DALAM waktu kurang dari sebulan, Pertamina telah dikejutkan oleh
dua insiden teknis di proyek-provek LNG Arun dan Badak. Senin, 8
Mei lalu tiga tanki besar penampung minyak mentah di ladang
minyak dan gas bumi Badak, Kalimantan Timur terbakar dan
meledak. Api berkobar sejak jam 9 malam dari tanki-tanki yang
masing-masing berkapasitas di atas 50 ribu ton.
Hingga Selasa sore -- begitu laporan yang diterima Sinar Harapan
dari Balikpapan -- api belum dapat dipadamkan. Pengusaha
lapangan migas Badak, Roy M. Huffington & Co., berusaha keras
melokalisir kobaran api, yang terlihat dari jarak puluhan
kilometer. Beberapa orang pemadam kebakaran yang jadi korban
telah dirawat di RS setempat. Sementara Pertamina maupun Huffco,
belum dapat menjelaskan sumber timbulnya api.
Ganti Rugi Belum Beres
Karuan saja, orang jadi teringat kebakaran besar di ladang
Huffco itu hampir dua tahun yang silam. Kota Samarinda tiba-tiba
kebanjiran pengungsi, setelah ledakan gas bumi jam 3 sore di
sumur G-3, 7 jam pelayaran dari Samarinda. Baru dalam tiga hari,
tinggi obor raksasa itu turun dari 189 meter menjadi 50 meter.
Mudah dimengerti bagaimana penduduk Kecamatan Muara Badak -- ada
yang kampungnya hanya 1 km dari sumber minyak dan gas alam itu
-- buru-buru angkat kaki lantaran tak mau terpanggang
hidup-hidup. Sejak saat itu, 2500 penduduk di sana sudah
berjuang melalui segala lika-liku pemda agar mereka dipindahkan
ke tempat lain dengan ganti rugi yang setimpal.
Namun hingga awal 1978 ini, soal ganti rugi dan pemindahan
penduduk Muara Badak belum juga beres. Ketentuan tahun 1973 yang
diterapkan di daerah Bontang (lokasi pabrik dan pelabuhan
LNG-nya), dipandang tak cocok lagi diterapkan di Badak. Begitu
pula ganti rugi seribu rupiah untuk sebatang pohon nangka, pada
saat harga sebuah nangka saja sudah demikian. Dan sementara
tempat baru ke mana mereka mau dipindahkan hingga kini belum
pasti, sumur-sumur Huffco terus saja menyemburkan minyak mentah
ke ladang dan kebun penduduk. Belum lagi panasnya obor gas alam
yang menyertai minyak, yang dibakar lantaran tak dapat ditampung
terpisah. Makanya, bagi penduduk sendiri musibah yang kini
menimpa Huffco tak banyak melinangkan air mata -- kecuali
lantaran perih dan panas, mungkin. Dan itu semua terjadi tak
cukup sebulan lamanya sesudah Proyek LNG di Aceh disambar petir.
Proyek LNG di kawasan Blang Lancang, Lhok Seumawe (Aceh) untung
saja telah luput dari kebakaran dan ledakan dahsyat, 18 April
lalu. Hari itu, hujan tak begitu deras. Tapi petir menyambar
susul-menyusul. Tiba-tiba, jam 12 siang lewat 30 menit, para
pekerja yang sedang istirahat makan siang diperintahkan
menyingkir ke kawasan Batufat, dua km dari proyek.
Ternyata, satu dari sekian ribu lidah petir yang menyambar telah
menimbulkan api di atas salah satu tanki kondensat. Kebakaran
itu bersumber dari uap kondensat yang bocor dari tutup tanki.
Soalnya, tutup tanki yang dapat turun naik sesuai dengan
sedikit-banyaknya bahan bakar cair dalam tanki itu memungkinkan
sedikit uap kondensat merembes ke luar. Nah, uap yang bercampur
dengan zat asam dalam udara itulah yang jadi sasaran empuk
jilatan lidah petir.
Kegemparan segera menghentikan denyutan rutin di proyek raksasa
itu. Mobil dan truk sarat dengan pekerja harian menyingkir ke
tempat yang aman. Tak terkecuali pekerja asing pontang-panting
dari medan kerjanya. Zainal Abidin, Kordinator Lapangan Proyek
LNG Arun, sudah khawatir kalau tanki yang disambar petir itu
meledak. Dengan muatan « juta ton lebih kondensat dan diameter
73 meter serta tini 38 meter, tanki itu dapat membuat kiamat.
Apalagi di sebelah tanki tersebut, ada satu tanki lainnya yang
juga sarat kondensat, sementara dua tanki lainnya kebetulan
kosong.
Untunglah berkat kesigapan dua pekerja yang berlari menaiki
tangga tanki sembari membawa bom api, uap kondensat yang
disambar petir itu dapat musnah dalam sekejap. Kedua pekerja itu
pun tak sampai cedera. Sehingga akhir April lalu, pekerjaan di
lokasi proyek itu sudah berjalan kembali dengan normal. Tapi
mengingat bahaya besar yang dapat ditimbulkan lagi oleh petir,
lain kali, pihak PT Arun yang menelola pembangunan proyek itu
segera membersihkan sambungan (seal) tutup tanki dengan tubuh
tanki. Juga penangkal petir diperbaiki, agar lebih cermat
melindungi tank dari kemungkinan sambaran petir.
Beberapa staf di proyek itu menduga, sang penangkal tak bekerja
dengan semustinya di siang hari bolong itu. Sebab dengan
teknalogi yang cukup mutakhir tongkat Franklin itu mustinya
cukup ampuh menolak sambaran kilat. Adapun dinding tanki raksasa
itu sendiri tak mempan disambar petir. Dan untungnya api tak
berapa besar, dan uap kondensat itu pun cepat dimusnahkan.
Selain itu, Arifuddin, Kepala Humas PT Arun kepada Darmansyah
dari TEMPO menyatakan tak begitu kecut. Karena yang disambar
petir itu adalah tanki kondensat yang beratap rata. Bukan tanki
gas alam cair (LNG) yang beratap bulat. "Kalau tanki LNG itu
yang disambar, yah, tak tahu bagaimana jadinya," katanya. Namun
dia masih juga optimis, lantaran petunjuk tentang cara-cara
terbaru mengatasi kebakaran LNG selalu diberikan oleh para
produsen peralatan cryogenic (reknologi super dingin) di negara
maju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini