DENGAN menyandang megafon, anak muda itu berdiri gagah di arena mimbar bebas, Jumat siang pekan lalu. Ia menjadi titik perhatian pada atraksi unjuk rasa Apel Keprihatinan Moral, yang menggugat kredit yang meledak di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), di pelataran parkir kampus ITS, Surabaya. "Gempa di Lampung tak seberapa dibandingkan bencana Bapindo," pekiknya. Ia lalu mengutip berita koran tentang gempa di Lampung, dua pekan silam, yang katanya menimbulkan kerugian materi Rp 50 miliar. Ia bandingkan jumlah itu dengan Rp 1,3 triliun kredit Bapindo yang raib. "Bayangkan, betapa dasyatnya musibah Bapindo itu kalau kita kurs ke dalam satuan gempa bumi atau bencana alam," teriaknya. Membandingkan gempa dengan kredit bermasalah itu cuma sindiran. Di balik itu, tampak ada kerisauan banyak orang tentang kolusi, persekutuan antara pengusaha dan pejabat. Praktek kolusi itu, seperti yang terjadi pada kasus Bapindo, membuat brankas negara bobol. Situasi ini memancing mahasiswa di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Pekanbaru, Ujungpandang, bahkan Cianjur, untuk melakukan unjuk rasa. Laksamana (Pur.) Sudomo, yang kini Ketua DPA, dan Ketua BPK Sumarlin tak urung menjadi sasaran. Ratusan komentar pedas menerpa mereka pula lewat harian sore Terbit, yang membuka kolom khusus untuk menampung unek-unek pembaca. "Saya mau katebelece, Pak, berapa komisinya," tulis salah satu komentar di koran itu. Jelas, yang dituju oleh si penulis itu adalah Sudomo, tokoh yang sebenarnya santai dan suka humor. Kasus kredit Bapindo itu sendiri telah dua pekan ditangani Kejaksaan Agung. Tak kurang dari selusin orang telah diperiksa. Dua tersangka ditahan, yakni bos Golden Key Group Eddy Tansil, dan Maman Suparman, bekas Wakil Kepala Cabang Utama Bapindo Cabang Kuningan, Jakarta. Penyidikan itu mulai menunjukkan hasil. "Eddy Tansil sudah bisa dijerat dengan pasal korupsi," ujar sumber TEMPO di Kejaksaan Agung. Menurut sumber itu, pemilik kelompok perusahaan Golden Key tersebut telah mengaku bahwa ia menyimpan sebagian uang kredit itu di deposito pribadinya di sejumlah bank. Ia juga mengaku kepada pemeriksa Kejaksaan Agung bahwa sebagian dana itu ia gunakan untuk keperluan di luar pabrik petrokimianya di Cilegon, Jawa Barat. "Pengakuan ini amat penting," kata sumber tersebut. Kenapa? Dengan pengakuan itu, berarti Eddy Tansil telah melanggar akad kredit yang ia tandatangani ketika menerima kredit dari Bapindo. Dalam akad jelas disebut bahwa dana itu akan digunakan untuk pembangunan pabrik petrokimia di Cilegon. "Berarti ia sudah bisa dikenai pasal tindak pidana korupsi," ujar sumber tadi. Ancaman hukumannya tidak kepalang tanggung. Eddy Tansil atau Maman Suparman, atau siapa saja yang akan menjadi terdakwa dalam kasus ini, bisa menjadi penghuni penjara seumur hidup. Yakin ada indikasi korupsi, Kejaksaan Agung melangkah lebih jauh: menyita kekayaan Eddy Tansil. Rekening atas nama Eddy dan Golden Key, di sepuluh bank di Jakarta, diblokir sejak Kamis pekan lalu. Sebelumnya kejaksaan juga telah mengambil sertifikat di lima kantor Golden Key di Pecenongan, Jakarta Pusat, serta surat-surat 15 mobil milik perusahaan itu. Dari kantor itu diamankan pula uang sekitar Rp 900 juta. Konon, uang ini merupakan biaya operasi Golden Key. Langkah berikutnya, kabarnya, adalah penyitaan tanah atas nama Golden Key. Sumber TEMPO mengungkapkan, kini Kejaksaan Agung sedang melacak dana milik Eddy Tansil, berjumlah sekitar Rp 400 miliar, yang kabarnya masih disimpan di bank-bank di dalam negeri. Konon, dana itu dipencar Eddy di banyak bank di Jakarta. Selain di sepuluh bank, Kejaksaan Agung juga melacak sejumlah bank kecil yang diduga menjadi tempat penyimpanan uang Eddy. Tapi, karena semua bank tempat uang Eddy diparkir adalah bank devisa, tampaknya kecil kemungkinan uang itu masih utuh parkir di sana. Bisa jadi, simpanan itu telah dialihkan ke luar negeri, misalnya di Cayman Island yang bebas pajak itu. Kini tak cuma Eddy Tansil yang diaduk-aduk aparat penyidik Kejaksaan Agung, yang dijuluki wartawan sebagai "Tim Delapan", karena terdiri dari delapan jaksa. Direktur Kredit Bapindo Bambang Kuntjoro dan Direktur Utama Bapindo Towil Heryoto pun kini terus di teropong oleh aparat kejaksaan. Begitu pula dua pendahulunya, yakni Syahrizal (kini Dirut Bank Tabungan Negara) serta Subekti Ismaun, yang kini wiraswasta. Keempat bankir itu bahkan telah dikenai tindakan perdata: dicekal, tak boleh ke luar negeri. Bagaimana dengan Ketua DPA Sudomo dan Ketua BPK Sumarlin? Untuk sementara, belum ada tanda-tanda kedua petinggi itu akan dipanggil kejaksaan. Tak berarti mereka tak bisa tersentuh hukum. Menko Polkam Soesilo Soedarman berjanji, siapa pun yang terlibat kasus itu, ia akan ditindak. "Tak ada pejabat tinggi yang kebal hukum," ujarnya. Gayung bersambut, ABRI pun sejalan. "ABRI mendukung pengungkapan kredit bermasalah itu," kata Pangab Jenderal TNI Feisal Tanjung. Bisa jadi, kedua pejabat itu akan dimintai keterangan oleh kejaksaan. Tapi suara lantang Soesilo dan Tanjung ada yang menafsirkan sebagai sinyal, mereka mungkin akan menjalani pemeriksaan. Siapa tahu? Tapi sudah salahkah Sudomo lewat secarik referensi itu? Atau hal seperti itu, sedikit banyak, sudah menjadi kelaziman juga di antara sementara pejabat? Menurut sumber TEMPO di Departemen Keuangan, posisi Ketua DPA itu secara hukum aman. "Pasal apa yang bisa menjeratnya?" ujar sumber itu. Tak ada bukti pula ia melakukan tekanan. "Pak Domo cuma menjanjikan jaminan kepercayaan," tambah sumber itu. Seperti diakuinya sendiri, Sudomo memberikan surat referensi tentang Eddy kepada Menteri Keuangan Sumarlin waktu itu. Ia memperkenalkan pula bos Golden Key itu ke direksi Bapindo. Bahkan Sudomo sempat mengajak Direktur Utama Bapindo, yang ketika itu Subekti Ismaun, naik helikopter ke Cibinong, Bogor, untuk melihat industri logam milik Eddy (lihat: Bapindo Pecah, Semua Cari Pelampung). Sudomo barangkali ingin meyakinkan Subekti, bahwa Eddy, lelaki asal Ujungpandang yang terlahir bernama Tan Tjoe Hong itu, adalah pengusaha bonafide. Seperti halnya dengan Sudomo, sumber TEMPO di Departemen Keuangan menyebutkan bahwa Sumarlin memang pernah mengenal Eddy Tansil. Alkisah, menurut sumber itu, Eddy beberapa kali tampak di Departemen Keuangan, dan ketika ditanya dia mengaku ingin menghadap Menteri. Nah, Sumarlin sendiri, dalam wawancara dengan TEMPO, mengatakan bahwa Eddy Tansil memang sering membawa-bawa namanya dalam urusan usahanya. Kisah perjalanan bisnis Eddy Tansil, yang mulai dari bawah, cukup panjang. Pada tahun 1980, bisnis perakitan sepeda motor Kawasaki yang dirintis bersama ayahnya di Bekasi, Jawa Barat, ambruk, lalu dijual. Ia banting setir ke usaha moulding, lewat PT Materindo Supra Metal Work, di Cibinong, Bogor, yang menghasilkan cetakan baja pres. Lalu ia memboyong lisensi Beck's Beer dari Bremen, Jerman, ke Bogor. Tapi bir rasa Jerman itu jeblok di pasar Indonesia. Eddy tak kekurangan akal. Ia memindahkan bisnis bermodal Rp 2 miliar itu ke Fujian, Cina. Ia ketiban hoki. Birnya laku di sana, dan ia disanjung dengan sebutan "Bapak Bir Fujian". Saat itulah ia kenal dekat dengan Sudomo, yang ketika itu menjabat Menteri Tenaga Kerja. Entah karena anjuran Sudomo, yang pasti, Eddy mulai melaju di sini dengan dua proyek besar, mulai tahun 1987. Ia membangun PT Glasfibindo Indah yang memproduksi serat kaca, dan PT Sukma Beta Sempurna yang menghasilkan printed circuit board (PCB), papan untuk merangkai sirkuit elektronik. Baru kemudian Eddy melirik ke industri hulu: petrokimia. Tak tanggung-tanggung, ia membayangkan lima pabrik sekaligus, yang investasinya triliunan rupiah. Dan ia tak cuma berangan-angan. Ia memulainya pada 1988 dengan PT Hamparan Rejeki Utama, pabrik serat plastik akrilik. Proyek itu menelan investasi sekitar US$ 120 juta, dibiayai sindikasi bank pemerintah dengan BDN sebagai koordinator. Bapindo masuk sindikasi ini. Proyek Hamparan Rejeki berjalan, Eddy mengajukan lagi dua proposal baru. Satu lewat PT Graha Swakarsa Prima, yang akan membuat bijih plastik styrene monomer dan beberapa derivatnya. Yang lain Dinamika Erajaya, yang memproduksi styrene butadiene, bijih plastik jenis lain. Pembiayaan Graha Swakarsa dari sindikasi yang dipimpin Bapindo senilai US$ 109,9 juta, dan Dinamika Erajaya didukung sindikasi yang ditulanggpunggungi BNI, bernilai US$ 100 juta. Eddy terus kekurangan kredit. Begitu dua proyek itu di-acc bank, ia mengajukan lagi dua proposal, masih sekitar industri kimia, yakni PT Pusaka Warna, Unit I dan II. Yang Unit I (Pusaka Warna PP) memproduksi polypropilene, sejenis serat plastik. Unit II (PT Pusaka Warna PE) merupakan pabrik serat polyethylene. Untuk kedua proyek itu Eddy mendapat dana dari sindikasi yang dipimpin Bapindo, masing-masing US$ 125 juta dan US$ 241 juta. Jadi, seluruhnya, Golden Key menerima kucuran kredit Bapindo US$ 476 juta. Lima proyek raksasa di Cilegon itu membuat langkah besar Eddy Tansil terseok. Hamparan Rejeki, yang dimulai pada tahun 1988, sempat membengkak biayanya kendati kini telah rampung. Dinamika Erajaya baru punya bangunan pabrik dan gudang. Tapi mesin-mesin utamanya, menurut pemantauan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), masih melompong. Ada dugaan, Dinamika Erajaya itu juga mengalami kenaikan biaya. Sejauh ini, tidak ada (atau belum) terdengar ada keanehan dalam soal kreditnya. Yang bermasalah memang tiga proyek Bapindo itu. Pada proyek Graha Swakarsa yang bernilai US$ 109 juta, yang dimulai 1990, Golden Key baru bisa membuat kantor dan gudangnya. Pabriknya masih berupa tiang-tiang beton telanjang, mesin-mesinya baru 14%. Proyek Pusaka Warna Unit I dan II lebih loyo lagi. Jangankan mesinnya, atap bangunannya pun belum terpasang. Padahal, untuk tiga proyek itu Eddy telah mengeruk uang Bapindo US$ 437 juta, dari kredit yang sudah disetujui seluruhnya US$ 476 juta. Ke mana uang itu pergi? Hal itulah yang sedang dilacak kejaksaan. Yang pasti, duit yang tertanam di Cilegon tersebut jauh di bawah angka pagu kredit Bapindo. Pembelokan kredit itu satu tuduhan yang kini dihadapi Golden Key. Tuduhan lainnya yang lebih serius adalah soal ketidakwajaran pencairan kredit. Eddy tak cuma dituding merekayasa perubahan status letter of credit (L/C) dari usance menjadi red clause. Lebih jauh, ia dianggap memanipulasi beneficiary, yang mestinya adalah perusahaan kontraktor pembangunan pabrik. Beneficiary itu dialihkannya ke perusahaannya sendiri di Hong Kong, Golden Step Development. Dengan uang hasil akal-akalan itu Eddy pasang aksi: seolah-olah ia punya dana jutaan dolar sebagai modal ekuiti. Walhasil, ia bisa lebih meyakinkan tim kredit Bapindo bahwa ia bonafide, punya dolar banyak di Hong Kong. Maka, proyek berikutnya mudah disetujui. Eddy tak bermain sendiri. Maman Suparman dianggap membantu permainan Eddy. Sebab, kabarnya, akseptasi Bapindo diteken Maman. Kok bisa, padahal dana itu bernilai ratusan miliar? "La, nyatanya bisa, tuh. Itu memang belum diatur rapi," kata Subekti Ismaun, Dirut Bapindo 1986-1992. Maman juga dianggap teledor membiarkan Eddy mengubah beneficiary alias si penerima dana, dari perusahaan pemasok di Cina dan Korea Selatan, menjadi perusahaan Eddy sendiri di Hong Kong. "Mestinya, pergantian beneficiary itu mengubah perjanjian kredit seluruhnya, dan proyek harus ditinjau ulang," kata seorang bankir. Subekti mengaku mengendus permainan itu, April 1992. Ia memerintahkan pengusutan. Ternyata, ada US$ 208 juta yang sudah dibobol Eddy. Direksi kelimpungan. Lalu keluar perintah agar akseptasi untuk Golden Key disetop. Bahwa permainan itu bisa berjalan dua tahun tanpa diketahui, Subekti punya alasan: Maman tak melaporkannya. Tapi Maman pun tak bisa disalahkan begitu saja. Selama belum jatuh tempo, status akseptasi off balancing sheet, tak harus masuk pembukuan. Permainan baru terbongkar gara-gara ada tagihan US$ 8 miliar ke Bapindo dari akseptasi Eddy yang jatuh tempo. Pergantian pucuk pimpinan Bapindo terjadi Agustus 1992. Subekti Ismaun digantikan Syahrizal, yang sebelumnya menjabat salah satu direktur. Sikap Bapindo konon konsisten, menyetop penerbitan akseptasi baru bagi Golden Key. Tapi, kabarnya, Eddy main atas. Dana terus mengalir. "Ada desakan dari Lapangan Banteng agar Bapindo diminta meneruskan pemberian bank acceptance sampai batas L/C," ujar sebuah sumber di Bapindo. Maka, sampai pertengahan 1993, Eddy Tansil meraup US$ 437 juta. Keganjilan itu akhirnya tercium oleh Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad. Dan Mar'ie membentuk tim penyidik intern, Oktober tahun lalu. Mungkin saja hasil penyidikan itu bocor, lalu sampai ke telinga Arnold Baramuli. Dan anggota Komisi VII DPR RI itu "meledakkan" kasus tersebut awal Februari lalu. Kini Bapindo menghadapi tagihan sekitar US$ 200 juta atau Rp 400 miliar, yang jatuh tempo April mendatang. Semua itu harus ditanggung Bapindo sendiri. Kesepakatan sindikasi dulu, bersama BDN, BNI, dan BEII -- bahkan melibatkan Asian Development Bank -- belum menjadi perjanjian resmi. "Sekarang, setelah terbukti semua berantakan, mana mau mereka masuk?" kata seorang bankir. Tiga proyek yang terbengkalai itu, seperti dikatakan Menteri Mar'ie Muhammad, bisa saja diteruskan oleh BUMN. Tapi, bagaimana mengembalikan uang yang sempat jatuh ke tangan Eddy adalah soal yang paling sulit. Kini hal itu jadi urusan Kejaksaan Agung.Putut Trihusodo, Agus Basri, Bina Bektiati, Linda Djalil, dan Taufik Alwie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini