Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketegangan dan aksi keluar ruangan rapat tidak cuma terjadi di gedung parlemen di Ibu Kota. Di ruang rapat Hotel Orchids di Kota Batu yang sejuk, karena bertengger di kawasan pegunungan, dua delegasi pemerintah daerah juga tak bisa mendapatkan kata sepakat, dua pekan lalu. "Karena situasi tidak kondusif, kami walk out," ujar satu di antara dua pemimpin delegasi itu.
Dia yang mengambil alih mikrofon dengan mimik tegang itu adalah Yusron, Kepala Bagian Pemerintahan Umum Sekretariat Daerah Kabupaten Kediri. Di seberangnya adalah delegasi dari daerah tetangga, Blitar, yang dipimpin Kepala Bagian Pemerintahan Suhendro Winarso. Aksi walkout Yusron membuat upaya mengakhiri sengketa perebutan wilayah di puncak Gunung Kelud yang difasilitasi pemerintah provinsi itu kembali buntu.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengaku sebagai pihak yang mendorong perundingan itu. Dia menyatakan telah mencabut keputusan pada 2012 yang menetapkan seluruh puncak Kelud berada dalam batas wilayah Kabupaten Kediri.
"Tak hanya dicabut, tapi dihentikan dulu keputusannya," ujar Soekarwo, saat ditemui di Gedung Grahadi, Selasa pekan lalu. Dia memutuskan masalah Gunung Kelud kembali ke saat sebelum 2012. Itu artinya penduduk tiga desa di Blitar batal ganti kartu tanda penduduk.
Soekarwo tetap pada keputusannya yang terbaru sekalipun gugatan Pemerintah Kabupaten Blitar terhadap dirinya mengenai penerbitan SK Nomor 188/113/KPTS/013/2012 itu tak diterima Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya tahun lalu. Dia menegaskan, "SK tersebut sementara tidak berlaku sampai dilakukan perundingan yang kali ini melibatkan para camat, kepala desa, dan perangkat desa yang berbatasan."
Jadilah kini sengketa Kediri dan Blitar mengenai puncak Kelud masih terpelihara di usianya yang menginjak tahun ke-14. Sengketa bahkan tak lagi sebatas adu lembaran peta di atas meja perundingan, tapi sudah menyerempet adu fisik di desa-desa di puncak gunung setinggi 1.700-an meter di atas permukaan laut itu. Penghadangan, misalnya, dilaporkan terjadi terhadap pembangunan jalan "tandingan" dari Desa Sumberasri yang masuk wilayah Blitar ke puncak Kelud.
Pipit, Ketua RT 1 RW 13 yang memangku wilayah Dusun Gambaranyar di desa yang ada di Kecamatan Nglegok, Blitar, mengatakan pembangunan jalan rintisan itu sudah mencapai lima kilometer. Kurang dua kilometer lagi jalanan itu sudah bisa mencapai kubah Kelud. "Pekerja proyek dihadang polisi dan Satpol PP Kediri sehingga tak bisa melanjutkan pembukaan jalan," kata Pipit. Dusun Gambaranyar merupakan kawasan permukiman terakhir yang berbatasan dengan wilayah hutan di lereng Kelud, sekitar tujuh kilometer dari kawah.
Suhendro mengakui penghentian proyek pembangunan jalan tersebut. Tapi, menurut dia, itu bukan karena takut. Penghentian dilakukan karena menunggu surat pengajuan nota kesepahaman dengan Kementerian Kehutanan tentang penggunaan kawasan hutan milik Perhutani Blitar itu. "Jadi jelas itu tanah Blitar, bukan Kediri, dan tidak ada kaitannya dengan Kediri," katanya berdalih.
Atas dasar itu pula Suhendro membantah tuduhan bahwa Blitar ingin menjadi penumpang gelap atas fasilitas wisata yang sudah dibangun Kediri di puncak Kelud. Sebaliknya, Blitar, yang telah menggandeng sejumlah universitas dengan kemampuan pemetaan wilayah, menegaskan siap duduk bersama dengan pemerintah Kediri untuk membahas solusi sengketa wilayah ini.
Dia mengaku tak memahami alasan tak kondusif yang diajukan koleganya saat rapat di Batu dua pekan lalu. Menurut dia, seluruh rangkaian pertemuan bertitel Rapat Koordinasi Percepatan Batas Antardaerah dan Fasilitasi Penyelesaian Perselisihan yang Terletak di Kawasan Gunung Kelud berjalan normal.
Suhendro mengungkapkan aksi walkout terjadi di sesi kedua rapat, ketika para kepala desa dan camat tengah memaparkan penjelasan kepada pemerintah provinsi. Tapi dia mengakui kala itu hanya kepala desa dan camat dari Kabupaten Blitar yang terlibat aktif dalam pemaparan. "Tak ada kepala desa dan camat dari Kediri yang bicara," katanya.
Ditemui terpisah, Yusron mengatakan rapat yang rencananya berlangsung tiga hari itu tak produktif sama sekali. Bahkan dia menganggap forum itu salah secara substantif. "Tidak ada lagi yang perlu difasilitasi karena memang perselisihan batas sudah selesai," dia menegaskan.
Dia menunjuk Surat Keputusan Gubernur Tahun 2012 tentang Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah antara Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri yang Terletak pada Kawasan Gunung Kelud itu. Menurut dia, keputusan sudah final, terlebih dengan adanya pernyataan PTUN Surabaya yang tak bisa menerima gugatan Blitar pada 2013.
Yusron mengaku satu-satunya alasannya datang memenuhi undangan ke Batu dua pekan lalu adalah harapan membahas tapal batas dari Gunung Umbuk ke barat sampai titik simpul Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Tulungagung sejauh kurang-lebih 40 kilometer. Ini tidak ada kaitannya dengan puncak Kelud yang berada di arah timur Gunung Umbuk.
"Pemerintah Kediri sudah mengunci sengketa puncak Kelud dengan pemerintah Blitar," kata Yusron, sambil menambahkan, "Semua pihak harus menaati putusan pengadilan, tidak usah main akrobat lagi."
Ketika dimintai tanggapan atas pernyataan itu, Suhendro hanya menjawab singkat. "Gugatan 'tidak diterima' itu berbeda pengertiannya dengan 'ditolak'," katanya.
Kepala Biro Administrasi Pemerintahan Umum Pemerintah Provinsi Jawa Timur Suprianto membenarkan adanya perdebatan itu. Namun dia menegaskan bahwa output pertemuan memang bukan untuk membuat kesepakatan. Pembicaraan, begitu Suprianto menyebut agenda rapat itu, hanya sebagai ajang untuk mendengarkan pendapat, saran, dan kritik yang diungkapkan dari tiap kabupaten.
"Pemerintah Provinsi Jawa Timur akan menindaklanjuti dengan mengadakan pertemuan dengan tim penegasan batas daerah dari tiap kabupaten," katanya. Seluruh hasil pertemuan lalu diajukan sebagai dasar pengambilan keputusan dan data pendukung oleh Kementerian Dalam Negeri.
Tak terlalu berhasil untuk Kelud, Suprianto kini sedang menyiapkan agenda yang sama untuk penyelesaian sengketa di Gunung Ijen antara Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan tetangganya di sebelah barat, Kabupaten Bondowoso. "Rencananya sebelum akhir bulan ini. Kami masih mencari waktunya agar kedua belah pihak dapat hadir semua," ujarnya.
Sengketa di ujung timur Jawa Timur ini juga memasuki babak baru. Dalam sambutannya di Jazz Ijen Bondowoso pada 15 November lalu, Bupati Amin Said Husni mengirim sindiran kepada tetangganya yang menyalip menggelar hajatan serupa dari biasanya yang hanya menggelar hiburan pentas jazz di pantai.
"Demi menghormati kawasan konservasi, kami rela acara tak kami gelar di Paltuding," kata Amin, menunjuk lokasi pergelaran Jazz Ijen Banyuwangi tepat seminggu sebelumnya. "Marilah kita semua menikmati Ijen dengan tidak memerkosanya," dia melanjutkan.
Bondowoso mengklaim ikut memiliki separuh Gunung Ijen sejak 2010. Sejak itu pula dua kali mediasi sudah digelar tapi buntu karena kedua pihak menganggap peta masing-masing sebagai yang paling benar.
Kepala Bagian Pemerintahan Banyuwangi Anacleto Da Silva mengatakan sudah lama menunggu pemerintah Jawa Timur kembali memediasi sengketa Gunung Ijen. Pihaknya optimistis memenangi sengketa karena menilai secara historis Gunung Ijen masuk wilayah Banyuwangi. "Sejak Belanda, Ijen adalah bagian dari Banyuwangi," ujarnya, Jumat dua pekan lalu.
Bukan hanya peta, menurut Anacleto, keyakinan memenangi sengketa karena Banyuwangi telah serius menunjukkan perhatian untuk Gunung Ijen. Dalam tiga tahun terakhir, dia menyebutkan, Banyuwangi sudah menggelontorkan miliaran rupiah untuk membangun infrastruktur di Ijen. Termasuk rutin menggelar kejuaraan balap sepeda bertajuk International Tour de Ijen sejak 2012.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan keringat dan biaya telah terbayar dengan jumlah kunjungan wisaÂtawan yang terdongkrak. Peningkatan itu ditunjukkan dengan pendapatan dari tiket masuk ke Kementerian Kehutanan yang disebutnya mencapai Rp 5 miliar per tahun. "Pendapatan tiket masuk (Ijen) ini meleÂbihi Bromo," kata Anas.
Kepala Bagian Pemerintahan Bondowoso Agung Aries Sungkono mengatakan mempersiapkan peta bikinan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) untuk menjalani mediasi. Dia berharap usia peta yang jauh lebih muda ketimbang yang selama ini digenggam Banyuwangi bisa menjadi solusi dalam pengelolaan Ijen. "Potensi wisata sangat penting mendongkrak ekonomi kedua daerah," ujar Agung, Jumat dua pekan lalu.
Hal penting lainnya, menurut Agung, adalah 5.000 jiwa warga Bondowoso di Kecamatan Sempol berada di jalur utama bencana apabila Gunung Ijen meletus. Dia membandingkan wilayah Banyuwangi yang berada di kawasan rawan bencana skala dua dan tiga. "Jadi kami meminta Gubernur Jawa Timur dan Menteri Dalam Negeri bisa bersikap adil dalam menentukan status kepemilikan Gunung Ijen."
Hari Tri Wasono, Edwin Fajerial, Ika Ningtyas, Wuragil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo