Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggugat Konsep Biaya Sosial Korupsi

Kerugian kasus korupsi minyak goreng tidak hanya dihitung dari besarnya kerugian keuangan negara, tapi juga kerugian akibat korupsi yang dialami masyarakat.

7 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja melakukan pengisian CPO (crude palm oil) pada truk tangki di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 4 Agustus 2022. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kejaksaan Agung menyebutkan angka kerugian akibat kasus korupsi minyak goreng mencapai sekitar Rp 12 triliun.

  • Para ahli menggunakan metode biaya sosial korupsi dalam penghitungan.

  • Penghitungan ini dipersoalkan tim pengacara para terdakwa kasus korupsi minyak goreng.

JAKARTA – Kejaksaan Agung menyebutkan angka kerugian akibat kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya, termasuk minyak goreng, periode 2021-2022 mencapai sekitar Rp 12 triliun. Angka fantastis itu dipersoalkan para terdakwa kasus korupsi minyak goreng yang sidangnya saat ini digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lin Che Wei, salah satu terdakwa kasus tersebut, dalam eksepsinya, mempertanyakan muasal penghitungan kerugian keuangan negara yang didasarkan pada bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 6 triliun untuk membantu masyarakat menghadapi lonjakan harga minyak goreng. Begitu juga dengan penghitungan kerugian perekonomian negara dari penerbitan persetujuan ekspor CPO yang dicantumkan dalam dakwaan sebesar Rp 12,3 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lin Che Wei. TEMPO/Bintari Rahmanita

“Penyaluran BLT itu kebijakan dan bentuk tanggung jawab pemerintah ketika melihat dan merasakan kesulitan masyarakat. Bagaimana hal itu kemudian dianggap sebagai kerugian keuangan negara?" ujar Maqdir Ismail, kuasa hukum Lin Che Wei, dalam sidang eksepsi di Pengadilan Tipikor, Selasa, 6 September 2022.

Maqdir menilai penghitungan kerugian perekonomian negara yang jumlahnya begitu fantastis tidak tepat. Apalagi dalam penghitungannya seolah-olah ekspor CPO beserta produk turunannya sama dengan penjualan produk terlarang. Maqdir menjelaskan, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 sudah menegaskan bahwa penghitungan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam perkara korupsi haruslah nyata dan pasti. “Hitung-hitungan ini membingungkan,” ucap dia.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Tempo, kejaksaan meminta sejumlah ahli ekonomi menghitung kerugian negara dalam perkara korupsi minyak goreng ini. Para ahli itu di antaranya ahli akuntansi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Felix Joni Darjoko; serta doktor lulusan Department of Economics and Related Studies, University of York, Inggris, Rimawan Pradiptyo.

Tempo sempat menanyakan cara penghitungan kerugian negara dalam perkara korupsi tersebut kepada Rimawan. Namun ia enggan menjelaskan. "Sebaiknya ditunggu saja di persidangan," ujarnya.

Dari dokumen yang diperoleh Tempo, para ahli ini menggunakan metode penghitungan kerugian keuangan negara dengan konsepsi biaya sosial korupsi. Metode biaya sosial korupsi merupakan penghitungan yang didasarkan pada besarnya dampak korupsi terhadap perekonomian negara. Biaya sosial korupsi tidak hanya mencakup kerugian keuangan negara (pemerintah), tapi juga kerugian akibat korupsi yang dialami masyarakat dan kerugian akibat korupsi yang dialami dunia usaha.

"Biaya sosial korupsi merupakan besarnya nilai kerusakan yang diakibatkan oleh korupsi terhadap perekonomian dan menjadi beban negara (pemerintah, rumah tangga, serta dunia usaha), dan biaya sosial ini besar kemungkinan mentransmisikan ke generasi mendatang," demikian pernyataan menurut ahli dalam dokumen tersebut.

Kerugian perekonomian negara diperoleh dari total kerugian ekonomi yang ditanggung rumah tangga dan perusahaan. Adapun kerugian keuangan negara dihitung oleh tim Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Para ahli ini menggunakan hasil penghitungan angka pengganda sebagai alat analisis dampak atau kerugian ekonomi dari kelangkaan minyak goreng. Angka pengganda digunakan untuk memperkirakan kerugian ekonomi berdasarkan sifat kerugiannya, yaitu kerugian langsung, kerugian tidak langsung, dan kerugian imbasan.

Jumlah penghitungan dampak ekonomi kelangkaan minyak goreng kemudian didapat dari hasil perkalian antara angka pengganda dan nilai atau volume berkurangnya pasokan minyak goreng akibat kelangkaan di pasar. Efek pengganda yang digunakan adalah angka pengganda output, mengingat pemicu utama (shock) dalam perekonomian adalah langkanya pasokan.

Dengan menggunakan hasil penghitungan efek pengganda itu, para ahli menyimpulkan bahwa dampak ekonomi akibat korupsi minyak goreng yang menjadi beban sektor rumah tangga mencapai Rp 1,35 triliun. Kemudian, dampak ekonomi akibat korupsi minyak goreng yang menjadi beban sektor usaha sebesar Rp 10,96 triliun. Dengan begitu, total dampak korupsi minyak goreng membebani sektor rumah tangga dan dunia usaha sebesar Rp 12,31 triliun.

Selain menggunakan konsep biaya sosial, para ahli ini menghitung keuntungan ilegal kasus korupsi minyak goreng. Kerugian ilegal ini dihitung selama periode pelaksanaan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan persetujuan ekspor pada 15 Februari hingga 30 Maret 2022. DMO merupakan batas wajib pasok yang mengharuskan produsen minyak sawit memenuhi stok dalam negeri sesuai dengan ketentuan.

Konsumen mengambil minyak goreng curah ukuran 0,5 kilogram di Pasar Sehat Cihapit, Bandung, Jawa Barat, 23 Maret 2022. TEMPO/Prima Mulia

Sebab, para ahli ini menilai, sejak pemerintah mengatur persetujuan ekspor dengan mensyaratkan pada DMO dan DPO (domestic price obligation) atau kebijakan harga yang ditetapkan, kelangkaan minyak goreng makin parah. Dampaknya, antrean masyarakat untuk membeli minyak goreng terjadi di berbagai daerah. Berbagai bukti dalam berita acara pemeriksaan menunjukkan realisasi penyaluran DMO lebih rendah daripada kewajiban perusahaan.

Hal tersebut karena kebijakan Kementerian Perdagangan cuma mensyaratkan perusahaan memberikan bukti distribusi minyak goreng secara administratif hanya pada distributor tingkat satu. Distribusi penyaluran tidak dipastikan mengalir hingga pengecer yang langsung berhubungan dengan rumah tangga.

Menurut penghitungan para ahli, total realisasi kekurangan DMO yang seharusnya disalurkan oleh perusahaan ke tingkat pengecer adalah 338.836.885 liter. Harga rata-rata minyak goreng di pasar internasional pada Februari hingga Maret 2022 adalah US$ 1.628 per ton atau senilai Rp 23.609.523 (kurs US$ 1 setara dengan Rp 14.500).

Harga per liter minyak goreng di tingkat internasional adalah (Rp 23.609.523/1.100) Rp 21.463 per liter. Sementara itu, harga rata-rata minyak goreng di pasar domestik pada periode Februari-Maret 2022 adalah Rp 14.250 per liter. Dengan demikian, terdapat selisih antara harga di pasar internasional dan harga domestik untuk minyak goreng sebesar Rp 7.213 per liter.

Selisih harga ini lalu dikalikan dengan total kekurangan DMO setiap perusahaan terkait, dengan total kekurangan DMO sebesar 338.836.885 liter. Inilah penghitungan nilai keuntungan ilegal yang diperoleh perusahaan-perusahaan karena sengaja tidak menyalurkan minyak goreng hingga ke tingkat pengecer, yang jumlahnya mencapai Rp 2,4 triliun. Seluruh keuntungan ilegal ini harus dirampas oleh negara.

Penghitungan kerugian keuangan negara dengan metode konsepsi biaya sosial korupsi juga diidentifikasi sebagai akibat langsung dari terjadinya dugaan penyimpangan dalam bentuk penyalahgunaan fasilitas persetujuan ekspor produk CPO dan produk turunannya dengan memanipulasi pemenuhan persyaratan DMO/DPO.

Kerugian yang dihitung mencakup beban yang diderita sektor rumah tangga, dunia usaha, dan pemerintah. Kerugian tersebut harus ditanggung lantaran kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. Secara nyata, menurut para ahli, kerugian keuangan negara adalah beban yang terpaksa ditanggung pemerintah dalam bentuk penyaluran BLT. Besaran bantuan tersebut untuk meminimalkan beban 20,5 juta rumah tangga yang tidak mampu akibat kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng.

Dengan demikian, para ahli menyimpulkan total kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi minyak goreng ini sebesar realisasi penyaluran BLT minyak goreng yang sudah diterima sasaran, yaitu keluarga penerima manfaat (KPM), sebesar Rp 6,047 triliun.

DEWI NURITA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus