SUBEKTI Ismaun tak mudah lagi dijumpai di Enteos Club, Jakarta, seperti hari-hari sebelumnya. Bekas Direktur Utama (dirut) Bapindo yang menjadi chairman klub eksekutif di Gedung BRI, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta itu, sejak meletus kasus Eddy Tansil, seperti pindah rumah ke "jalanan". Tiap hari dia berkeliling. "Saya merasa dituduh sebagai pelaku kriminal yang menggelapkan uang negara sekian triliun. Saya merasa tak aman," kata lulusan FE UI yang berkarier di Bapindo sejak 1963 ini. Yang juga dirasanya berat: wartawan terus mengejarnya. Itu tak aneh. Setelah Pengusaha Eddy Tansil dan kemudian bekas Wakil Kepala Bapindo Cabang Jakarta Maman Suparman ditahan Kejaksaan Agung, orang pun menunggu pertanggungjawaban Subekti Ismaun. Dialah direktur utama bank pemerintah itu ketika akad kredit ratusan miliar rupiah untuk Eddy Tansil disetujui. Orang pun ingin mendengar suaranya, tapi ia mengelak bertemu dengan wartawan. Ketika TEMPO mengontaknya, pertemuan pun diatur mirip film All The President's Men. TEMPO harus menunggu di suatu tempat, dan di sana, tempat wawancara akan ditentukan. Akhirnya, Rabu pekan lalu, wawancara berlangsung di sebuah taman yang sepi di kawasan Jakarta Pusat, sambil lesehan. Ini, tampaknya, merupakan wawancara khusus pertama yang diberikan Subekti kepada wartawan, setelah kasus Eddy Tansil meletus. "Terus terang saya malu bertemu di sini. Apa boleh buat, Dik, ini soal keselamatan," kata orang Yogyakarta yang kini 55 tahun dan ayah empat anak itu. Toh guyonnya tetap segar. Dia berseloroh soal iklan Bapindo di TV swasta, seorang gadis manis berkata: Apa bisa saya bantu? "Sekarang cocoknya gadis itu berkata: 'Apa bisa saya banting?'," ujarnya tertawa getir. Upaya membangun citra Bapindo, prioritas kerjanya sebagai direktur utama bank itu dari tahun 1986 sampai 1992, kini terasa sia-sia. Kasus Eddy Tansil meremuk-redamkan segalanya. Padahal, andil Ketua Umum Ikatan Akuntan Indonesia ini tak dapat dikatakan kecil di Bapindo. Pada 1977, dia menjabat kepala keuangan dan akuntansi. Pada 1980, ia raih pangkat direktur yang membidangi urusan luar Jawa dan kredit maritim. Dan pada Januari 1986, Menteri Keuangan Radius Prawiro melantiknya sebagai direktur utama, menggantikan Ir. Kuntoadji. Ujian pertama datang cukup berat. Bapindo, yang banyak mengucurkan kredit di bidang maritim, mendapat pukulan hebat, sejak awal 1980-an. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, ekspor kayu gelondongan dilarang. "Kapal log carrier yang dibeli dengan kredit Bapindo terbengkalai dan jadi besi tua karena tak bisa dipakai," ujarnya mengenang masa sulit itu. Brankas Bapindo pada masa awal itu juga tak menggembirakan. Bank itu dalam kondisi rugi sekitar Rp 700 juta tahun itu. Asetnya tercatat hanya Rp 1,4 triliun. "Maka, sasaran saya adalah menyehatkan kondisi Bapindo dan menghapus citra Bapindo sebagai bank yang lamban," ujarnya. Kredit dikucurkan dan prosedur pemberiannya dipersingkat. Toh dia kena getah: dituduh lebih miring ke pengusaha nonpri. "Pernah saya disarankan oleh seorang pejabat Departemen Keuangan untuk membantu seorang pengusaha pribumi terkenal. Ternyata, setelah saya selidiki, dia punya kredit macet Rp 400 miliar. La, saya mau bilang apa?" kata Subekti. Kendati dikritik, dia jalan terus. Dan aset serta laba Bapindo pun makin menggelembung. Pada akhir masa jabatan pertamanya, tahun 1990, aset bank itu tercatat Rp 6,7 triliun. Dan pada akhir masa jabatannya yang kedua, Agustus 1992, aset Bapindo menjadi Rp 11,4 triliun, dengan laba Rp 130 miliar. Bahkan, pada 1989, Bapindo mendapat penghargaan: menduduki peringkat ke-9 sebagai perusahaan pembayar pajak. Pada Januari 1991, Menteri Keuangan Sumarlin memperpanjang masa jabatan bankir yang pintar menyanyi ini. Sebagai bankir dia memang kerap tampil flamboyan, berjas, berdasi, sepatu Bally, dengan kacamata Gucci. Tapi dia menolak kalau disebut royal. "Wah, dalam bahasa Yogya kan pengertiannya jadi lain, bisa repot saya," ka-tanya tertawa. Ada kegemarannya yang aneh: naik turun bus kota, sekalipun sudah menjadi orang nomor satu di Bapindo. Setelah melepas jas dan dasi, sesekali Subekti menyelinap di antara penumpang bus kota. Mengapa dia sampai terjeblos kredit Golden Key? Konon, kata orang dekat Subekti, bankir ini mendapat "tekanan" dari atas. Betulkah? Berikut penuturan Subekti Ismaun kepada Iwan Qodar Himawan, Putut Trihusodo, dan Toriq Hadad dari TEMPO: Kelihatannya Anda agak kurus? Iya nih, sudah turun dua kilo. Di samping lagi banyak pikiran, juga lagi puasa. Tapi saya masih bersyukur masih bisa tidur. Semalam saya tidur cukup nyenyak. Setelah diperiksa kejaksaan, Anda kan sudah cukup tenang. Ya..., dengan kejaksaan sih pikiran saya sekarang agak tenang. Saya yakin, memang saya telah menjelaskan sebenar- benarnya tentang Golden Key yang sedang ramai ini. Tapi, ya, tidak bisa tenang betul. Soalnya, saya merasa saya ini kok seperti dianggap pelaku kriminal yang merugikan duit negara sekian triliun. Saya itu merasa seolah-olah semua orang menunjuk saya, sehingga saya ini rasanya kalau berjalan pun seperti harus menunduk. Saya merasakan betapa besar pengaruh media massa. Dia tak hanya bisa membuat orang terpojok, tapi juga membuat orang merasa tidak aman. Berapa kali Anda sudah memberikan kesaksian? Ya, baru sekali. Itu pun sebenarnya belum pakai surat pemanggilan. Saya mendapat informasi bahwa Jaksa Agung Muda Pidana Khusus A. Soetomo ingin ketemu saya. Maka, saya pun menghubungi Pak Tomo. Itulah sebabnya kemudian saya datang ke Kejaksaan Agung (Subekti ke Kejaksaan Agung, Kamis dua pekan lalu, sekitar pukul 14.40. -- Red.). Apa status Anda? Saya dipanggil untuk dimintai keterangan. Mula-mula dengan Pak Tomo. Pertanyaan adalah seputar wewenang saya selaku direktur utama dan prosedur pemberian kredit. Saya juga ditanya sampai sejauh mana perkenalan saya dengan Eddy Tansil. Tapi baru bicara sebentar, Pak Tomo bilang, ia ada rapat dengan Jaksa Agung. Pemeriksaan pun dilanjutkan ke ruang lain, dengan jaksa yang berbeda. Waktu pindah itulah saya dikeroyok wartawan. Waduh, saya diuyel-uyel kiri kanan. Dan kesel saya, mereka itu bukan pada bertanya, tapi berlomba-lomba memberi pernyataan.... Apakah Anda sudah diperiksa lagi? Belum. Sebenarnya sejauh mana Anda terlibat dalam kasus Golden Key (GK)? Sebagai direktur utama, saya terbatas pada mengikuti rapat direksi untuk memutuskan kredit Golden Key. Pelaksanaan selanjutnya diserahkan ke tingkat direktur dan pembantu- pembantunya. Saya benar-benar nggak tahu, kok. Tapi memang betul bahwa saya secara moral bertanggung jawab. It's my moral obligation. Kalau begitu, mengapa Anda harus bersiap-siap? Lo, ya harus, dong. Ini kan seperti suatu kapal besar yang pecah, kemungkinan banyak penumpang yang mempersiapkan diri dengan mencari pelampung. Masing-masing mencari keselamatannya sendiri. La, seperti penumpang lain, saya pun juga harus mempersiapkan pelampung itu. Ada tuduhan Bapindo ini cenderung memberi kredit pada pengusaha nonpri? Ini memang persoalan yang selama ini jadi perbincangan. Saya ini kan dituduh terlalu dekat dengan pengusaha keturunan Cina. Pro Cina, pro nonpri. Kalau saya akrab dengan mereka, ini merupakan konsekuensi dari konsep kemitraan. Kami mendudukkan bank dan nasabahnya sebagai dua mitra yang sejajar. Jadi, tidak mentang-mentang dibutuhkan lalu banknya nggaya. Kebetulan dari nasabah itu banyak yang nonpri. Itu kenyatannnya. Ya, mau bilang apa? Anda ikut terlibat mengucurkan kredit GK ini? Demi Allah, saya tidak terlibat sampai detail. Kalau GK ini saya hanya kasih disposisi permohonan kreditnya. Sebagai direktur utama memang tugas saya tidak mengurusi soal kredit. Tugas saya adalah merencanakan sumber daya manusia, biro direksi, dan pengawasan. Dan proposal Eddy Tansil ini saya anggap bagus. Dia punya dana untuk menyetorkan 35% modal. Dalam hal skema keuangan pun juga bagus. Pembelian mesin dilakukan dengan usance L/C dua tahun, dan syaratnya adalah turn key (proyek selesai dan jalan, baru dibayar). Artinya, kalau proyek ini belum selesai setelah dua tahun, Bapindo tetap baru membayar setelah selesai. Jadi, L/C yang kami buka itu sebetulnya sangat aman. Yang Pusaka Warna (maksudnya PT Pusaka Warna, salah satu perusahaan Eddy Tansil) malah lebih canggih. Disebut, waktu supplier memperoleh dana, dana itu harus segera dimasukkan ke rekening deposito di Bapindo Hong Kong. Dana hanya boleh ditarik setelah Eddy Tansil bayar utang. Jadi, duitnya mengendap cukup lama, dan, kalau Tansil mengundurkan pembayaran, Bapindo akan memper-panjang masa jatuh tempo deposito tersebut. Jadi, Bapindo tak mungkin rugi dengan sistem turn key ini. Tapi kemudian timbul persoalan. Ini yang memang menimbulkan heboh. Anda perlu tahu bahwa direktur utama tak terlibat dalam pelaksanaan kredit. Soal kredit yang sudah disetujui hanya akan dibicarakan dalam rapat direksi kalau menyangkut rescheduling, penambahan modal baru, restrukturisasi. Kalau sudah jalan, ya sudah. Saya berpedoman, no report, it means everything is running well. Dalam perjanjian kredit dengan Bapindo itu disebutkan bahwa yang akan menjadi benefeciary adalah Sinopec dan Lucky Goldstar. Tapi ternyata diubah ke Golden Step Development. Malah katanya usance L/C diubah menjadi red clause. Ini hal yang aneh. Betul-betul aneh. Sebab, menurut aturan baku Bapindo, hal ini merupakan hal yang prinsip. Siapa pun yang sudah bekerja di Bapindo beberapa tahun tahu, tak mungkin mengubah isi materi suatu kontrak. Yang disebut materi misalnya benefeciary. Kalau ini sampai diubah, berarti kontraknya saja sekalian baru. Kalau perubahan usance ke red clause, kelihatannya sebagai tindak lanjut yang sudah disiapkan Eddy Tansil. Apa yang melenceng dari prosedur itu? Dalam kasus Bapindo ini yang berat adalah sebelumnya ada perubahan benefeciary. Jadi, materi kontrak diubah tanpa ada perubahan kontrak. Ini aneh. Tidak mungkin, tapi menjadi mungkin karena ternyata ada. Cabang Jakarta yang diwakili Suparman harusnya tahu bahwa hal seperti ini tak boleh. Apalagi dia ini akuntan. Tapi dia ini orangnya pekerja keras dan berani. Dia selalu mendidik anak buahnya untuk berani ambil keputusan. Kenapa Wakil Kepala Cabang Suparman yang kena, bagaimana kepala cabangnya? Saya baru tahu bahwa kepala cabang melepaskan semua urusan ke Suparman. Jadi, Suparman yang disuruh mengurusi semua persoalan. Kalau tahu begitu, kan sejak dulu dia saya tegur. Dengan pemberian kredit sebesar ini, apakah tidak melanggar legal lending limit? Rasanya, waktu itu tidak melanggar. Sebab dalam usulan Tim Kredit telah dilaporkan masalah legal lending limit (L-3) ini. Pengertian L-3 harus dilihat dalam konteks beban yang harus dipikul Bapindo sendiri. Sebab kredit besar ini dibiayai secara sindikasi. Kalau tak ada sindikasi, jelas Bapindo belum mau memberi persetujuan. Waktu itu dilaporkan, kredit yang diberikan baru sekitar 67 persen dari plafon L-3 Bapindo. Mengapa sindikasi akhirnya tak jalan? Sebenarnya, sindikasi itu sudah diasese oleh bank-bank peserta meskipun untuk mengatur dalam perjanjian membutuhkan waktu. Karena semula konsep pembiayaan adalah turn key dan usance L/C dua tahun, maka dianggap pelaksanaan sindikasinya bisa menunggu menjelang L/C tersebut cair. Selanjutnya, karena ada masalah, bank lain lepas tangan. Bapindo menanggung sendiri dananya. Anda tahu ada persoalan kredit itu sejak kapan? Kantor besar (istilah untuk kantor pusat) baru tahu April 1992. Waktu itu ada informasi bahwa Bapindo harus membayar US$ 8 juta B/A (bank acceptance, semacam "wesel") yang jatuh tempo. Yang duluan curiga ada yang tak beres adalah Urusan Pengawasan yang memberi tahu direktur kredit dan tembusannya ke meja saya. Setelah diselidiki, ternyata B/A yang sudah diakseptasi (dicairkan) adalah US$ 208 juta. Artinya, selama dua tahun, kantor besar sama sekali tak dilapori. Waktu itu, saya belum tahu bahwa ada perubahan benefeciary. Saya kan tahu soal ini akhir-akhir ini saja, setelah muncul kasus. Anda kirim memo. Lalu apa jawabannya? Begini. Setelah tercium adanya kasus itu, lalu bagian pengawasan membuat tim investigasi, dibentuk minggu ketiga April 1992. Tim ini yang akhirnya mengeluarkan laporan tersebut. Laporan masuk akhir April 1992. Lalu saya membuat disposisi, kalau tak salah, ke Direktur I (Bambang Kuntjoro) dan Direktur IV (Towil Heryoto). Untuk diketahui, Direktur IV adalah wakil direktur utama dalam bidang pengawasan. Disposisi saya isinya: teliti dan laporkan kredit Golden Key. Bambang Kuntjoro membentuk tim, yang dipimpin Pak Machwi, Ketua Tim Asisten Direksi. Sebulan tim ini bekerja. Dan pada akhir Mei 1992, dia kirim laporan ke Bambang Kuntjoro. Temuannya: memang benar ada masalah. Bambang rupanya berusaha sendiri untuk mencari informasi lebih jauh tentang kasus tadi. Anda tak menagih laporan memo Anda pada Direktur Bambang Kuntjoro? Saya kan nggak ingat. Dalam satu hari saya bisa mengeluarkan puluhan disposisi. Jadi, tak ingat satu per satu. Tapi, saya ingat, saya pernah bertanya pada sekretaris saya, kok rasanya ada satu memo yang belum ditanggapi. Dia mengingatkan, itu sedang digarap oleh asisten direksi. Kapan soal laporan Bambang Kuntjoro itu dibicarakan? Dalam suatu rapat direksi 16 Juni 1992. Waktu itu saya tak datang karena cuti akan mantu. Anak saya perempuan melaksanakan ijab pada 21 Juni 1992. Rapat berikutnya, 23 Juni 1992, saya juga tak datang karena lagi disibukkan pesta perkawinan itu. Rapat berikutnya, 30 Juni, saya ada perlu di Denpasar. Praktis Juni-Juli saya tak berada di kantor. Apakah Anda tidak mendapat laporan (notulen) hasil rapat? Dapat, tapi yang namanya hasil rapat itu baru sampai ke tiap- tiap direksi dua sampai tiga minggu sesudahnya. Saya terutama membaca yang berkaitan dengan tugas utama direktur utama yaitu urusan personalia. Waktu Anda meninggalkan Bapindo, berapa duit Bapindo yang sudah dicairkan Eddy Tansil? Setahu saya, setelah membaca berita, B/A yang telah diterbitkan kurang lebih US$ 200 juta. Setelah itu saya diganti Syahrizal sebagai Dirut Bapindo. Saya kurang tahu berapa lagi B/A yang sudah diterbitkan Bapindo untuk Eddy Tansil. Bagaimana sebaiknya kasus GK diselesaikan? Saya kira sewajarnya penyelamatan kredit ini dilakukan hati- hati. Proyeknya biarkan tetap berjalan dan tak perlu dikatakan macet. Dengan cara sekarang ini, bisa-bisa kehilangan negara malah besar. Bagaimana seharusnya? Kan masih banyak cara yang bisa dilakukan. Misalnya dengan rescheduling proyek atau restrukturisasi utang. Bisa juga diterjunkan sebuah tim untuk melaksanakan proyek tersebut, sementara Eddy Tansil diistirahatkan, dinonaktifkan. Dalam proses itu, semua proyek diaudit. Jadi, tidak dengan main tembak, belum apa-apa dikatakan proyeknya sudah macet. Kabarnya, Anda pernah meninjau proyek PT Hamparan Rejeki bersama Pak Domo dengan helikopter? Ah, itu kata koran. Itu ndak benar. Ceritanya begini. Saya suatu saat ngomong sama Eddy Tansil: "Ed, saya ingin lihat pabrik kamu." Dia jawab, "Wah, kebetulan ini, Pak. Pak Domo juga mau lihat." Akhirnya disepakati untuk lihat bareng. Saya dan Eddy kumpul di kantor Menko Polkam. Kemudian dari situ naik Volvo 740 dikawal sirene ke Halim. Dari situ naik helikopter ke Cibinong untuk melihat pabrik moulding (cetakan logam). Saya kan belum pernah lihat pabrik moulding. Jadi, ke Cibinong, bukan ke Cilegon. Jadi, Anda yakin sekali tak akan terseret dalam kasus ini? Saya tak pernah melakukan tindak pidana apa pun. Secara moral, memang saya harus merasa kecewa dengan keadaan ini setelah sejak 1963 saya mengabdi di Bapindo. Ada yang bilang Anda ini punya kartu As, apa itu? Itu kan omongan di koran yang mengutip seorang anggota Dewan. Saya tak pernah merasa punya kartu As atau punya informasi yang harus saya sembunyikan. Semua sudah saya jelaskan pada Pak Soetomo (maksudnya Jaksa Agung Muda A. Soetomo). Apa betul Sudomo dan Sumarlin terlibat dalam kasus ini? Pak Domo memang memberi rekomendasi. Dan Pak Marlin mendorong terbentuknya sindikasi bank-bank pemerintah dalam kasus ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini