Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gebrakan Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban yang terus menggedor mafia pembalakan ilegal mulai memasuki babak seru. Langkah-langkahnya tidak saja telah menggergaji aksi para pembalak hutan?terbukti sudah puluhan cukong dan beking diciduk aparat. Tetapi ternyata aksinya juga menyebabkan Gubernur Papua J.P. Solossa ikut terusik dan tak senang. Pak Gubernur lalu melaporkan Kaban ke Wakil Presiden Jusuf Kalla dan membuat perseteruan ini menjadi terbuka, pekan lalu.
Tak ada asap tanpa api. Bara perseteruan ini dipantik dari rasa kecewa sang Gubernur akibat anak buahnya, Marthen Kayoi, ikut tersambar manuver Kaban. Kepala Dinas Kehutanan Papua itu dicokok Tim Operasi Hutan Lestari bentukan Kaban, karena dituding bersekongkol dengan pembalak hutan Papua dengan mengeluarkan izin penebangan kayu. Sejak 13 Maret lalu, Marthen Kayoi mendekam di sel tahanan Polda Papua di Jayapura. Bersama Marthen, puluhan cukong juga diringkus. Tak ketinggalan 150 ribu meter kubik kayu gelondongan ilegal dan 200 alat berat diamankan.
Solossa berang dan kepada Wakil Presiden ia mengadu. "Kami tak ilegal. Kami menyetor dana reboisasi ke Menteri Kehutanan sebesar Rp 57 miliar," ujar Solossa. Bola panas ini tentu bergulir menuju Kaban, yang ternyata tak membuatnya ciut nyali. Begitu datang dari lawatan ke Eropa, dia langsung memenuhi panggilan Jusuf Kalla. Saat itu Kalla meminta Kaban menjelaskan hal-ihwal operasi pemberantasan penebangan liar. Soal perseteruannya dengan Solossa juga sempat disinggung. Hasilnya, M.S. Kaban bersikukuh bahwa Gubernur Papua melanggar hukum. "UU Kehutanan menyatakan penebangan hutan merupakan wewenang saya," ujar M.S. Kaban.
Sebaliknya Solossa juga tak bergeming. Surat keputusan yang dikeluarkannya merupakan realisasi UU Otonomi Khusus Papua. Berdasar SK 72 tahun 2002 tentang Ketentuan Ekspor Kayu Merbau Bulat itulah Marthen kemudian menerbitkan perizinannya. Sebab, SK Gubernur tersebut memang memberikan kewenangan kepada dirinya. Beleid Solossa belakangan didukung DPRD setempat.
Marthen Kayoi sendiri tak ingin membuang waktu. Dia segera membuka keran bagi koperasi dan pengusaha untuk menebang dan mengekspor kayu merbau Papua. Agar sesuai dengan semangat otonomi khusus, Marthen mengeluarkan izin pemanfaatan kayu masyarakat adat. Sebagian besar kayu gelondongan itu dijual ke Malaysia dan Cina.
Sebagai kompensasi, menurut Marthen, setiap bulan dirinya menyetor iuran dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan ke rekening Menteri Kehutanan. Marthen menyimpan semua bukti transfer. Setoran itulah yang membuat Marthen merasa langkahnya tak melanggar hukum.
Mendapat serangan balik, Kaban tak tampak risau. Sang Menteri, yang juga Sekjen Partai Bulan Bintang ini, menyatakan siap diperiksa polisi. Dia mengaku selalu menerima setoran dana reboisasi dan provisi lewat rekening menteri yang bersifat terbuka. Setiap pembayaran dari kewajiban pengusaha hutan selalu masuk ke rekening tersebut. Tapi, menurut Kaban, setoran dari Kepala Dinas Kehutanan Papua itu tak lantas membuat ekspor kayu merbau bulat Papua yang ilegal menjadi legal. "Kalau seorang koruptor membayar pajak, apakah ia bebas dari hukum?" ujar M.S. Kaban beretorika.
Kaban juga mempertanyakan wewenang Pemda Papua menjual kayu merbau bulat. Menurut Kaban, UU Otonomi Khusus di Papua tak dapat dijadikan alasan bagi Gubernur Solossa untuk membabat hutan. Apalagi masyarakat adat hanya kecipratan Rp 105 ribu per meter kubik. Padahal, ujar Kaban, "Harga merbau mencapai Rp 2,5 juta per meter kubik."
Perseteruan belum usai. Menteri M.S. Kaban dan Gubernur Solossa sama-sama masih bersikukuh dengan sikapnya. Belum jelas memang, ke mana arah penyelesaian "perang terbuka" ini. Tetapi Kaban menegaskan tekadnya tak akan pernah surut untuk terus memburu para pembalak hutan. Dia akui, hal itu memerlukan keberanian ekstra. Soalnya, para pembabat hutan dan pencurian kayu juga melibatkan jaringan bisnis dan beking yang luas. "Oknum Angkatan Darat, Angkatan Laut Armada Timur, polisi, jaksa, dan pemda terlibat pembalakan ilegal," ujarnya kepada Tempo.
Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo