PEMILIHAN gubernur selalu ada warna yang menarik. Di Sulawesi Selatan, Jumat pekan lalu, misalnya, satu dari tiga calon mundur beberapa jam sebelum pemilihan. Calon itu tak lain adalah Baharuddin Lopa, Dirjen Pemasyarakatan. ''Tidak ada manfaatnya. Dan saya tidak mau jadi kayu bakar,'' katanya. Artinya, menjadi pemanas lalu hancur dengan sendirinya. Dengan mundurnya Lopa, calon lain, Pangdam Wirabuana Mayor Jenderal Zainal Basri Palaguna, memenangkan pemilihan dengan 33 suara, dan Rektor Unhas Basri Hasanuddin kebagian 12 suara. Adapun Lopa, yang namanya masih tetap saja tercantum pada lembar pemungutan suara untuk 45 anggota DPRD Sul-Sel itu, tak mendapat bagian suara. Memang, tetap mencantumkan nama Lopa di kertas pemungutan suara, menurut Gubernur A. Amiruddin yang kini menjadi wakil ketua MPR, adalah jalan yang paling mungkin ditempuh setelah Lopa mundur 14 jam menjelang pemilihan. Panitia sempat sibuk karena tak mungkin menunda pemilihan atau membatalkan undangan yang telah beredar. ''Pemilihan harus tetap dilaksanakan demi menegakkan wibawa dan kehormatan DPRD,'' kata Amiruddin. ''Dan saya akan mempertanggungjawabkan pelaksanaan pemilihan ini.'' Namun ia berterus terang mengaku kurang srek dengan pengunduran diri Lopa di saat-saat terakhir itu. Ketua DPRD, Brigjen. Bempa Mappangara, yang memimpin sidang pemilihan, mengatakan kepada TEMPO, ''Dulu saya pengagum, tapi kini saya kecewa. Kenapa tak dari dulu kalau mau mundur?'' Kekecewaan dua penangung jawab pelaksanaan pemilihan gubernur itu tampaknya bisa dimaklumi. Sebab, menurut Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Tahun 1974, calon gubernur yang dipilih DPRD mestinya tiga orang. Dan calon yang disetujui Menteri Rudini untuk pemungutan suara itu memang Palaguna, Lopa, dan Basri Hasanuddin. Mengapa Lopa mundur mendadak? Kepada TEMPO ia mengaku, Kamis pekan lalu -- sehari menjelang pemilihan -- ia didatangi oleh Ketua DPRD Mappangara bersama pimpinan dan anggota dewan lainnya di rumahnya di Ujungpandang. Dalam pertemuan itu Lopa mendapatkan informasi tentang gambaran peta kekuatan dan peluang perolehan suara untuk ketiga calon. Perkiraan ''pembagian'' suara adalah Palaguna 33 suara, Lopa 7, dan Basri Hasanuddin 5. Lopa memang mengaku kurang cocok dengan ''pengaturan'' jatah suara itu. Be-kas kepala Kejaksaan Tinggi Sul-Sel yang dikenal ''lurus'' dalam menegakkan hukum itu menginginkan agar pemilihan dilaksanakan dengan bebas dan demokratis. Artinya, kata Lopa, setiap anggota dewan hendaknya bebas menentukan pilihannya, atau pemilihan murni. Namun usul itu tampaknya sulit diterima, karena waktu pemilihan sudah mepet. Usaha kompromi pun masih diupayakan. Mappangara, sore harinya, menurut Lopa, menemuinya lagi. Dalam pertemuan empat mata itu, Lopa mencoba mengajukan usul baru, yakni kalau toh ada pengaturan suara, hendaknya dilakukan secara wajar. Ia sempat usul suara dibagi tiga, masing-masing mendapat 15 suara. Kalau tidak, yang dimenangkan diberi suara yang tak terlalu bertaut jauh dari kedua calon lainnya. Konon, Lopa usul agar pemenangnya mendapat 19 suara dan sisanya dibagi berdua. ''Kita ini orang Sul-Sel, mestinya selalu sipakatau, saling menghargai. Jangan mempermalukan orang lain,'' kata Lopa. Namun Ketua DPRD Mappangara, seperti kata Lopa, malam hari menjelang pemilihan itu memberikan jawaban bahwa usulan itu tak bisa dipenuhi. Karena merasa tak ada harapan yang disebutnya menumbuhkan mekanisme demokrasi di Sul-Sel, Lopa memilih mundur. ''Sistem seperti ini pertanda kemunduran demokrasi,'' katanya. Bahwa ia mengundurkan diri pada saat-saat terakhir, katanya, itu justru semata ingin mengajak dewan untuk bersama-sama menegakkan demokrasi. ''Jadi, tak benar saya melecehkan dewan,'' katanya. Bahwa atasannya, Menteri Kehakiman Ismail Saleh, kabarnya tak merestui pengunduran dirinya, menurut Lopa, restu atasan hanya dibutuhkan bila si calon masih bersedia dipilih. ''Jadi, restu itu tidak perlu lagi. Rasanya lucu jika ada pendapat yang menilai pengunduran diri saya tak sah karena tak ada restu dari atasan,'' katanya. Acara pemilihan yang dihadiri Ketua DPP Golkar Jacob Tobing, pejabat dari Departemen Dalam Negeri Suyitno, para kepala kanwil dan wali kota/bupati se-Sulawesi Selatan itu memang mengukuhkan kemenangan Mayjen. Z.B. Palaguna, 53 tahun. Lulusan AMN 1962 yang pernah menjadi wakil gubernur mendampingi Amiruddin ini memang mendapat 33 suara seperti dirancang sebelumnya. Sisanya, 12 suara, yang semula untuk dua calon lainnya, jatuh ke tangan Basri Hasanuddin. Z.B. Palaguna, putra Sul-Sel yang pernah menjadi komandan korem di Palu dan Kasdam Jaya di Jakarta itu memang memenangkan pemilihan untuk jabatan gubernur Sul-Sel. Bagaimanapun, kata akhir masih menunggu keputusan Presiden. Yang jelas, konon, calon penggantinya sudah disiapkan. Disebut-sebut nama Brigjen. Sofyan Effendi, kini Komandan Pusat Persenjataan Infanteri di Bandung, yang akan menjadi Pangdam Wirabuana untuk Sulawesi. Agus Basri dan Waspada Santing (Ujungpandang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini