Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suprapto galak sekali. Kepala Urusan Umum Kantor Desa Sugihwaras—desa terdekat dengan puncak Kelud di sisi utara, berjarak sekitar 10 kilometer—menegaskan tak rela bila Pemerintah Kabupaten Blitar mengklaim kepemilikan Puncak Kelud. "Gunung itu sudah milik kami sejak dulu," katanya.
Dusun Gambaranyar, Desa Sumberasri, yang termasuk wilayah Kabupaten Blitar, di sisi selatan, sebenarnya lebih dekat ke kubah lava, yakni tujuh kilometer. Tapi Suprapto tidak peduli.
Suprapto juga tetap ngotot sekalipun kawasan yang diperebutkan hanyalah hutan yang tak berpenghuni. Ini seperti yang disebutkan oleh Khoirul Huda, Kepala Pos Pemantauan Aktivitas Gunung Kelud di Desa Sugihwaras, Kediri. Menurut Khoirul, wilayah perbatasan yang menjadi sengketa ini berada di area hutan yang sangat jauh dari permukiman. "Hanya monyet yang tinggal di sana," katanya.
Bagi Suprapto, Kelud memang bukan sekadar batas wilayah yang harus dipertahankan, melainkan juga simbol peradaban melalui legenda Jayabaya. Dalam hikayat yang dikisahkan turun-temurun, Prabu Jayabaya, Raja Kadiri, memerintahkan dua raksasa menjaga wilayahnya. Masing-masing adalah Buto Locaya, yang bertugas berjaga di Gunung Klotok, dan Tunggul Wulung, yang bermukim di Gunung Kelud. Itu sebabnya dia menyatakan, "Gunung itu sudah milik kami sejak dulu."
Sejak sebelum kawasan itu dibangun menjadi obyek wisata lengkap dengan gardu pandang, museum, dan penginapan, Suprapto menambahkan, warga Desa Sugihwaras sudah kerap menggelar ritual selamatan. Mereka bahkan memiliki juru kunci untuk gunung itu.
Namun, soal ritual, warga tetangga juga sudah lama memiliki tradisi Larung Intan di kawah Kelud. Ini terungkap dalam rapat di Kota Batu yang difasilitasi pemerintah provinsi, dua pekan lalu.
Dukungan atas klaim pemerintahnya juga terjadi di sisi ini. Menurut Pipit, ketua rukun tetangga di Dusun Gambaranyar, dusunnya pasti akan lebih sejahtera apabila bisa memiliki akses ke Puncak Kelud. Saat ini, menurut dia, sebagian besar warganya bekerja di perkebunan dengan pangkat rendahan. "Kalau bisa hidup seperti Desa Sugihwaras kan lebih bagus," ujarnya.
Berbeda dengan di lereng menuju puncak Kelud, ketegangan sengketa tak sampai merambat ke ketinggian ribuan meter Gunung Ijen. Ningsih, 35 tahun, warga Kampung Panggungsari, Dusun Jambu, Desa Tamansari, Licin, Banyuwangi, yang merupakan permukiman terdekat dengan Gunung Ijen, menyatakan tak tahu dan tak peduli dengan sengketa.
Buruh pemetik kopi ini yakin, apakah pemerintah Bondowoso berhak atas separuh kawasan Gunung Ijen ataukah pemerintah Banyuwangi yang pantas menguasai seluruhnya, dampaknya sama-sama tak nyata. "Tidak akan berpengaruh pada kehidupan kami juga," tuturnya.
Seperti yang tampak dari perjalanan Tempo pada Ahad dua pekan lalu, rumah-rumah yang ada di kampung itu tak berubah meski telah berlalu puluhan tahun. Sebanyak 22 rumah petak dari bambu yang berderet di antara perkebunan kopi dan cengkeh itu dindingnya bolong-bolong dengan atap seng yang penuh karat. "Rumah ini disediakan pihak kebun," kata Ningsih.
Hanya ada 22 keluarga, termasuk pasangan Ningsih dan Untung, penghuni kampung yang berjarak 10 kilometer dari gunung berapi itu. Selebihnya adalah kendaraan yang lalu-lalang.
Kendaraan ramai melintas menuju dan dari kawasan kawah Ijen, terutama pada akhir pekan dan hari libur. Tapi, ya, hanya melintas. "Ramai atau tidaknya wisatawan, hidup kami tetap begini dari dulu," kata Suraji, 65 tahun, warga lain, buruh pemupuk cengkeh.
Ika Ningtyas, Hari Tri Wasono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo