GURUH Sukarno Putra, 40 tahun, mencoba mengikuti jejak Bung Karno, ayahnya. Ia ingin menjadi presiden. Untuk itu ia mengirim surat pencalonan diri sebagai presiden ke Fraksi PDI di MPR dan ke segenap lapisan pengurus PDI. Sebelum terjun ke dunia politik dengan masuk PDI, 1991, Guruh tak pernah tampil sebagai aktivis atau peminat politik. Ketika di SD dan SMP Yayasan Perguruan Cikini, Jakarta, ia membentuk Band Bocah dan Band Flower Poetman. Di kelas ia memang pernah menjadi bintang. Ketika kelas VI, nilai berhitung 9,8 dan bahasa 9,9. Mulai belajar memimpin setelah masuk SMA, sebagai ketua kesenian. Tiga tahun Guruh pernah belajar arkeologi di Universitas Ams- terdam. Tapi tak pernah tamat. Kembali ke Jakarta (1974) ia membentuk band Guruh Gipsy. Minatnya di bidang musik dan tari menggebu. Ia belajar tari bedoyo dari Laksmito Rukmi, salah seorang istri Paku Buwono X, di samping tari Bali pada Agung Mandra, I Wayan Diya, dan Kompyang. Belajar musik pada komponis Mochtar Embut dan Ismail Marzuki. Kariernya di bidang kesenian melambung setelah membentuk kelompok Swara Maharddhika (SM) yang sering memanggungkan musik-tari kolosal dan glamour. Karya pergelarannya terkesan patriotik, seperti Untukmu Indonesiaku (1980), Cinta Indonesia (1984), setelah sukses pentasnya yang pertama Pergelaran Karya Cipta Guruh Sukarno Putra (1979). Di bidang musik, karya Guruh yang pernah menang di festival lagu pop Tokyo 1976 adalah Renjana. Guruh pernah main film Untukmu Indonesiaku, dan Sembilan Wali (1985). Pergaulannya lebih banyak dengan remaja. ''Kalau saya bicara dengan orang-orang tua, atau ikut rapat yang formal dan kaku, saya merasa tak cocok,'' katanya. Walau demikian, Guruh masih bujangan, belum terpikir kapan kawin. Ia ingin menjadikan perkawinan orang tuanya yang retak sebagai pelajaran. ''Saya harus berhati-hati menentukan pilihan,'' katanya. Kriteria wanita yang diidamkan cukup berat: cantik, cerdas, dan setia. Kini Guruh tinggal di rumah sederhana di Jalan Sriwajaya, Jakarta Selatan, ditemani guru tarinya semasa muda, Eyang Laksminto Rukmi tadi, dan lima anak asuh yang diongkosi sekolahnya. Dari nenek Laksminto itulah Guruh belajar ilmu spiritual Jawa. Ia dianggapnya sebagai orang tua sendiri. Di rumah yang juga dipakai untuk latihan tari itu tak terlihat kemewahan sebagai anak bekas presiden. Ada lukisan Fatmawati, ibunya, karya Basuki Abdullah. Selain itu masih ada lima lukisan yang tak terlalu wah nilainya. Penghasilannya terbesar diperoleh dari perusahaan show biz PT GSP (Gencar Semarak Perkasa), di samping sebuah pompa bensin di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta. Sejak Oktober lalu ia mendapat tambahan gaji sebagai anggota DPR. Sejak tahun baru lalu namanya jadi kondang setelah mengumumkan diri menjadi calon presiden. Berikut petikan wawancara khusus yang panjang lebar dengan wartawan TEMPO Bambang H. Sujatmoko: Kapan Anda belajar politik? Memang resmi saya masuk PDI 1991. Tapi sebenarnya sejak kecil, awal 1963 ketika kelas IV SD, saya sudah belajar politik Indonesia. Saya belajar itu dari Bung Karno dan kegiatannya. Saya sudah mengerti pidato-pidato Bung Karno tahun 1960-an. Sekembali dari Belanda, tahun 1975, saya tak melihat ada wadah yang bisa saya masuki. Walaupun PDI sudah ada, saya belum kenal partai macam apa itu. Juga Golkar dan ormasnya. Saya tak cocok ke situ. Jadi, sampai di situ, saya belum menemukan tempat menyalurkan aspirasi. Akhir 1970-an saya menemukan teman-teman yang sama-sama nasionalis, teman berbincang-bincang soal politik. Dari situ saya membentuk Swara Maharddhika (SM), yang dari mula bukan grup tari. Bahkan kami ingin suatu saat SM menjadi partai. Akhirnya mengapa Anda masuk PDI? Ini feeling politik. Saya lihat perkembangan PDI setelah 1987 makin baik. Saya punya intuisi bahwa rakyat sangat mengharapkan PDI bisa menyalurkan aspirasinya, rakyat ingin perubahan. Anda bilang, cita-cita menjadi presiden sejak kecil. Apa yang mendorong? Sejak kecil saya tahu kehidupan presiden. Saya tahu seorang presiden itu tak punya apa-apa. Dulu saya sering merenung, kok saya tak seperti orang lain. Saya tidur di rumah negara. Saya juga tahu bapak saya, selain milik keluarga, juga milik bangsa. Sikap Bapak, yang mengabdi terus untuk bangsa itu menjadi teladan buat saya. Didikan Bapak membuat saya tak mau minta macam- macam, tak pernah saya kepikiran minta dibelikan mobil balap atau apalah. Bahkan Bapak tak meninggalkan warisan yang berarti. Sehingga saya pun ingin seperti dia, punya sikap seperti dia. Ini yang mendorong saya untuk menjadi presiden. Pernah bicara soal cita-cita ini dengan Bung Karno? Tak pernah. Waktu itu usia saya belum cukup. Bapak saya tak pernah mengarahkan anaknya harus menjadi apa. Dia cuma minta agar anaknya tak setengah-setengah. Target pencalonan Anda ini, sekadar menembus kemandekan politik calon tunggal, atau benar-benar mau jadi presiden? Ya dua-duanya. Soalnya, saya sekarang tak punya calon untuk diajukan jadi presiden. Jadi saya calonkan saja diri saya sendiri. Kesalahan bangsa kita selalu menunggu berlarut-larut. Padahal bangsa kita sudah mendapat pelajaran 3,5 abad dijajah. Selama itu hanya menunggu. Semua orang ingin merdeka, tapi giliran disuruh bergerak saling menunggu. Sejelek-jeleknya saya, saya tahu bahwa saya harus bergerak, bukan cuma menunggu. Kalau PDI toh memilih Pak Harto, apa pendapat Anda? Kalau nama yang muncul Pak Harto, buat apa kita rame-rame. Seakan-akan sudah tak perlu lagi SU MPR untuk pilih presiden. Toh semua fraksi sudah memilih Pak Harto. Yang saya tahu, banyak yang ingin calon selain Pak Harto. Ini yang harus diperjuangkan. Kalau Anda di-recall karena pencalonan itu? Terserah pada yang mau me-recall. Buat saya, itu tak apa-apa. Saya tak takut di-recall. Tapi saya harus tahu dulu kenapa saya di-recall. Anda sudah perhitungkan akibatnya buat PDI jika calonnya bukan Pak Harto? Namanya perjuangan, bukan pesta suka ria. Partai harus berani menerima, apalagi demi memperjuangkan nasib rakyat. Apakah konsep kenegaraan Anda seperti pemikiran Bung Karno? Para pendiri bangsa telah merintis semuanya. Terutama Bung Karno yang telah merumuskan Pancasila yang disepakati sebagai dasar negara. Bung Karno telah merintis cita-cita proklamasi. Artinya, Bung Karno punya pemikiran politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Bagi saya, konsep kenegaraan yang telah diletakkan para founding fathers kita, yang telah tertulis di UUD 45 dan Pancasila, harus diteruskan. Masa demokrasi terpimpin Bung Karno dikritik karena ia seenaknya menjebloskan lawan politiknya ke penjara tanpa pengadilan. Bagaimana pendapat Anda? Jangan lupa, bangsa ini perlu waktu untuk pematangan mencapai cita-citanya. Dalam proses pematangan ini banyak diberi pelajaran oleh sejarah, yang kebenarannya baru dimengerti nanti. Misalnya tentang demokrasi, sampai sekarang saja kan belum tuntas, bagaimana sih demokrasi Pancasila itu. Zaman Bung Karno ada istilah demokrasi terpimpin, tafsirannya beda-beda. Ada yang berpikiran sempit mengatakan demokrasi terpimpin membuka peluang bagi kediktatoran. Tapi dalam pemikiran yang luas, bisa ditafsirkan demokrasi terpimpin berarti ada yang membimbing, yakni Pancasila. Bisa saja yang memimpin itu presiden, tapi pegangannya Pancasila. Anda katakan, akan serius mencalonkan diri sebagai presiden. Tapi Anda juga bilang tak punya ambisi. Apa ini sekadar main-main? Kalau ambisi yang positif, saya katakan oke. Saya juga mau bilang, niat saya ingin jadi presiden bukan karena kedudukan, seperti anggapan orang bahwa presiden itu pemegang kekuasaan yang bisa dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi. Kalau saya bukan itu. Saya melihat ada sesuatu yang tak beres, misalnya masalah demokrasi. Saya bertekad untuk menyelamatkannya. Dan yang paling efektif untuk menyelamatkan adalah jabatan itu. Itu sebabnya saya bersedia menjadi presiden. Apa saja upaya yang Anda lakukan untuk membenahi demokrasi itu? Saya terjun ke politik praktis dan memilih PDI. Ini salah satu upaya. Karena saya sudah mengambil langkah untuk memilih jalur formal. Di PDI, saya bukan sekadar anggota atau warga. Tapi saya menjadi jurkam, gembar-gembor kampanye tentang perubahan, meyakinkan orang bahwa PDI adalah wadah yang demokratis. Itu kan upaya juga. Dari upaya itu saya berhasil menjadi wakil rakyat. Kemudian maju lagi, saya melihat ada pencalonan presiden lewat MPR. Pencalonan saya hanya salah satu dari sekian banyak upaya. Sudahkah kondisi sekarang mencerminkan Demokrasi Pancasila? Belum. Makanya saya katakan demokrasi belum jadi. Kenyataannya bisa dilihat dalam praktek pemilu. Dari segi konstitusional, penyelenggara pemilu sedang diperjuangkan oleh PDI. Sekarang penyelenggara pemilu adalah pemerintah. Ini yang perlu ditinjau, apa betul ini baik buat demokrasi. Apa Anda melobi daerah untuk mendukung? Upaya semacam itu ada. Dengan kondisi politik sekarang, agaknya kans Anda menjadi presiden kecil. Itu artinya masih harus ada perjuangan yang panjang, dan saya sudah siap untuk perjalanan yang panjang ini. Banyak orang bilang Anda belum matang di dunia politik. Silakan orang menilai saya. Memang saya melihat di masyarakat masih banyak orang-orang yang berpikiran sempit demikian. Contohnya seperti anggapan terhadap saya tadi. Seolah-olah kalau orang yang berkecimpung di dunia seni itu jauh dari dunia politik. Dan kemudian menjadi kurang pantas. Lantas, kalau dia militer, kenapa bisa lebih smooth, dianggap lebih pas. Pemikiran seperti ini kalau dibiarkan, saya khawatir, di masa depan tak menguntungkan bangsa. Kalau kebetulan dia seniman, militer, pengusaha, tokoh agama, teknokrat, bisa saja dia memegang tampuk pimpinan. Hal seperti ini sudah terjadi di mana-mana. Misalnya? Cory Aquino. Dulu orang meragukan karena dia hanya ibu rumah tangga. Nyatanya dia bisa menyelesaikan tugasnya. Rajiv Gandhi juga demikian. Orang melihat dia sebagai pilot dan pengusaha yang jarang bergaul dengan dunia politik. Setelah diberi kepercayaan, ternyata ia mampu mengemban tugasnya sampai akhir hayatnya. Tapi di sini agaknya sulit kalau ada seniman menjadi presiden. Kalau bangsa ini benar-benar mau maju, pemikiran sempit seperti ini harus dihapuskan. Saya pribadi kurang merasa sebagai seniman. Mungkin saja kegiatan saya dulu lebih banyak ke arah politik, artinya menjadi pengamat politik, belajar politik. Waktu itu saya belum mempunyai kesempatan untuk terjun langsung ke dunia politik praktis atau memang saatnya kurang begitu baik. Maka saya berkarya, kebetulan di bidang seni, dan karya saya, alhamdulillah, diterima oleh sebagian masyarakat. Saya tak merasa atau berkarier sebagai seniman. Saya hanya merasakan karya saya diterima oleh sebagian masyarakat. Apa tak sebaiknya ada jenjang pengalaman untuk jabatan presiden? Orang akan bertindak dengan caranya masing-masing. Dan presiden di sini unik. Saya tak setuju kalau presiden itu harus melalui jenjang bupati, gubernur, atau menteri, misalnya. Demi masa depan bangsa, maka menurut saya, presiden itu tak perlu seorang pakar. Tapi modal utamanya lebih kepada soal moral, kejujuran, ketulusan, rasa pengabdian, rela berkorban bagi nusa dan bangsa, kemudian baru dia punya kemampuan untuk melihat segala permasalahan secara teliti dan punya kemampuan untuk memimpin. Apa Anda berupaya juga menarik simpati dari berbagai kalangan, termasuk ABRI? Saya rasa istilahnya bukan menarik simpati, tapi menunjukkan sikap dan tekad saya. Siapa pun yang melihat bahwa sikap dan niat saya ini benar dan baik, maka dia akan mendukung saya dengan sendirinya. Bagaimana pemikiran Anda untuk memperbaiki kekurangan pembangunan sekarang? Pada saat ini saya hanya mau bilang bahwa masih banyak sekali hal yang perlu dibereskan. Dan satu hal yang menjadi keprihatinan saya adalah, mungkin kalau dalam pembangunan fisik banyak kemajuan, apalagi yang kasat mata. Tapi masih ada lapisan yang belum mampu mengejar kemajuan ini. Dulu zamannya Presiden Soekarno pernah dicanangkan character building. Ini harus berjalan searah dengan pembangunan fisik. Bahkan akan lebih penting dalam pembangunan mental dan watak bangsa ini. Korupsi masih merajalela, kecenderungan ke arah materialistis di kalangan muda. Lihat saja bagaimana mereka menjadi begitu konsumtif, cenderung ke arah negatif. Contohnya ketika kampanye. Mereka mau kampanye kalau mendapat uang transpor, dapat makan. Apa konsep Anda tentang persatuan bangsa? Pangikatnya yang utama Pancasila. Kalau itu dipadatkan dalam satu kata, itu adalah gotong-royong. Gotong-royong sendiri adalah istilah yang dipergunakan oleh Bung Karno, yang diangkat dari istilah suatu daerah. Tapi gotong-royong itu sendiri mengandung arti saling pengertian, toleransi, dan sebagainya, yang juga ada pada butir-butir Pancasila. Artinya, meneruskan konsep Bung Karno atau punya konsep sendiri? Meneruskan. Bung Karno sudah membuka jalan dan kita bisa dengan mudah meneruskan hal itu. Jembatan emas ''kemerdekaan'' sudah kita miliki. Kemudian kita tinggal menyeberang, ada kerikil- kerikil bisa kita singkirkan dengan bimbingan Pancasila. Kalau kelak jadi presiden, perubahan apa yang akan Anda lakukan? Karena PDI programnya adalah perubahan, maka perubahan itu harus mendasar, dengan tetap berpegang pada Pancasila dan UUD 1945. Kita jangan terlalu picik memandang kata revolusi, yang sering diartikan sebagai komunis. Dan ternyata perubahan itu diperlukan bukan hanya dalam satu bidang saja. Anda menghendaki pemerintahan yang bersih tentunya. Apa yang akan Anda lakukan? Dari segi aksi, pasti akan dilakukan pemecatan dan mungkin secara radikal. Kita harus bersih dari hal itu. Tapi kan kita juga akan kembali ke masalah mental bangsa yang Pancasilais. Bagaimana caranya supaya membuat otak kita itu benar-benar menerima, mengerti, dan menyadari serta mengamalkan Pancasila. Ini usaha dan harus dilakukan oleh Pemerintah. Siapa nanti yang akan mendampingi Anda sebagai ibu negara? Itu kan nanti. Siapa tahu, sebelum saya terpilih sudah dapat. Lihat saja nanti. Kalau bicara soal itu, tak ada undang-undang yang mengharuskan seorang presiden mesti beristri dulu. Bisa saja ketika memegang kekuasaan, dia baru beristri. Konsep Anda tentang pemimpin? Saya mendahulukan moral. Karena kepemimpinan bisa dilatih kemudian. Di era modern ini team-work harus ada. Dan pemimpin harus bisa menangani hal seperti itu. Sekarang timbul kesan, tak ada figur yang mampu selain Pak Harto. Kadang-kadang kita harus menghadapi persoalan yang nyerempet-nyerempet bahaya, tapi kita harus berani. Dulu Bung Karno, misalnya, ketika memberikan Supersemar kepada Pak Harto juga dengan bismillah. Kita juga tak tahu ketika itu bagaimana kemampuan Pak Harto. Paling orang hanya tahu Pak Harto sebagai seorang militer yang mempunyai pengalaman gerilya. Kita harus mempunyai sikap begitu. Kalau tidak, kita tak akan berani maju. Dalam pencalonan kali ini Anda punya target lain? Saya merasa bahwa saya adalah salah satu generasi muda. Saya merasa terpanggil. Mau tak mau, suka tidak suka, harus ada regenerasi atau alih generasi. Idealnya tentu harus yang lebih muda. Dan mungkin saya salah seorang yang mempersiapkan diri untuk itu. Jadi targetnya adalah masa depan bangsa ini terletak di pundak generasi muda. Sekarang momennya sudah pas, dan kita jangan terbiasa untuk menunda-nunda pekerjaan. Sekarang juga harus kita lakukan. Anda punya hubungan khusus dengan presiden terpilih Bill Clinton? Itu masih rahasia. Saya belum mau cerita. Ada yang bilang pencalonan Anda ini sebagai banyolan... Siapa saja punya hak untuk berpendapat. Tapi saya yakin akan kebenarannya, dan ini akan kita lihat pada masanya nanti, apa sih yang sesungguhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini