Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Stigma Jadi Tantangan Beribadah Penyandang Disabilitas

Menjalankan ibadah dapat menjadi sebuah tantangan yang sangat besar bagi penyandang disabilitas. Bukan hanya tantangan akses dan fisik.

9 Januari 2025 | 08.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar
ILustrasi Berdoa di Masjid. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Menjalankan ibadah dapat menjadi sebuah tantangan yang sangat besar bagi penyandang disabilitas. Bukan hanya tantangan akses dan fisik. Masih sering tantangan sosial berupa stigma menjadi halangan bagi penyandang disabilitas dalam beribadah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keadaan ini dialami Nabila, 20 tahun, penyandang down syndrome. Nabila yang merupakan pemeluk Islam, mengalami banyak hambatan dalam menjalani Salat, terutama salat berjamaah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ida, ibu Nabila, menceritakan pertama kali mengajari Nabila salat cukup sulit lantaran penyandang down syndrome memerlukan waktu yang lebih lama dalam memahami konsep agama. “Nabila sekarang sudah tahu konsep ketuhanan, mengerti arti meninggal, tahu arah kiblat. Awalnya belajar agama dari sekolah, terus di rumah saya yang ngajarin,” kata Ida. 

Ketika Nabila berusia 15 tahun, Ida untuk pertama kali membawa putrinya Nabila ke masjid untuk salat Idulfitri. Selanjutnya, Ida memberanikan diri mengajak Nabila mengikuti pengajian. Awalnya, jemaah kaget dengan kondisi Nabila. Di hadapan ibu-ibu pengajian, Ida meminta dukungan agar bisa diterima mengingat kondisi Nabila yang berkebutuhan khusus. 

“Saya kasih pengertian ke orang-orang yang belum paham kalau Nabila adalah anak berkebutuhan khusus yang harus diterima juga di masyarakat, jangan dianggap aneh. Akhirnya mereka minta maaf,” kata Ida. 

Kendala serupa juga dialami Alika, 11 tahun yang memeluk agama Kristen, juga penyandang down syndrome. Astrid, Ibu Alika mengatakan, sudah membawa Alika beribadah ke gereja sejak usianya 3 tahun. Dua tahun kemudian, Alika mulai masuk ke sekolah minggu untuk belajar tata cara beribadah, berdoa, dan mengenal salib.

“Pas di gereja, Alika dilihatin. Di tempat umum juga sama. Pernah dia disebut idiot. Bahkan ada yang enggak tahu apa itu down syndrome,” kata Astrid. 

Beruntung, Astrid mendapat dukungan dari pastor. Di hadapan jemaat, pastor menjelaskan kondisi Alika dan mengajaknya menyanyikan lagu-lagu rohani, serta tak ada diskriminasi saat beribadah. Hanya saja, ketika ada anak-anak lain yang ikut beribadah di gereja dan melihat kondisi Alika, ada yang menjauh.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus