seorang utusan Dewan Pertimbangan Partai, dan seorang lagi utusan dari Badan Litbang (Penelitian dan Pengembangan) PDI. Dari jumlah itu, kelompok Guruh cuma sekitar lima belas orang. Guruh sendiri tak diundang. Kenyataan inilah yang mengundang protes Siahaan. ''Rapim ini diatur agar pencalonan Pak Harto mulus,'' ujar bekas aktor film yang sempat jatuh menjadi sopir taksi itu. Tapi Soerjadi sudah punya dalih. ''Forum rapat pimpinan ini sudah ada aturannya,'' ujarnya. Anggota Fraksi PDI di MPR dan DPR yang diundang, kata Soerjadi, diputuskan oleh fraksi itu sendiri. ''Bukan saya,'' tambahnya. Tampaknya Soerjadi memang sudah siap. Kalaupun dia dicemooh lantaran rapim memilih Pak Harto, dia punya bemper yakni rapim itu sendiri. ''Keputusan rapim itu demokratis, tumbuh dari bawah,'' ujarnya. Sebelum rapim, pengurus daerah (provinsi) telah mendapat masukan dari cabang-cabang (kabupaten). Dan pengurus cabang mendapat masukan dari para komisaris kecamatan. Lepas dari soal itu para pengurus cabang dan daerah pun tak kurang pijakan untuk tetap mendukung Pak Harto. Butir ketiga dari empat sikap politik PDI, hasil kongres PDI tahun 1986 lalu, yang isinya mendukung kepemimpinan nasional di bawah Pak Harto adalah dasar pegangannya. ''Empat sikap politik itu masih dianggap relevan sampai sekarang,'' ujar tokoh PDI Jawa Timur itu. Di tengah situasi itu Soerjadi tampak gamang. Tak mengherankan bila dia seperti enggan memberi angin pada arus yang menghendaki tokoh baru untuk kandidat presiden. Ketua Umum PPP J. Naro mungkin telah memberinya pelajaran. Sikap keras Naro, dengan mencalonkan diri sebagai wakil presiden tahun 1988, hanya sebentar melambungkan Naro sebagai hero untuk kemudian tersingkir. Padahal, menurut kabar, Soerjadi masih berniat menjadi Ketua PDI lewat kongres yang direncanakan Juni atau Juli 1993 mendatang. Sebagai politikus, tampaknya Soerjadi tahu bahwa jatuhnya seorang ketua partai tidak harus lewat campur tangan pemerintah. Naro, misalnya, jatuh di Muktamar PPP April 1989 karena pendukungnya menganggap dia tak disukai pemerintah. Yang dijadikan dasar penilaian itu adalah buku Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, yang ketika itu baru terbit. Di situ Pak Harto menyentil J. Naro sebagai ''hanya berpegang pada hak, tanpa tahu kewajibannya untuk bermusyawarah.'' Tak ayal lagi, pasaran Naro di muktamar turun. Hal yang sama bisa saja menimpa Soerjadi. Kasus penculikan, yang menyebabkan Ketua PDI DKI Alex Asmasoebrata menjadi tersangka, kini merembet pula ke Soerjadi, kendati cuma sebagai saksi. Namun adanya izin Presiden, agar kejaksaan memeriksa ketua PDI itu, bisa berbuntut panjang di kongres PDI mendatang. Soerjadi bisa dinilai sebagai orang yang tak disukai pemerintah. Dan itu merugikan. Sebab, sebagaimana kasus Naro, tokoh-tokoh partai di daerah lebih menyukai pemimpin yang bisa membawa diri sebagai mitra manis pemerintah. Suara gamelan telah lewat. Pementasan cerita Pandawa Bangkit, yang mengantarkan tokoh-tokoh PDI itu ke Kopo, telah ditutup dengan tancep kayon. Dan cerita yang menggambarkan keberanian orang-orang Pandawa itu memang tak ada hubungannya dengan PDI. Putut Trihusodo, Bambang H. Sujatmoko (Jakarta), dan Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini