Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengadili sudomo di jalan-jalan

Aksi unjuk rasa marak di beberapa kota. mereka menuntut ketua DPA sudomo dan ketua BPK sumarlin mengundurkan diri. keduanya dianggap berkolusi dengan eddy tansil, menyebabkan kredit macet rp 1,3 triliun

5 Maret 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI gedung bundar Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta, dua tersangka, Eddy Tansil dan Maman Suparman, sedang menjalani pemeriksaan. Belum jelas kapan mereka diadili. Pengadilan kasus bobolnya Bapindo justru sedang berlangsung di jalanan. Yang menjadi tersangka adalah Ketua DPA Sudomo dan Ketua BPK Sumarlin. Aksi unjuk rasa yang marak di beberapa kota, belakangan ini, menghujat nama kedua pejabat tinggi itu. Mereka berdua tampaknya sudah divonis tanpa melalui pemeriksaan. Sudomo dianggap bersalah karena mengeluarkan katebelece untuk Eddy Tanzil. Sedangkan Sumarlin, yang menjadi menteri keuangan ketika kredit itu diajukan, dianggap dekat dengan Eddy Tansil, dan ikut bertanggung jawab. Lihat saja aksi 1.500 mahasiswa Yogyakarta yang menamakan dirinya Gerakan Pengembalian Uang Rakyat (GPUR). Hari Ahad pekan lalu, mereka menggelar "Aksi Anti Kredit Kolusi". Poster yang mereka gelar menghujat Sudomo, misalnya: "Dua Ribu Desa Miskin akibat Ulahmu, Sudomo", "Jaksa Agung, Mejahijaukan Sudomo dan Eddy Tansil", "Rakyat Asongan Juga Perlu Katebelece". Kesalahan Sudomo, menurut Anies Baswedan, demonstran yang mahasiswa UGM, karena memberikan katebelece untuk Eddy Tansil. "Katebelece dari pejabat tinggi seperti Sudomo sama artinya dengan perintah. Subekti Ismaun tak akan mampu menghadang kekuasaan Sudomo. Sumarlin juga bertanggung jawab. Tapi kesalahan terbesar ada pada Sudomo," kata Anies. Karena itu, dalam pernyataan sikap, GPUR minta Sudomo mundur, agar proses penyidikan terhadap kasus kredit macet ini berjalan lancar. Esok harinya, 20 mahasiswa Jakarta, yang menamakan dirinya Komite Penyelamat Harta Negara (KPHN), menggelar aksi serupa di Kejaksaan Agung. Poster mereka juga menyerang Sudomo. Dalam mimbar bebas, nama Ketua DPA itu juga dicela. "Siapa yang menggelar operasi esok penuh harapan, yang berakhir tanpa harapan?" teriak salah satu mahasiswa. "Sudomo...," jawab yang lain serempak. "Dalam kasus Bapindo, apa yang sebaiknya dilakukan?" tanya mahasiswa tadi. "Seret Sudomo ke pengadilan," jawab yang lainnya. Pada hari yang sama, aksi menentang kolusi juga terjadi di Pekanbaru dan Cianjur. Di Pekanbaru, sekitar 100 mahasiswa anggota Komite Mahasiswa Riau Anti Kolusi dan Korupsi (KMRAKDK) juga membuat mimbar bebas di kampus Universitas Riau. Sejak awal, mereka sudah menghantam katebelece yang dibuat Sudomo. Di tengah mimbar bebas, seorang mahasiswa membacakan tuntutan, mendesak agar Sudomo dan J.B. Sumarlin mundur dari jabatannya. "Jika keduanya tak mau mundur atau Presiden tak mau memecatnya, kami akan mengajukan tuntutan ke Kejaksaan Agung," kata mereka. Di Cianjur, 15 pemuda anggota Gerakan Anti Korupsi dan Kolusi (Gak-Gak) mendatangi DPRD Cianjur untuk meminta pertanggungjawaban Sudomo. Kota Malang tak mau ketinggalan. Rabu pekan lalu, 30 mahasiswa yang tergabung dalam Semangat Aksi Mahasiswa Malang Penyelamat Uang Negara (SAMMPUR) menggelar unjuk rasa di depan gedung DPRD Kodya. Singkatan SDSB pun mereka pelesetkan menjadi Sudomo Dicopot Semua Bahagia. Gerakan anti Sudomo dan Sumarlin bergema sampai di Ujungpandang. Selasa pekan lalu, sekitar 500 mahasiswa Ujungpandang yang tergabung dalam Forum Diskusi Tamalanrea (FDT) menggelar mimbar bebas di kampus Universitas Hasanuddin. Ada tiga pejabat negara yang dihujat dalam mimbar ini, yaitu Sudomo, Sumarlin, dan Adrianus Mooy. Tapi hujatan kepada Sudomo tampak lebih banyak. Mereka menuntut kekayaan Sudomo diperiksa dan diusut. Sudomo juga diminta meletakkan jabatannya sebagai Ketua DPA. "Kalau ketuanya sudah berbuat hal tercela seperti itu, pertimbangan apa lagi yang bisa dia berikan kepada Presiden," kata Salahuddin Alam, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, kepada wartawan TEMPO Sukriansyah. Dua hari kemudian, 50 mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ujungpandang, yang menamakan diri "Aksi Massa Anti Penggelapan Uang Rakyat (AMAPUR), beraksi. Mereka melakukan unjuk rasa di depan gedung DPRD Sulawesi Selatan. "Referensi Sudomo secara yuridis formal melanggar etika administrasi negara, dan secara yuridis materiil merupakan pemerosotan wibawa pemerintahan negara. Keduanya berarti merosotnya wibawa hukum dan penyalahgunaan kekuasaan," kata Andi Buana Raja, juru bicara kelompok ini. Akibat aksi mereka, sidang APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang sedang berlangsung terpaksa ditunda. "Rapat APBD kami tunda untuk menyambut Adik-Adik. Rencana APBD yang berjumlah Rp 156 miliar memang sangat kecil dibandingkan jumlah kredit yang bermasalah itu," kata Wakil Ketua DPRD, Nurdin Mappewali. Sudomo, yang biasanya cuek, kini tampak hati-hati kepada wartawan. Ia tak mau memberi banyak komentar. "Saya tak perlu menjawab. Sudah saya katakan saya bersedia diperiksa. Perkataan saya itu bukan main-main, lo," katanya. Tapi sampai pekan lalu, pihak Kejaksaan Agung belum merasa perlu memanggil bekas pangkopkamtib ini.Bambang Sujatmoko, Kukuh Karsadi (Jakarta), dan Widjajanto (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum