BOBOLNYA kredit besar Bapindo tentu tak terjadi begitu saja. Sepandai-pandainya Pengusaha Eddy Tansil menjala kredit dari Bapindo, yang mudah cair itu -- seperti yang didakwakan juru periksa Kejaksaan Agung -- tidaklah terlepas dari permainan orang dalam juga. Kalau memang benar begitu, menjadi pertanyaan besar: siapa saja direktur atau pejabat Bapindo yang, langsung maupun tidak, telah ikut terlibat? Ini tentu akan lebih jelas kalau kasusnya nanti masuk ke pengadilan. Hatta, para pengamatpun mulai bicara soal "kolusi" alias hubungan intim antara pengusaha dan penguasa. Tapi mudahkah itu dibuktikan? "Yang namanya kolusi itu sulit diungkapkan. Bisa terasa, tapi tak terdata," kata Christianto Wibisono. Sebuah kolusi, kata pengamat yang tergolong vokal ini, baru akan terbongkar jika ada kepentingan politik di belakangnya. Ia memberikan contoh ketika kasus pengusaha Endang Wijaya terungkap pada akhir tahun 1970-an. Ketika itu, menurut Christianto, ada kepentingan politik untuk "menembak" Gubernur Ali Sadikin. Kini, dengan kasus Eddy Tansil, "Tampaknya, yang akan digebuk adalah Sudomo dan Sumarlin," kata Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia itu. Terbongkarnya kasus Endang Wijaya, yang lebih dikenal sebagai A Tjay, ketika itu memang ramai diberitakan oleh berbagai media. Pengusaha real estate di kawasan mahal di Pluit, Jakarta Utara, itu dituduh memperoleh kredit dari Bank Bumi Daya (BBD) sebesar Rp 13 miliar -- berikut bunganya menjadi Rp 18,6 miliar -- dengan cara tak wajar. Jumlah itu memang tak berarti bila dibandingkan dengan kredit magol Golden Key Group, yang berikut bunganya kini mencapai Rp 1,3 triliun. Tapi, akibatnya, sejumlah pejabat, seperti Wali Kota Jakarta Utara, Dwinanto, dan pejabat BBD, Natalegawa, ikut terseret. Persidangannya memakan waktu sampai dua tahun. Akhirnya, Juli 1981, Endang Wijaya divonis 10 tahun penjara oleh hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia dipersalahkan melakukan serangkaian pemalsuan dan menyuap pejabat negara. Menurut Ali Sadikin, sebenarnya yang hendak dicari oleh yang ingin menjatuhkannya adalah kemungkinan dia menerima pemberian ilegal dari Endang Wijaya. Bila itu benar terbukti, tak ayal lagi, Bang Ali pun bisa jadi akan berurusan dengan pengadilan. Sekalipun begitu, unsur yang disebut sebagai kolusi juga terungkap ketika itu, sebatas Wali Kota Jakarta Utara dan pejabat BBD yang akhirnya berhadapan dengan meja hijau. Namun, Pemerintah waktu itu tak pusing menyelamatkan uang BBD. Soalnya, aset Endang Wijaya ternyata jauh lebih besar daripada kerugian yang diderita oleh BBD. Kekayaan A Tjay ketika itu ditaksir sekitar Rp 28 miliar, sedangkan kredit berikut bunga yang harus ditanggung pengusaha itu hanya Rp 18,6 miliar. Adapun dalam kasus Bapindo, memang agak sulit dipercaya bahwa Eddy Tansil memiliki kekayaan senilai US$ 430 juta. Lagi pula, belum jelas betul adakah unsur politik di balik kasus Eddy Tansil, seperti kata Chris tadi. Siapa lawan politik yang bermaksud menggebuk Sumarlin dan Sudomo, wallahualam. Tapi, yang penting, seperti kata Kepala Bakin Sudibyo, janganlah sampai terjebak ke dalam soal SARA. Melacak adanya kolusi, seperti kata pengamat Kwik Kian Gie, agaknya jauh lebih mudah. "Lihat saja data pajak yang dimiliki seorang pengusaha," kata Kwik Kian Gie. "Misalnya, ada seorang pengusaha yang mendapat kredit Rp 1,5 triliun. Untuk mendapatkan kredit sebesar ini, berarti si pengusaha -- sesuai dengan aturan main perbankan -- setidaknya harus memiliki ekuiti 10 persen dari nilai kreditnya." Jadi, menurut Kwik, pengusaha tadi harus punya modal awal Rp 150 miliar. Uang sebesar itu tentu merupakan penghasilannya yang dikumpulkan selama beberapa waktu. Nah, "Lihat, apakah pajak yang dibayarnya menunjukkan dia punya uang sebesar itu," katanya. Kalau pajak yang dia bayar setiap tahunnya kecil tapi kemudian ia mendadak memperoleh kredit besar, tampaknya ada dua kemungkinan yang terjadi: petugas pajak telah terkecoh, atau modal sendiri (capital equity) yang diajukan si pengusaha ke bank sudah diutak-atik alias disulap menjadi besar. Tapi, kalau modal sendiri ini direkayasa, "Apakah pejabat bank begitu bodohnya hingga gampang dikibuli?" tanya Kwik. Alhasil, kalau toh permintaan kredit tetap diloloskan, Kwik pun merasa yakin, "Itu pasti karena ada unsur kolusi." Alhasil, menurut Kwik, siasat inilah yang mungkin telah digunakan Eddy Tansil. Praktek "tahu sama tahu" antara pengusaha dan pejabat tak hanya di dunia perbankan. Malah ada proyek penting yang kini tampak berantakan gara-gara ulah kolusi. Lihat saja pembangunan terminal bus Kampung Rambutan di Jakarta Timur, yang sekarang bak kubangan itu. Awal tahun lalu, Gubernur Surjadi Soedirdja menindak 20 pejabat DKI Jaya yang terlibat penyimpangan bestek dalam proyek senilai Rp 8,6 miliar itu.Ahmed Kurnia Soeriawidjaja, Bambang Aji Setiady, dan G. Sugrahetty Dyan K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini