Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Elpina Pardede, warga kelurahan Gurilla, Pematang Siantar, sedih karena rumahnya hancur digusur.
Konflik pertanahan antara warga dan perusahaan perkebunan kembali terjadi.
Saling klaim kepemilikan dan penggarapan lahan
PEMATANG SIANTAR – Elpina Pardede tidak bisa tidur nyenyak beberapa hari ini. Pikirannya belum tenang. Dia masih tidak menyangka rumahnya di Desa Kampung Baru, Kelurahan Gurilla, Pematang Siantar, Sumatera Utara, kini sudah rata dengan tanah. Rumahnya dihancurkan oleh alat-alat berat PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III pada Sabtu, 25 Maret lalu. “Sampai sekarang saya enggak enak perasaan, enggak selera makan juga,” ujar perempuan berusia 56 tahun itu kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Elpina kini terpaksa menumpang di rumah orang tuanya. Dia terus teringat akan kejadian pada Sabtu sore itu. Kala itu, dia sedang duduk selonjoran bersantai di depan rumahnya. Dari ujung jalan tampak ekskavator menuju rumahnya. Elpina pun kaget. Spontan dia berdiri mendekati alat pengeruk tanah itu dan duduk di perkarangan rumahnya untuk menghalangi alat berat tersebut. “Saya hanya memikirkan melindungi tanah dan rumah saya,” ujarnya.
Baca juga: Main Serobot di Gurilla
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi Elpina tidak berlangsung lama. Beberapa pria menggunakan seragam PTPN III mengangkat dan mengempaskan tubuhnya ke rumput. Elpina pun hanya bisa menangis melihat rumahnya dihancurkan. “Saya hanya bisa pasrah,” ucap dia.
Konflik pertanahan antara warga dan perusahaan perkebunan kembali terjadi. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria antara petani dan PTPN III di Pematang Siantar ini sudah berlangsung selama 19 tahun. Para ibu dan keluarga yang bergabung dalam Forum Tani Sejahtera Indonesia (FUTASI) melawan tindakan represif PTPN karena mereka mengklaim menguasai dan mengusahakan tanah sejak 2004. Mereka pun tidak pernah menyetujui melepaskan tanahnya melalui skema pemberian ganti kerugian atau tali asih yang ditawarkan PTPN III.
Adapun PTPN III mengklaim lahan seluas 126,59 hektare di wilayah itu merupakan bagian dari area perpanjangan hak guna usaha (HGU) perseroan pada 2006. Hal ini berbeda dengan klaim warga yang menyatakan telah mendiami dan menggarap area tersebut sejak dua tahun sebelumnya, saat HGU perusahaan berakhir.
Sejumlah petani korban penggusuran di Kelurahan Gurilla, Pematangsiantar, 25 Maret 2023. Dok Konsorsium Pembaruan Agraria
Perusahaan lantas meminta warga pergi dari lokasi tersebut. Perusahaan lantas memberikan tali asih sebagai ganti rugi bagi pemilik rumah yang bersedia lahannya digusur. Elpina mengatakan menolak skema tali asih tersebut. Dengan begitu, kata dia, aksi penggusuran seharusnya tidak bisa dilakukan. “Sumber pencarian kami hanya bercocok tanam di lahan ini. Mau ke mana lagi saya ini, Pak?” ujar Elpina.
Pada saat penggusuran itu, Elpina tidak sendiri. Puluhan warga yang bergabung dalam FUTASI datang membantu. Ketua FUTASI, Tiomerli Sitinjak, mengatakan dirinya bersama 30 warga datang saat terjadi aksi penggurusan paksa tersebut.
Di hadapan 50 karyawan dan petugas satpam PTPN III, Tiomerli memperingatkan bahwa PTPN tidak berhak melakukan aksi itu karena rumah Elpina menolak tali asih. “Mereka tidak peduli. Mereka bilang, ini 'pembersihan',” ujar Tiomerli kepada Tempo, kemarin.
Situasi semakin panas. Tiomerli dan warga lainnya mulai menghalangi alat berat yang merusak rumah Elpina. Warga lain mencoba menghalangi alat berat itu dengan tidur di depan ekskavator. Tiomerli sendiri memanjat ekskavator untuk menghentikan sopir. Namun dia ditarik dan dilemparkan ke tanah oleh petugas. “Ada juga warga yang ditampar, dipukul, hingga diseret,” ujar Tiomerli. Akibat peristiwa itu, tujuh orang mengalami luka ringan.
Tiomerli mengatakan warga berani melawan karena tanah itu sumber utama penghidupan mereka. Lahan di kawasan tersebut subur karena berbagai tanaman, seperti alpukat dan durian, tumbuh dengan baik. “Karena itu, kami berupaya menyelamatkan rumah kami,” ujar perempuan berusia 54 tahun itu.
Wakil Sekretaris I FUTASI, Komter Sihalolo, mengatakan aksi penggusuran itu sudah beberapa kali terjadi sejak PTPN III ingin memperpanjang masa berlaku HGU perseroan pada 2022. Sebelumnya, penggusuran rumah warga terjadi pada November 2022, Desember 2022, dan Januari 2023. Sihalolo menilai penggusuran paksa ini merupakan yang terparah karena disertai tindakan represif oleh petugas PTPN III. Adapun akibat kejadian ini, rumah milik warga di area konflik agraria kini tersisa 100 unit, menyusut dari sekitar 200 rumah. “Seratus unit itu menolak pengambilalihan lahan oleh perusahaan,” kata Komter kepada Tempo, kemarin.
Pendamping warga, Jacob Kappuw, mengatakan aksi penggusuran secara paksa dilakukan pada Jumat 24 Maret dan Sabtu 25 Maret 2023. Tiga rumah yang tidak mau menerima tali asih sebagai skema ganti rugi digusur paksa oleh petugas PTPN III. Selain merusak rumah, ucap Jacob, PT PTPN kerap merusak tanaman warga. Namun warga hanya diam. Mereka takut akan tindakan penyerangan seperti pada Januari lalu itu kembali terjadi. “Waktu itu Bu Tiomerli dipukul petugas karena menghalangi petugas merusak tanaman,” kata Jacob, kemarin.
Menurut Jacob, PTPN III seharusnya menghormati keputusan dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Kantor Staf Presiden (KSP) di gedung Bina Graha pada 6 Desember 2022. Pertemuan itu dihadiri perwakilan PTPN III, seperti Kepala Sub-Divisi Hukum PTPN III, Afandono Chayo Putranto; serta Kepala Bidang Hukum PTPN III, Hengki Heriandono.
Hasil keputusan rapat, antara lain, meminta PTPN III dan FUTASI tidak boleh mengganggu satu sama lain. Dalam risalah rapat tertanggal 20 Maret 2023 itu disebutkan, PTPN III tidak boleh menggusur rumah warga dan lahan garapan anggota FUTASI yang masih menolak menerima tali asih. Sebaliknya, FUTASI tidak diperkenankan menggarap lokasi-lokasi yang sudah menerima skema ganti rugi tersebut. Kedua pihak menyetujui dan hal ini berlaku sembari menunggu proses serta skema penyelesaian disepakati.
Tenaga ahli Deputi II KSP, Sahat Lumbanraja, membenarkan pertemuan itu. Seharusnya, kata Sahat, PTPN III dan FUTASI tidak boleh mengganggu satu sama lain sebelum ada proses identifikasi dan verifikasi obyek lahan garapan ataupun permukiman. Dia mengatakan PTPN mengklaim terdapat 274 keluarga yang telah mengajukan tali asih. Adapun warga mengatakan 224 keluarga masih bertahan untuk tinggal di lokasi tersebut.
Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, mengatakan petani FUTASI telah menguasai dan mengusahakan tanah sejak 2004. Mereka pun tidak pernah menyetujui untuk melepaskan tanahnya melalui skema pemberian ganti rugi berupa tali asih yang ditawarkan PTPN III.
Dewi menuturkan Kelurahan Gurilla masuk lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) sebagai target penyelesaian konflik agraria. Dia menjelaskan, LPRA yang dipetakan oleh KPA sebanyak 532 lokasi di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 54 lokasi akan dipercepat penyelesaian konflik agrarianya. Adapun Kelurahan Gurilla masuk pemetaan 532 titik LPRA, tapi bukan bagian dari 54 lokasi itu. “Meski begitu, Gurilla sudah masuk ke LPRA sehingga tanah warga tidak boleh direbut paksa,” ujar Dewi.
Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika. Dok Konsorsium Pembaruan Agraria
Dia juga mengatakan status HGU PTPN III sudah habis masa berlakunya. HGU PTPN III telah ditelantarkan dan habis masa berlakunya sejak 2004. Menurut Dewi, Badan Pertanahan Nasional (BPN), melalui Surat BPN RI No.3000-310.3-D tertanggal 19 September 2007, menyatakan bahwa HGU PTPN III tidak lagi diperpanjang. Pada 2004 terdapat Surat Keputusan Wali Kota Pematang Siantar dan permohonan pada Kanwil Sumatera Utara untuk tidak memperpanjang HGU PTPN III Kebun Bangun. “Artinya selama ini PTPN III telah beroperasi bahkan menggusur secara ilegal atau tanpa dasar hukum yang sah. Dengan klaim bahwa HGU aktif kini dari PTPN III, besar kemungkinan dilakukan dengan cara melawan hukum,” kata Dewi.
Adapun Direktur Utama PTPN III, Mohammad Abdul Ghani, tidak bisa dimintai konfirmasi perihal aksi penggusuran ini. Hingga berita ini ditulis, Tempo menghubungi dan mengirimkan pertanyaan melalui pesan pendek, tapi tidak direspons.
Kendati demikian, Abdul mengklaim lahan tersebut milik PTPN. “Kami memiliki bukti hukum yang kuat,” kata Abdul pada akhir Januari lalu. Dia menegaskan perusahaannya telah mengambil alih lahan secara manusiawi, seperti memberikan biaya tali asih untuk tanaman dan bangunan milik warga penggarap.
Berdasarkan risalah rapat pertemuan antara PTPN III dan FUTASI yang difasilitasi KSP pada 6 Desember 2022, PTPN III mengatakan dasar pembersihan lahan berdasarkan HGU I/Pematang Siantar. Menurut PTPN III, pada 2003, masyarakat merusak tanaman kelapa sawit. Pada 2004 hingga 2008, PTPN III telah menyurati warga agar tidak menyerobot lahan yang aktif di HGU.
Kemudian, pada 2014, PTPN III "membersihkan" lahan seluas 15,90 hektare yang sebelumnya dikuasai masyarakat. Lalu, pada 2021, PTPN berupaya menyelesaikan pembersihan berdasarkan surat edaran dari Menteri BUMN (SE15/MBU/12/2020). PTPN III juga menegaskan tidak pernah memberikan opsi relokasi kepada warga.
HENDRIK YAPUTRA | M. ROSSENO AJI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo